Oleh: Pekik Nur Sasongko
Setiap muslim tentu menginginkan buah hatinya tumbuh menjadi anak-anak yang solih. Anak-anak yang dapat mengenal agama Islam dengan baik, sekaligus mampu mengamalkan ajaran-ajarannya. Berharap mereka akan tumbuh menjadi generasi muslim yang dapat meneruskan estafet keislaman di tengah ingar bingar dinamika dunia.
Tidak terkecuali kami. Maka sejak balita anak-anak kami kenalkan kepada ulama dan tentu saja Nahdlatul Ulama. Ketika anak pertama kami menginjak usia sekolah dasar, kami pun dilanda dilema karena sebagian besar sekolah dasar di lingkungan kami tidak berbasis Nahdlatul Ulama. Setelah mengulik beberapa informasi, kami pun menyekolahkannya di salah satu sekolah dasar Islam swasta.
Kami mengamati tumbuh kembang anak kami yang tengah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Ada beberapa catatan yang menurut kami tidak bisa dibiarkan terus menerus terkait sekolahnya. Pertama, perundungan. Ya, anak kami bercerita jika dia mengalami beberapa perundungan verbal dan visik. Perundungan tersebut tidak hanya terjadi satu atau dua kali, tetapi berbulan-bulan. Tanpa mengurangi rasa hormat, kami merasa guru kelasnya kurang cakap menangani kasus perundungan. Bahkan, terkesan tidak berpihak pada korban.
- Iklan -
Kedua, semangatnya mempelajari agama Islam tidak bertambah. Ia tampak kurang semangat jika kami ajak untuk membicarakan perihal tata cara ibadah dan tokoh-tokoh besar Islam. Tidak hanya itu, ada noktah kelam di mana ia yang sudah hafal surah al-Mulk di rumah dan ingin agar guru tahfidznya mengapresiasi justru muncul pernyataan yang bernada merendahkan, dan tidak mungkin sudah hafal surah tersebut.
Ketiga, semangatnya dalam berislam ala ahlussunah wal jamaah annahdhiyah yang kami tanamkan sejak bayi seolah tidak mendapat ruang untuk bertumbuh. Di sekolah ia tidak memiliki lingkungan dengan semangat mempelajari lebih dalam sekaligus mengamalkan tradisi dan serba-serbi amaliah khas Nahdlatul Ulama.
Terkait dua catatan kami yang terakhir, kami kemudian belajar untuk memaklumkan diri. Bahwa sekolah tersebut memang “Sekolah Dasar” yang bukan madrasah. Di mana muatan pelajaran agamanya tentu tidak sebanyak di madrasah. Artinya, harapan akan menjadi mimpi belaka jika tidak mengambil Langkah.
Setelah beberapa waktu dilema. Keputusan pun sudah bulat untuk memindahkan anak kami ke sekolah baru. Meskipun saat itu Ananda sedang ada di akhir semester pertama. Kami putuskan untuk menyekolahkan anak kami di MI Maarif Drono. Sebuah sekolah yang tidak banyak ulasannya di dunia maya. Jumlah siswanya pun tergolong sedikit. Berharap sekolah tersebut mengusung nilai-nilai ke-NU-an yang kental seperti Namanya.
Ketika menemui kepala sekolah, kami pun menceritakan alasan pemindahan sekolah anak kami. Alhamdulillah, dengan tangan terbuka beliau dan para guru menerima anak kami dengan tangan terbuka.
Melangkah ke administratif, kami selaku orang tua sempat terperangah dengan biaya pendaftaran yang sangat ekonomis. Apalagi jika dibandingkan dengan sekolah swasta lain di lingkungan kami. Padahal MI Drono ini jumlah siswanya terbilang sedikit.
Hari-hari pertama anak kami di sekolah barunya penuh dengan keceriaan. Kami pun bernafas lega karena anak kami tampak bisa beradaptasi. Apa itu sudah membuat kami lega? Tentu tidak.
Yang membuat kami tersenyum cukup puas adalah semangatnya dalam mempelajari agama Islam ala ahlussunah wal jamaah annahdiyah melesat. Hampir setiap pulang sekolah ia bercerita tentang para nabi, sahabat, dan ulama-ulama besar yang diceritakan gurunya. Dari ceritanya, mulai tampak kekagumannya pada para pendahulu yang memang pantas untuk dikagumi.
Kecintaannya kepada Nahdlatul Ulama juga tumbuh dengan subur. Ia mulai mengagumi sosok Syekh Hasyim As’ari dan tokoh-tokoh lainnya. Bahkan, ia sering berdendang lagu-lagu khas NU yang memang dibiasakan di sekolahnya. Tidak hanya itu, ia pun bercerita jika setiap hari ada pembiasan murojaah (tahfidz), salat duha, dan tahlil. Tentu pembiasaan ini sangat penting untuk proses belajarnya kelak.
Lantas, bagaimana dengan kasus perundungan? Terus terang, saya angkat topi untuk MI Maarif Drono. Guru-guru di sekolah ini tampaknya punya cara khusus untuk tidak membiarkan perundungan terjadi secara berkelanjutan. Setiap ada kasus perundungan, si anak langsung dipanggil kepala sekolah untuk mediasi. Bagi pelaku perundungan, ini tentu menjadi shock terapi. Bagi korban, ini merupakan bentuk keberpihakan yang membuat kepercayaan dirinya tidak hancur.
Singkat kata. Kami tidak menyesal memindahkan anak pertama saya di MI Maarif Drono. Semoga Maarif Drono dan sekolah maarif lain terus berkembang dan tidak puas dengan pencapaian yang ada. Terus tulus untuk menyiapkan generasi pemegang tongkat estafet ahlussunah wal jamaah.
*Pemerhati Pendidikan yang mencintai Nahdlatul Ulama