Oleh Irna Maifatur Rohmah
Bicara soal guru memang tidak ada habisnya. Mulai dari menjadi teladan, menjaga sikap, cerdas, tanggap, bijaksana, dan berbagai buntut lainnya tidak habis selagi masih ada peradaban manusia. Sebab, guru dan pendidikan tidak akan hilang selagi masih ada peradabaan manusia itu sendiri.
Kini di tengah zaman yang makin cepat perkembangannya dan segalanya bisa dilakukan dengan instan, rasa ingin tahu terhadap sesuatu semakin berkurang. Rasa penasaran untuk mendapatkan sumber data tidak setinggi dulu. Salah satunya sebab kemudahan yang ditawarkan di mana-mana, kita menjadi manja dan lebih menyukai informasi yang terpotong dan tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Hal ini yang sedang mendera di dunia pendidikan. Pendidikan dalam hal ini guru, perlu membenahi kebiasaan anak-anak agar lebih kritis dan menggunakan literasi yang mendalam dalam menerima informasi.
- Iklan -
Meskipun di kurikulum terbaru sudah dijadwalkan pembiasaan literasi sebelum kegiatan pembelajaran, namun nyatanya literasi yang dilakukan tidak sesuai dengan standard dari literasi tersebut. Dari beberapa pembiasaan, literasi menjadi wacana yang dilakukan sepekan sekali dalam durasi sekitar 30 menit. Kebijakan tersebut bisa berbeda-beda setiap sekolah.
Dengan sistem yang terlihat baik secara administratif, namun kenapa sikap dari anak-anak masih belum berubah. Anak-anak masih saja senang melanggar peraturan yang ada di sekolah atau norma-norma yang ada di lingkungan. Bukankah literasi bisa mengubah sikap dan pandangan seseorang sesuai dengan apa yang dibacanya?
Tidak jauh-jauh sampai berguru pada orang luar negeri, pada Ki Hadjar Dewantara saja, literasi dapat ditempuh dengan 3N (Ngerti, Ngrasa, Nglakoni). Jika sikap masih belum sesuai yang diharapkan dengan kata lain literasi yang dicanangkan di sekolah belum sukses. Padahal secara konsep sudah baik, 30 menit untuk literasi sebelum pembelajaran. Artinya, masih ada ketidaksinkronan antara konsep dengan praktik di lapangan.
Kegiatan pembiasaan literasi tidak didampingi oleh guru secara mendalam. Di sini guru tidak hanya hadir di kelas ketika kegiatan berlangsung. Namun perannya sebagai pembimbing tidak dilakukan dengan maksimal. Guru sendiri malah memanfaatkan waktu tersebut untuk men-scroll handphone yang tidak sesuai dengan kegiatan tersebut. Bagaimana anak akan melakukan literasi jika panutannya seperti itu.
Guru kadang malah tidak hadir ketika pembiasaan literasi tersebut. Entah itu rapat koordinasi guru atau alasan lain sampai tidak bisa mendampingi anak-anak. Sepantasnya, ketika anak-anak berkegiatan guru mendampingi dan mengondisikan agar kelas kondusif. Eh kok malah buat rapat koordinasi guru. Lha ya anak tidak ada yang mendampingi. Ingat, kesadaran anak Indonesia masih sangat rendah untuk belajar, apalagi untuk literasi. Sia-sia waktu 30 menit itu.
Tidak ada tindak lanjut setelah pembiasaan literasi. Di waktu 30 menit itu, anak dibebaskan untuk membaca tanpa ada feedback yang mengikuti. Anak dibiarkan membaca dan tidak ada kegiatan lain. Padahal jika berkaca pada konsep literasi Ki Hadjar Dewantara, literasi tidak hanya membaca. Tapi Ngerti, Ngrasa, dan Nglakoni. Di tahap pembiasaan literasi, sampai di tahap ngerti saja belum tau. Setelah membaca tidak ada sesi penyampaian kembali apa yang telah dibaca. Di fase ngerti aja belum sempat dilaksanakan.
Di sinilah perlunya pendampingan guru. Suatu sistem tidak ada artinya tanpa adanya pendampingan. Guru dan kurikulum yang sistem juga harus dilengkapi dengan pendampingan dari guru secara langsung. Sebab anak-anak belum bisa dibiarkan mengikuti sistem dengan tanpa adanya pendamping yang mengendalikan atau mengarahkan.
-Penulis aktif di UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Pondok Pesantren Nurul Iman Pasir Wetan,