Oleh: Mochamad Bayu Ari Sasmita.
Aku akan menulis tentang gajah kali ini. Meski demikian, bukan berarti aku akan menuliskannya secara mendetail. Aku akan begitu jujur, sulit untuk menulis tentang gajah secara lengkap. Tentu akan ada satu dua hal atau bahkan banyak hal dari gajah yang akan gagal untuk ditulis. Dengan demikian, yang kumaksud dengan menulis tentang gajah adalah menulis tentang ketiadaan gajah.
Anak-anak yang dilahirkan di kota ini, yang tidak pernah sekali pun menapakkan kakinya di kota lain karena berbagai keterbatasan yang mereka miliki, tidak akan pernah dapat melihat seekor gajah secara langsung. Tidak ada gajah di kota M, juga tidak ada kebun binatang di kota ini. Gajah adalah salah satu binatang raksasa yang tidak pernah dilihat oleh mata anak-anak di kota ini.
Anak-anak di sini hanya dapat membayangkan gajah dari gambar-gambar di poster dinding sekolah dasar, tayangan televisi tentang satwa liar, dan beberapa tayangan kartun dari luar negeri. Jika disuruh menggambar gajah di kelas, mereka akan menggambar sebuah lingkaran besar, kemudian memberinya empat kaki gemuk yang sama tinggi, telinga lebar seperti sebuah sayap di kiri dan kanan, garis lengkung sebagai ekor, dua titik kecil untuk mata, dan belalai.
- Iklan -
Namun, melihat gajah bukanlah sebuah keharusan. Kurasa, tidak ada penyesalan yang muncul meskipun orang tidak pernah meihat gajah secara langsung sepanjang hidupnya. Tidak akan ada orang yang gelisah meski tidak pernah melihat seekor gajah, bahkan terkecil sekali pun, secara langsung sepanjang hidupnya. Tapi sebagian besar orang-orang di kota M merasa gelisah ketika melihat petak demi petak sawah mulai diuruk untuk kemudian dibangun sebuah perumahan atau pabrik yang akan membanjiri sungai dengan limbah dan menghitamkan langit dengan asapnya.
Asap hitam itu kemudian membawa serta penyakit paru-paru bagi penduduk sekitar. Obat asma semakin laris di apotek. Tiap sebulan sekali, kalau aku tidak salah mengingat, ada saja orang yang mati karena sesak napas. Tidak ada tanggung jawab dari pihak pabrik. Mereka masih tetap duduk di sofa empuk tanpa rasa gelisah sedikit pun dan melakukan pertemuan-pertemuan di restoran mewah, kecuali jika tiba-tiba para buruh mulai bersatu dengan warga setempat untuk menghancurkan pabrik yang telah menciptakan penderitaan bagi penduduk setempat dan hal ini belum pernah terjadi.
Tidak hanya asap. Salah satu warga di kota ini kemarin masuk rumah sakit setelah menggunakan air dari sumur untuk masakannya. Setelah diperiksa, sumur itu telah tercemar. Cemarnya sumur-sumur milik warga adalah bentuk kesengajaan dari orang-orang yang duduk di lantai paling atas sebuah gedung pencakar langit. Pemda yang memberikan izin berdirinya pabrik itu juga mestinya bertanggung jawab atas kematian-kematian ganjil yang terjadi. Tapi hal semacam itu lebih mustahil terjadi daripada sesuatu yang ada di cerita dongeng.
Beberapa orang yang masih memiliki cukup dana memutuskan untuk menjual rumah mereka dengan harga murah dan pindah ke tempat lain yang memiliki udara lebih bersih. Mereka memasang iklan di internet, meskipun juga yakin bahwa tak seorang pun yang bakal membeli rumah itu karena lingkungan sekitarnya sudah sedemikian buruknya. Rumah itu pada akhirnya hanya menjadi tempat persembunyian tikus, kadang juga kucing, dan, ini yang paling mungkin, menjadi sarang hantu-hantu, arwah-arwah yang tak dapat beristirahat dengan tenang, arwah-arwah yang mati karena sesak napas atau keracunan air dari sumur masing-masing, arwah-arwah yang masih memiliki dendam di dunia. Sementara itu, kami yang tidak memiliki cukup uang memutuskan untuk tetap bertahan di kota ini sampai sesak napas atau keracunan datang kepada kami.
Memang, orang-orang seperti kami, yang tidak memiliki cukup uang untuk menyewa atau bahkan membeli hunian baru di tempat lain hanya punya pilihan untuk menunggu sesak napas atau keracunan. Memang ada pilihan lain: bunuh diri. Tapi pak ustaz di tempat kami berkata bahwa itu dilarang agama. Mereka yang bunuh diri adalah orang-orang putus asa, tidak yakin dengan pertolongan Tuhan. Dia Yang Maha Kuasa itu membenci hamba-hamba yang putus asa. Kami tidak ingin kekal di neraka. Siapa pun, kurasa, tidak cukup senang untuk berada di neraka, apalagi untuk selama-lamanya.
Kami pun akhirnya rajin membeli masker lagi seperti ketika awal mula pandemi korona hadir di tengah-tengah kami. Sialnya, di situasi seperti ini, harga masker naik lagi. Aku hanya mendapatkan tiga masker untukku, istriku, dan putriku. Tentu ini tidak cukup. Setidaknya, menurut pendapat orang-orang di televisi, kami harus mengganti masker sehari sekali. Tapi mustahil kami membeli masker setiap hari atau membeli sekali dalam jumlah banyak. Setiap orang dibatasi dalam pembelian masker setiap harinya mengingat kejadian pada awal pandemi dulu. Satu orang hanya boleh membeli maksimal sejumlah orang yang ada di kartu keluarga mereka.
Satu lagi, mungkin ini bukan yang terakhir, tentang dampaknya pada anak-anak. Putriku jadi anak rumahan, tidak bergaul dengan teman-teman sebayanya. Tidak ada satu pun orang tua yang cukup tolol untuk membiarkan anak-anak mereka berkeliaran di luar untuk bermain sementara asap hitam dari cerobong pabrik selalu mengintai di luar sana. Mereka hanya boleh keluar ketika pergi ke sekolah dan mengaji, itu pun orang tua harus selalu mendampingi. Tidak ada lagi sejumlah anak lelaki yang bermain bola di sebuah pelataran sempit dan anak-anak perempuan yang bermain masak-masakan di teras rumah. Setiap anak terkurung dalam rumahnya masing-masing tanpa pergaulan dengan anak-anak sebayanya.
Putriku, ketika menjalani masa kanak-kanaknya yang dipenuhi asap hitam dari cerobong asap pabrik, sering melamun di rumah. Kadang istriku mengajaknya bermain, tapi dia segera bosan. Istriku berkeluh kesah, merasa dirinya tidak pandai merawat seorang anak. “Dia mungkin butuh teman-teman sebaya.”
“Tentu. Memang seharusnya begitu. Tapi tidak ketika ada asap sialan ini. Cukup problematik.”
Setelah pulang dari bekerja di pabrik, aku yang akan menjadi temannya. Dia agaknya lebih senang bermain denganku. Aku senang bisa mengisi peran ayah baginya. Malah, melakukan berbagai hal bersama putriku dapat mengurangi rasa lelah dari seharian bekerja mengoperasikan mesin raksasa yang menghasilkan asap hitam untuk disebar ke penjuru kota kecil ini.
“Ayah, ceritakan soal gajah lagi,” pinta putriku. Dia benar-benar suka dengan gajah.
Begini ceritaku tentang gajah kepadanya, binatang yang tidak pernah benar-benar dapat kami lihat secara langsung wujud aslinya itu.
Alkisah, hiduplah seekor gajah di zaman ketika pohon-pohon habis ditebang tak bersisa. Gajah itu bingung ketika tidak melihat satu pun pohon di sekitarnya. Tidak ada warna hijau lagi di sekitarnya. Yang dia lihat hanya gedung-gedung perak dan memantulkan cahaya matahari, sebagian di antaranya mengeluarkan asap dari cerobongnya. Kepulan asap hitam itu membuat si gajah bersin-bersin. Karena bersin-bersin, dia berlarian untuk mencari tempat yang memiliki udara bersih sambil menjerit, mengayunkan belalainya, kemudian menabrak gedung-gedung itu. Berguncang. Orang-orang di dalam gedung menganggap bahwa ada gempa ringan sehingga mereka segera berlindung di bawah meja. Gajah itu menabrak tiap gedung, terpental ke sana-sini seperti permainan pinball. Badan si gajah lecet dan berdarah, tapi gedung-gedung itu ambruk. Orang-orang di dalam gedung-gedung mati tertimpa reruntuhan. Asap hitam tidak ada lagi. Beberapa waktu berselang, pepohonan tumbuh lagi menggantikan gedung-gedung tinggi itu. Langit jadi cerah lagi. Orang-orang yang tidak berada di dalam gedung melepaskan masker masing-masing. Namun, sang gajah harus gugur tertimpa reruntuhan, tapi banyak orang yang berterima kasih kepadanya, lalu membuatkannya monumen. Hari itu dikenal sebagai Hari Revolusi Gajah.
“Kapan gajah semacam itu datang ke kota dan membantu kita?”
Aku menatapnya sambil merasa iba. Aku ingin berkata bahwa tidak ada gajah di kota ini, tapi di sisi lain aku tidak ingin memadamkan binar di kedua matanya yang berwarna cokelat itu. Mungkin, suatu hari nanti, secara ajaib, seekor gajah akan turun dari langit dan menghancurkan gedung-gedung yang dibangun di kota M. Udara segar akan kembali ke kota kecil ini. Tidak ada lagi orang yang mengenakan masker, terkena sesak napas, dan keracunan ketika minum air dari sumur sendiri. Pohon-pohon akan tumbuh lagi tanpa perlu disiram. Itu sesuatu yang luar biasa untuk dibayangkan.
“Mari kita berharap saja,” kataku kepada putriku dengan sedikit keraguan di dasar hatiku. “Hanya itu yang bisa kita lakukan.”
26 Oktober 2022—24 Oktober 2023
Mochamad Bayu Ari Sasmita. Lahir di Mojokerto pada HUT RI Ke-53. Bukunya yang sudah terbit adalah novela berjudul Seperti Sebuah Ayunan di Taman Bermain (2023, Penerbit Basabasi).