*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Posisi guru dalam perjuangan kemerdekaan tidak boleh diabaikan dalam sejarah Indonesia. Guru sebagai seorang intelektual sangat berperan penting dalam setiap perubahan. Termasuk perubahan besar saat Indonesia berada dalam gejolak perjuangan untuk merintis dan meraih kemerdekaan. Guru disebut-sebut sebagai kaum terpelajar, kaum yang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sangat berperan besar dalam masa-masa kebangkitan nasional. Kaum terpelajar inilah yang kali pertama menginginkan eksistensi negara yang merdeka, berdaulat, yang mampu mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan bangsa lain, dan bebas dari kekuasaan kolonialisme atau penjajahan.
Kehadiran guru sebagai salah satu kaum terpelajar di Indonesia, tidak boleh dilepaskan dari adanya politik Etis yang diberlakukan oleh Van Deventer. Politik etis ini muncul ketika para kaum liberal di Belanda mendesak pemerintah colonial Belanda untuk melakukan balas budi terhadap negara-negara koloninya, termasuk di Indonesia.
- Iklan -
Politis etis di Indonesia bertumpu pada tiga sektor. Ketiga sektor itu adalah sektor edukasi (pendidikan), sektor irigasi, dan sektor tramigrasi. Sektor edukasi adalah perbaikan atau pemberian hak-hak bersekolah bagi kaum pribumi, sektor irigasi adalah sektor yang membangun pertanian dan perkebunan melalui pengadaan air dan bendungan, dan sector transmigrasi yaitu gerakan yang memindahkan penduduk di tempat padat ke tempat yang jarang penduduknya.
Sepintas lalu tampaknya politik etis ini menguntungkan bangsa-bangsa yang dijajah Belanda, tetapi sesungguhnya tetap saja menguntungkan Belanda. Kenyataannya di sector edukasi atau pendidikan, tidak sepenuhnya kaum pribumi dapat mengakses pendidikan, mereka hanya mengenyam pendidikan sebatas SR (sekolah rakyat), sedikit sekali yang sampai AMS (setara SMA), kalaupun ada itu hanya kaum bangsawa atau ningrat saja. Sektor irigasi hanya diperuntukkan untuk lahan-lahan pertanian dan perkebunan Belanda, bukan pertanian rakyat. Adapun sektor transmigrasi hanyalah kepentingan Belanda untuk memindahkan tenaga-tenaga kerja perkebunan dari Jawa ke pulau-pulau lain.
Sungguhpun demikian, sector edukasi memiliki kemanfaatan yaitu mulai dibuka sekolah-sekolah untuk pribumi di tingkatan SR (sekolah rakyat di fase dasar), MULO (meer uit grebuid lager ondewijs, setingkat SMP, dan AMS (Algimrepe midelbere school) setingkat SMA. Keberadaan sekolah-sekolah menjadi sarana yang efektif dalam mengampayekan pergerakan kebangsaan dengan cita-cita merdeka. Para guru menjadi ujung tobang yang paling strategis dikala itu untuk menanamkan nasionalisme.
Para guru itu kemudian di tahun 1912 membuat sebuah organisasi yang bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi guru ini masih memakai nama Hindia Belanda sebagai identitas. Sungguhpun demikian PGHB atau Persatuan Guru Hindia Belanda ini sudah bersifat unitaristik atau tidak membeda-bedakan golongan, tidak membedakan suku, tidak membedakan agama. Organisasi itu memiliki tujuan menanamkan cita-cita kebangsaan, yaitu cita-cita memiliki bangsa sendiri dan bebas dari kolonial Belanda.
Ketika momentum Kongres Pemuda II dengan ikrar Sumpah Pemuda mewarnai seluruh gerakan organisasi pemuda di Hindia Belanda, maka berpengaruh besar pula pada organisasi PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) yang kemudian pada tahun 1932 berubah namanya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Istilah “Indonesia” jelas-jelas merupakan ikrar kebangsaan yang sangat diwarnai semangat Sumpah Pemuda.
Persatuan Guru Indonesia (PGI) merupakan peleburan dari tiga puluh dua organisasi keguruan yang ada. Di antaranya adalah Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambatiihts School (PGAS), Persatuan Normal School (PNS), dan lain sebagainya. Organisasi guru PGI ini bersifat lebih nasionalis, lebih terbuka, dan lebih radikal. PGI mempunyai satu agenda penting yaitu mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu bangsa Indonesia dan Negara Indoesia.
Tiga bulan setelah proklamasi Indonesia Persatuan Guru Indonesia (PGI) melaksanakan Kongres Guru Indonesia. Kongres ini diselenggarakan di Surakarta pada 23 sampai dengan 25 November 1945. Pada kongres ini disepakati Persatuan Guru Indonesia (PGI) berubah nama menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pada kongres itu pula ditetapkan tujuan utama dari PGRI yaitu, pertama, mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, kedua, mempertinggi tingkat kependidikan dan pengajaran sesuai dasar-dasar kerakyatan, dan ketiga membela hak azazi guru.
Begitu penting dan strateginya peran guru, sehingga dalam sebuah memoarnya yang legendaris Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menuliskan larik-larik yang menggetarkan siapa saja yang membaca larik-larik tersebut: “Hanja goeroe jang benar-benar Rasoel Kebangoeanan dapat membawa anak ke dalam alam kebangoenan. Hanja goeroe jang dadanja penoeh dengan djiwa kebangoenan dapat ‘menoeroenkan’ kebangoenan ke dalam djiwa anak”. Bung Karno menuliskan larik-larik tersebut saat berada dalam suatu masa ketika bangsa Indonesia belum menjadi dan masih berada dalam pergulatan dan dialektika pemikiran saat mencari formula yang paling tepat dari berbagai tesis tentang cita-cita kebangsaan, impian masa datang, dan imajinasi baru tentang bangsa.
Mengapa Bung Karno justru menulis tentang guru dalam situasi dialektika berbagai impian negara bangsa? Hal itu, karena tak lain disebabkan kepercayaan dan keyakinan Bung Karno yang tinggi terhadap peran penting guru sebagai pengubah zaman. Keyakinannya itu dengan tegas dinyatakan dalam simbolisasi guru sebagai ‘Rasul kebangunan’. Rasul adalah pencerah zaman. Rasul adalah pelita dalam kegelapan. Rasul adalah pemberi katarsis pada masyarakat yang masih berada dalam kebodohan. Guru seperti rasul yang bertugas mencerahkan kehidupan suatu bangsa.
Kata ’kebangunan’ digunakan Bung karno untuk mempertegas bahwa sosok guru adalah sosok yang berjaga, yang selalu terjaga dan siap membangunkan saat masyarakat terlena. Yang seperti kata Chairil: berjaga di batas kenyataan dan harapan! Menjadi parajanana atau penjaga kehidupan nalar dan jiwa yang sehat.
Guru diletakkan oleh Bung Karno pada posisi sosial paling terhormat, paling bermartabat dan paling bermarwah. Bung Karno tak menggunakan istilah ‘pahlawan’ apalagi ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, namun larik-larik tulisannya tersebut secara tersirat dan tersurat menempatkan sosok guru justru jauh di atas pahlawan.
Lalu bagaimanakah sosok guru sekarang? Bisakah guru era sekarang ini menjadi ‘Rasul Kebangunan’? Bukankah abad ini jauh berbeda sehingga guru tak lagi jadi otoritas tunggal kebenaran, panutan dan keilmuan?
Tantangan guru di era ini sungguhlah besar, bahkan teramat besar. Guru memiliki dua tugas berat yang abadi yaitu mengembangkan pengetahuan atau nalar dan memperteguh nilai-niali moralitas dan nilai kemanusiaan. Tugas besar ini menjadi makin berat saat kondisi zaman yang berubah.
Zaman ini adalah era digital yang memiliki karakteristik mengejar bahkan adu cepat dengan percepatan, perluasan, dan pemerolehan pengetahuan, sehingga diperlukan guru yang berspektif digital yang tak hanya mengandalkan komunikasi analog saja, yang tak hanya berada dalam jalur linier, namun jalur general yang penuh lompatan dan ketakterdugaan. Era digital ini yang mengubah paradigma instruksi yang hanya mengandalkan pola komunikasi monomedia menjadi paradigma konstruksi dengan pola komunikasi multimedia. Perubahan ini berkonsekuensi pada tergerusnya kehangatan interaksi humanitas antara guru dan siswa karena berbagai alat komunikasi multimedia mendominasi praksis pendidikan.
Pendidikan dan sistem pendidikan pun tergerus oleh kendali kapitalistik, yang oleh Greene dalam bukunya Education Myth (2005) menjadikan pendidikan terjebak dalam mitos-mitos menyesatkan. Mitos-mitos tersebut antara lain mitos kompetensi yang hanya melahirkan kemampuan pragmatis, mitos standar yang hanya melihat pada hasil, tidak pada proses, mitos out comes yang mengukur keberhasilan lulusan pada ukuran mampu bekerja sehingga terjebak pada hitungan kapitalistik belaka.
Era yang berubah menjadi era digital, dan sistem pendidikan yang tergerus kendali kapitalistik membuat guru tak lagi mempunyai peran optimal mendidik, tetapi hanya sebatas mengajar. Setiap hari guru harus kalang kabut dan tunggang langgang memenuhi kewajiban mengajar 24 jam bahkan ada yang sampai 36 jam, belum lagi tugas administrasi bin aplikasi, akibatnya guru kehilangan momentum dan kesempatan untuk menyentuh siswanya secara emosi dan humanitas.
Ajaibnya, di tengah ketungganglanggangan dan kekalangkabutannya, guru masih diwajibkan memiliki berbagai kompetensi, seperti kompetensi akademik, kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Bagaimana mereka memiliki waktu untuk meraih semuanya itu? Akhirnya menghilanglah guru sang rasul kebangunan yang dulu diidambakan oleh Bung Karno yang semestinya juga harus dipunyai oleh guru abad ini.
Jikalau ingin mengharapkan kembalinya guru sang rasul kebangunan, haruslah tidak perlu lagi ada beban-beban berat bagi guru. Cukuplah guru mengajar 18 jam saja sedang sisanya bisa digunakan guru untuk lebih megembangkan diri mencari berbagai inovasi, untuk membaca, untuk menulis, serta lebih mengoptimalkan pendekataan emosi dan humanitas pada siswanya sehingga nalar dan jiwa siswa lebih terjaga. Semoga!