*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Mukadimah
Keprihatinan dan kegelisahan mengenai minat baca siswa/mahasiswa Indonesia, sudah lama mengemuka. Sayuti (1998:2) menyatakan masalah itu disuarakan sejak tahun 1950-an dalam seminar sastra di Universitas Indonesia. Jauh sebelum dilontarkan oleh Sumito A. Sayuti tersebut, H.B. Jassin (1952:1-2) berpendapat:
- Iklan -
… Banyak kita mendengar keluhan tentang sukarnya sajak-sajak sekarang, juga dari para cendekiawan dan tidaklah mengherankan kalau dari antara penyair ada yang merasa kecewa tentang tingkat kehalusan perasaan para intelektual kita itu. Penyair-penyair itu mengukur beradab tidaknya seseorang pada halus kasarnya perasaannya terhadap kesenian dan mereka merasa heran berhadapan dengan orang yang meskipun inteleknya tinggi ternyata tidah tahu menahu tentang kesenian. Kekecewaan mereka itu bertambah besar lagi apabila mereka omong-omong dengan orang asing yang keluaran sekolah menengah saja, tapi bisa bicara tentang segala soal mengenai kesusastraan, musik, sandiwara, film, dan apa saja yang masuk dalam kesenian yang halus dan kesimpulan mereka ialah bahwa kaum cendekiawan kita masih berada pada tingkatan biadab.
Lebih lanjut, Rosidi menegaskan (1972:23) hanya sekitar 15% dari seluruh ilmu yang dibutuhkan di dalam kehidupan ini diperoleh di bangku sekolah, yang lainnya 85% diperoleh di luar sekolah terutama melalui kegiatan membaca. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya mutu lulusan sekolah akan sangat bergantung pada kemampuan membaca para siswanya.
Oemarjati (dalam Toha-Sarumpaet, 2012:142) menyatakan, dalam era globalisasi, siswa berkecenderungan memilih jalan pintas yang serbacepat dan serba-Wah! Cara mengakses pengetahuan melalui internet lebih digandrungi daripada melalui diskusi, pengamatan, apalagi kegiatan membaca! Memang, sangat banyak keuntungan dan kegunaan pemanfaatan internet tersebut, namun sisi negatifnya berdampak serius pada proses belajar siswa, bahkan berkelanjutan pada perilaku dan kehidupannya di tengah masyarakat.
Taufiq Ismail (2000:64) menemukan fakta, bahwa pembelajaran sastra di SMA, “nol buku” karena tidak adanya karya sastra yang wajib dibaca siswa sampai tuntas, padahal pada era Algemence Middlelbare School (AMS) Hindia Belanda, siswa sudah diwajibkan membaca 15-25 judul karya sastra. Dalam analisisnya,Taufik Ismail (dalam Widarmanto, 2013:155) setelah melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa responden tamatan SMA di 13 negara (Malaysia, Brunai, Thailand, Jepang, Kanada, Amerika, Jerman, Swiss, Rusia, Perancis, Belanda, dan Indonesia sendiri) untuk membandingkan kemampuan membaca dan menulis siswa SMA di Indonesia, sampai pada simpulan yang mengerikan bahwa sekolah-sekolah di Indonesia masih sangat jauh tertinggal kemampuan membaca dan menulis dibanding negara-negara lain.
Para pemerhati pendidikan (lebih khusus pembelajaran) apresiasi sastra di sekolah mempertanyakan mengapa minat baca siswa/mahasiswa terhadap sastra rendah? Apakah kesalahan pada sistem pendidikan nasional, kurikulum, kompetensi guru, sarana dan prasarana, atau masyarakat yang tidak peduli? Semua merupakan benang kusut yang sulit diurai dan lingkaran setan yang tidak dapat dirunut siapa yang salah.
Kurikulum sudah beberapa kali silih berganti. Pernah ada Kurikulum 1968, diganti Kurikulum 1975, diganti Kurikulum 1984, diganti Kurikulum 1994, diganti Kurikulum 2004, diganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, dan diganti lagi Kurikulum 2013 dan berubah lagimenjadi Kurikulum Merdeka. Perubahan kurikulum tidak pernah menyentuh hal yang subtansial. Perubahan kurikulum cenderung responsif terhadap perubahan zaman (teknologi dan informasi), dan penggantian penggunaan ‘istilah’ belaka.
Meskipun berbagai cara ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru, namun belum mampu mengubah pola pikir (mindset) guru sehingga dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam mengapresiasi sastra. Yang terjadi jalan di tempat, bahkan kemunduran. Mindset (pola pikir) guru tidak mudah diubah atau berubah. Peningkatan kesejarahteraan guru melalui Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak berkorelasi langsung terhadap peningkatan kinerja guru di kelas dan di luar kelas.
Sarana dan prasarana selalu dikeluhkan oleh guru bahasa dan sastra Indonesia, khususnya bagi sekolah yang kurang beruntung fasilitasnya. Perpustakaan yang minim jumlah koleksi buku dan majalah, selalu dijadikan ‘kambing hitam’ kekurangberhasilan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat menyediakan sumber belajar bagi guru dan siswa. Guru yang aktif dan kreatif selalu berusaha mencari informasi yang aktual dari berbagai sumber belajar, termasuk internet. Internet menyediakan sumber belajar yang tidak terbatas. Guru pun dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar yang berupa lingkungan alam, yaitu: padi terhampar di sawah, air mengalir di sungai, hutan dan rimba di pegunungan, riak ombak di laut, dan transaksi jual beli di pasar. Lingkungan manusia pun dapat dijadikan sumber belajar, yaitu: petani, nelayan, perempuan-perempuan perkasa yang menjadi kuli angkut di pasar, dan anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di pabrik-pabrik. Kreativitas guru dan siswa dapat untuk mengatasi kekurangan sarana dan prasarana di sekolah.
Masyarakat memandang dengan mata sebelah, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta mata pelajaran Bahasa Inggris. Berkuliah di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik lebih bergengsi daripada berkuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tidak pernah terpikirkan persyaratan harus lulus Uji Kompetensi Bahasa Indonesia (UKBI) terlebih dahulu untuk menggantikan Toefl Bahasa Inggris.
Sebaiknya tujuan pembelajaran sastra dikembalikan kekhitahnya. Oemarjati (2012:109) menyatakan pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar dan menengah tetap merupakan embelan pengajaran Bahasa Indonesia. Sastra memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Akan tetapi, tujuan akhir pengajaran bahasa tidaklah sama dengan pengajaran sastra. Pemelajaran bahasa merupakan sarana penalaran (Santoso, 1987; Depdiknas, 2004). Pemelajaran sastra mengembangkan potensi afektif, bukan kognitif. Tujuan akhir pengajaran sastra menurut Oemarjati ialah memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa manusiawi serta pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual, maupun sosial (dalam Toha-Sarumpaet, 2012:109-110).
Pengajaran sastra sebaiknya terintegrasi.Terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika, Sejarah Indonesia, Bahasa Inggris, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani [Olah Raga, dan Kesehatan], Prakarya dan Kewirausahaan). Pembelajaran sastra seharusntya mengarah pada dua hal, yaitu pencapaian kompetensi apresiatif dan kompetensi kreatif siswa (menulis puisi, cerita pendek, menulis drama, dan mementaskannya).
Guru Sebagai Ujung Tombak Pembelajaran Sastra
Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun pengajaran sastra tidak dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pemelajaran bahasa merupakan sarana penalaran dan komunikasi (Santoso, 1987), sedangkan pemelajaran sastra mengembangkan potensi afektif, bukan kognitif (Oemarjati, 2012: 109). Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya ialah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual, maupun sosial (Oemarjati, 2012:63).
Dalam proses belajar-mengajar sastra, Guru berada pada posisi sentral. Berhasil tidaknya pembelajaran sastra bergantung pada guru. Kurikulum, metode pembelajaran, buku pelajaran, sarana dan prasarana, laboratorium, dan sebagainya, hanyalah sebagai penunjang pembelajaran; sedangkan yang paling utama yaitu mindset guru. Guru harus berperan sebagai orang tua (mewakili bapak dan ibunya di rumah), sebagai kakak, sebagai adik, dan yang tidak kalah penting yaitu sebagai teman berdiskusi. Secara psikologis, siswa-siswa SMA memerlukan teman berdiskusi untuk memecahkan segala persoalan, bukan indoktrinasi ataupun hafalan.
Metode pengajaran sastra mana pun yang akan dipilih, keefektifannya ditentukan terutama oleh corak komunikasi yang terjalin antara guru dan siswanya. Dengan asumsi bahwa guru akrab dengan karya sastra dan mengenal perjalanan kreatif sastra3wan pengarang karya yang dibicarakannya maka menjalin keakraban dengan siswa merupakan titian yang efektif untuk melaksanakan pengajaran sastra. Kunci untuk membuka pintu kepercayaan siswa terletak pada diri guru, penampilan pertama di hadapan siswa (Oemarjati, 2012: 67).
Penampilan tidaklah semata-mata diartikan dari segi fisik, melainkan dari segi wibawa yang dipancarkan dari dalam diri sang Guru, yang lebih populer dikenal dengan “pembawaan diri”. Sapaan dan cara menyapa, ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuh, serta cara berbicara dan santun bahasa yang digunakan guru memberikan petunjuk kepada siswa tentang cara berkomunikasi yang akan terwujud bersama sang Guru. Pada umumnya, para siswa sangat peka untuk “menilai” penampilan pertama tersebut. Jika kesan pertama yang diperolehnya positif, guru akan lebih mudah berkomunikasi dengan siswa dan membina jalinan yang produktif daripada kesannya negatif atau menimbulkan tanda tanya (Oemarjati, 2012:78).
Selanjutnya, (Oemarjati, 2012:90) menyatakan kegiatan memberi pengajaran apresiasi sastra mengharuskan guru menempatkan diri sebagai mitra diskusi, bukan sebagai pelahap buku teks yang lancar mendaraskan kaidah-kaidah dan teori-teori yang ada. Dalam pembinaan apresiasi sastra, yang terpenting ialah memotivasi mahasiswa untuk berkehendak menghargai apa yang tersaji di dalam konteks sajiannya. Jika karsa tersebut terwujud maka perlu diberi pengarahan praktis tentang cara mengapresiasi. Sesuai dengan tingkatan pendidikan mahasiswa, proses belajar-mengajar dilaksanakan dengan mempraktikkan kegiatan analisis dan sistesis secara timbal balik terhadap karya sastra tersebut.
Simpulan
Guru harus selalu dipacu untuk mengembangkan diri bukan sekedar untuk memenuhi beban kinerja guru, namun yang lebih utama yaitu mengubah cara berpikir (mind set) dari ‘mengajar’ menjadi ‘melayani’ siswa dan menjadikan siswa sebagai subjek. Guru harus memahami kebutuhan siswa
‘Pembawaan diri’ guru baik di kelas maupun di luar kelas harus dapat diteladani oleh siswa, khususnya dalam mengakrabi karya sastra. Komunikasi yang efektif antara guru dengan siswa yaitu komunikasi antara orang tua dengan anak, kakak dengan adik, teman akrab, dan adik dengan kakak. Bukan komunikasi formal yang membuat jarak antara komunikator (pengirim) dengan komunikan (penerima). Para siswa memerlukan teman diskusi yang akrab untuk memahami dan menghargai karya sastra.
Tjahjono Widarmanto. Sastrawan dan guru SMA 2 Ngawi