Oleh Kak Ian
Dengan menggunakan penutup kepala dan masker anak usia SMP itu tertunduk lemah sambil memberi keterangan pada pihak kepolisian untuk melanjutkan penyelidikan lebih lanjut di TKP atas apa yang sudah diperbuatnya. Tidak lain penyelidikan atas perkara pembakaran sekolah di mana ia menuntut ilmu.
Jika kita melihat secara visual tentu sudah jelas menganggap anak laki-laki itu adalah tersangka. Ibarat tidak ada asap jika tidak ada apinya. Ada reaksi pasti ada aksi. Begitu bila ditelisik lebih lanjut sebenarnya kenapa hal itu bisa terjadi dan alasannya apa melakukan hal itu? Lagi-lagi anak itu ternyata adalah korban yang sesungguhnya bukan tersangka!
Ya, korban dari bullying di sekolahnya sendiri, lebih tepatnya korban pembullyan dari teman-teman sekelasnya. Peristiwa ini terjadi di Temanggung, Jawa Tengah baru-baru saja (ketika penulis mengangkat tema ini). Sungguh ironi sekali.
- Iklan -
Bullying dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai tindakkan penindasan atau perisakkan yang merupakan dari segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja baik itu satu orang ataupun kelompok yang merasa lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain. Dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti seseorang yang dilakukan secara kontinyu. Lain hal dengan pendapat dari Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti.
Pendidik dan Bullying.
Kasus bullying memang kerap saja terjadi dalam dunia pendidikan. Jadi khususnya notabene sebagai pendidik janganlah menutup mata jika pembullyan adalah bukanlah kenakalan biasa yang tidak perlu ditanggapi dengan cara ‘lebay’ dan diperpanjang dalam penanganannya padahal sangat memprihatinkan. Bila pendidik memiliki sikap seperti itu—dan masa bodo—bahkan tidak mau empati pada kasus bullying atau pembullyan, saya yang juga pernah menjadi korban pembullyan di sekolah sungguh amat bersedih. Apalagi saya sekarang ini sudah menjadi pendidik tentu tidak ingin hal itu kembali terjadi.
Tapi musykil rasanya, bila bullying di sekolah akan hilang. Tho, saya saja ingin hal itu tidak lagi terjadi di mana tempat saya mengajar. Ternyata bullying itu benar-benar momok sekali di lingkungan dunia pendidikan.
Hal ini pun pernah saya alami ketika saat lagi jam istirahat mengajar di ruang kantor guru. Terjadi baku hantam antara peserta didik di mana terjadi pembullyan secara verbal lalu berujung pertikaian fisik. Pembullyan dan pertikaian itu terjadi karena salah satu dari peserta didik selalu diejek dan dikatai—dengan membawa nama orangtua saat di mana pun ia berkumpul dengan teman sekelas atau kakak kelas selalu terjadi perkara seperti itu.
Lalu tugas saya sebagai pendidik apa yang harus dilakukan. Tidak lain mereka (korban yang dibully dan yang membully), tentunya saya mempunyai kewenangan untuk menegur sekaligus menasehati bahkan memberikan hukuman untuk efek jera. Salah satunya dengan perjanjian di atas hitam putih. Bila masih terjadi dan terulang kembali maka sanksinya wali murid itu harus datang menghadap saya atau diskorsing.
Itu hanyalah contoh yang saya alami sebagai pendidik. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah di luar sana bila peserta didik mereka mengalami tindakkan kasus bullying atau pembullyan? Apakah ada yang seperti saya lakukan atau ada yang lebih ekstrim. Atau, jangan-jangan masa bodo apalagi bila peserta didik itu ‘tukang bikin ulah’ atau membuat keributan tanpa tabayyun bagi pendidik. Benar-benar memiriskan sekali bila hal itu terjadi.
Ya, walaupun apa yang saya lakukan sebagai pendidik untuk memberikan hukuman efek jera bagi pelaku tindakkan bullying. Belum tentu aman-aman saja atau sudah selesai bahkan bisa saja menjadi bom waktu. Kapan dan di mana bisa saja meledak.
Bullying dan Pendidikkan : Bagai Sisi Mata Uang
Betul. Apa yang dikatakan oleh Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti soal banyaknya sekolah dari jenjang SD hingga Menengah Atas yang belum menjalankan Permendikbud 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Sepanjang pengamatannya, sekolah-sekolah tidak tahu adanya aturan tersebut dan sosialisasi dari Kemendikbud disebutnya tidak terlalu kencang. (bbc.com, 03 juli 2023)
Menteri Pendidikan dan Budaya (Mendikbud), Nadiem Makarim pun pernah memaparkankan dan memberitahukan bila hasil survei karakter yang dilakukan Kemendikbud. Di mana survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia dari level SD/Madrasah hingga SMA/SMK. Ada 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru yang dilibatkan dalam survei tersebut. Hasil dari survei tersebut ternyata ada 24,4 persen potensi perundungan atau bullying di lingkungan sekolah. Ironi sekali.
Perlu diketahui juga ternyata kasus bullying atau pembullyan bukanlah isu isapan jempol belaka. Tapi sudah berkembang di berbagai belahan dunia.
Sebut saja ada beberapa negara dengan kasus bullying terbanyak dan tertinggi di dunia. Salah satunya di Austria dengan kasus bullying atau pembullyan yang sangat tinggi. Bayangkan Austria melaporkan jumlah kasus intimidasi tertinggi secara global. Satu dari lima siswa di negara itu mengalami bullying. Tidak seperti di negara-negara lain, anak-anak perempuan di Austria memiliki presentase yang lebih tinggi sebagai korban bullying. Korban sering diejek tanpa henti atau dikucilkan dari lingkungan sosialnya. Bukan hanya di Austria saja ada empat negara lagi yang memiliki kasus bullying atau pembullyan terbanyak dan tertinggi di antaranya; Estonia, Rusia, Belgia dan Portugal.
Kalau sudah seperti itu. Siapakah yang pantas turun tangan bila terjadi kasus bullying atau pembullyan terutama terjadi di sekolah? Apakah orangtua (wali murid), atau pendidik atau Komisi Perlindungan Anak (KPAI) sebagai pelindung martabat anak, melalui UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kepres No. 77 tahun 2003 yang merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang bertugas untuk melindungi anak-anak bangsa dari segala tindakan yang merugikan mereka.
Namun buat saya sebagai penulis siapa pun berhak turun tangan dengan kasus tindakkan bullying atau pembullyan karena itu tanggungjawab kita bersama. Semua lapisan masyarakat pun harus ikut berkontribusi dalam menghalau tindakkan tidak terpuji itu serta melindungi korbannya tanpa terkecuali.
Semoga saja pendidikan Indonesia bisa dipenuhi dengan rasa kasih dan cinta terhadap sesama dan kita bisa berkata. Say No To Bullying!
Bionarasi Penulis
Kak Ian, penulis dan pengajar. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di media cetak dan online. Sedang menyiapkan buku ke enam dan ke tujuh; Kumpulan Cerpen “Jika di Antara Kita Lebih Dulu Dipanggil Tuhan” dan 20 Kumpulan Dongeng Profesi “Juru Masak dan Pisau Kesayangannya.”