Oleh Panji Pratama
I
Tidak dinyana memang, langit mendung hari ini. Dari kadar temperaturnya, kelihatan benar udara sudah mulai basah. Padahal sudah dua bulan desa Marimabrur diterpa hawa panas yang keparat. Bahkan, BMG yakin hari ini matahari bakalan terlihat telanjang, maksudnya tidak bakalan ada awan yang sekadar bisa menutupi teriknya matahari. Nyatanya, ramalan memang tidak perlu dipercayai, cuma sugesti, lebih baik istiqomah saja sama insting alam. Toh sekarang mau hujan, malah sudah gerimis.
Mau hujan, mau panas, kita sebagai manusia cuma perlu bersyukur. Tidak usahlah, waktunya hujan minta panas dan pas musim panas ngotot minta hujan. Atau, yakin sama ramalan kalau panas akan tetap panas dan dingin akan terus-terusan dingin. Lebih baik, ikut apa kata alam; tidak panas, tidak dingin, yang sedang-sedang saja –memang mirip judul lagu sih-. Yang penting tanah jadi gembur, pohonan jadi subur, rakyat jadi makmur, jadi tak usah lagi orang mesti kerja lembur.
- Iklan -
Tapi, tidak demikian dengan Mahesa Notonegoro, seorang negarawan yang gusar sejak seminggu belakangan ini. Kepala Pak Negoro -begitu beliau dipanggil bawahannya- mendadak suka senut-senut, seperti terjemur panasnya matahari desa Marimabrur. Kelainan ini bukan karena ia terkena penyakit saraf otak terkenal semacam Spinocebellar Degerenation Desease, namun karena sejak setelah minggu lalu Bapak Kepala Desa Marimabrur memasukkan namanya ke dalam daftar staf Kelurahan yang akan di-reshuffle, penyakit pening tujuh kelilingnya ini mendadak muncul.
Dalam konfrensi persnya bersama para sesepuh desa di aula kelurahan sebulan lalu, Kades berjanji untuk mengubah formasi kabinetnya agar kinerja pemerintahan di desa meningkat. Maklumlah, warga desa Marimabrur ini sudah sangat cukup pintar ternyata. Setelah bergulirnya reformasi dan banyaknya berita demo di televisi –sekarang di desa pun sudah banyak warga yang punya teve-, para warga yang dulunya ABS (Asal bapak Senang) menjadi lebih kritis. Warga pelosok sekalipun, katanya, jadi hafal yang namanya demokrasi. “Demokrasi adalah demonstrasi demi sesuap nasi.”, begitu kata seorang perwakilan Sarikat Kuli Panggul Pasar dan Penarik Delman, atau di desa lebih dikenal dengan panggilan Ormas Sarkul Sarman.
Memang sepertinya bagi mereka rakyat-rakyat kecil ini, reformasi berarti bebas mendapatkan uang dari mana saja. Sempat pula terjadi ketika Sang Kades terpilih, mendapatkan suara mayoritas terbanyak tiga tahun lalu dalam waktu 5 menit saja. Alkisah, sang calon Kades dan tim suksesnya, termasuk Mahesa Notonegoro membagi-bagikan amplop berisi uang 15 ribu rupiah ke tiap kepala keluarga di malam pencoblosan pemilihan Kades. Kontan saja, “suara” warga jadi beralih ke pihak yang dermawan ini. Namun, itu dulu. Akhir-akhir ini warga jadi meningkat kecerdasannya, mungkin karena saling nonton berita di teve. Jadinya, warga seolah seperti juri bagi tiap-tipa segi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada masalah sedikit saja yang terjadi di struktur intern kelurahan, bakal segera diketahui warga. Bahkan, staf-staf desa, macam Mahesa Notonegoro yang menjabat Sekertaris Desa saja, terus dimonitor pekerjaannya oleh warga. Dari mana dia bangun tidur, ke mana dia masuk wc, sampai mana dia plesir, hingga masalah aliran dana yang masuk ke lemarinya pun diuntit oleh warga. Akhirnya, Kades pun tidak bisa leluasa mengarahkan orang-orang di pemerintahannya, sehingga pada saat warga Marimabrur, dari rw 01 sampai rw 11, menuntut beberapa stafnya harus diganti, terpaksalah dia menururtinya. Semacam ultimatum, munurutnya.
Suara rakyat, suara Tuhan. Benar pula peribahasa itu. Pak Kades seolah tak berkutik. Ia seperti sedang minum jus buah simalakama. Maka, saat ia teguk jus buah itu, pilihannya jatuh pada keputusan merombak isi kabinet pemerintahannya. Dan, rapat desa sebulan lalu menjadi klimaks dari evaluasi kinerja pemerintahannya. Bahkan, setelah konfrensi pers tersebut, di desa Marimabrur, konon, terjadi wabah penyakit jantung, terutama lagi yang dialami oleh setiap jajaran staf desa yang kerjanya belum pada tahap maksimal atau tersangkut beberapa kasus yang rumit.
Ada beberapa kasus yang menjadi perhatian Bapak Kades dalam mengevaluasi kabinetnya. Ada kasus, staf administrasi desa yang ketahuan selingkuh dengan penjual lotek di warung pojok. Ada kasus irigasi-gate, yaitu semacam kasus uang yang terselewengkan untuk proyek pengadaan dam di rw 05 oleh Kepala Seksi Humas. Atau kisah lain sekitar seringnya staf kebersihan yang melakukan jalan-jalan menggunakan motor dinas Kelurahan. Kasus lain yang terbilang mewah dan menjadi sorotan publik desa Marimabrur adalah yang terjadi dengan Pak Negoro yang diduga mencairkan dana bantuan dari pengusaha kulit sapi untuk kepentingan pribadi –sebetulnya untuk anaknya yang merengek dibelikan sepeda baru-, terlebih lagi ia diduga menggunakan uang pungutan pengaspalan jalan desa untuk digunakan istrinya berobat melahirkan.
“Nah, kasus-kasus ini teh yang sekarang jadi bahan pertimbangan Pak Kades buat menggodok isu reshuffle kabinet!”, kata seorang petugas kebersihan desa dengan kritis.
“Ah, masa. Bukankah Pak Kades dan Pak Negoro itu teman deket. Bahkan cenderung seperti ban sepeda. Saling membutuhkan satu sama lain. Kalau Pak Kades mengganti Pak Negoro, kumaha jadinya nanti pemerintahannya ke depan?”, tanya kawan si petugas kebersihan tak mau kalah pintar sambil menyandarkan punggung dan sapu lidinya ke tembok aula desa.
“Iya, memang sih. Tapi rombakkan kabinet mah ‘kan jadi hak prerogatf Pak Kades, bukan begitu? Jadi, Pak Kades ngga salah-salah sekali. Dan juga ngga ada pilihan lain.” si petugas kebersihan berdiri, sambil mengambil sapu lidi yang tadi temannya simpan.
“Bener! Bener! Iyah, bener juga Jang, dari pada Jabatan sendiri punya Pak Kades yang hilang mendingan ngorbanin temen. Gitu ‘kan maksud kamu. Politik ‘kan begitu.”, sebentar kemudian mereka melanjutkan tugas bersih-bersih mereka. Mereka jadi kembali bersemangat untuk menyapu bersih semua sampah-sampah di depan aula desa, sebab besok rencananya Pak Kades akan menggelar rapat tertutup kabinet.
Sebenarnya, Bapak Lurah yang terhormat dan Pak Negoro yang katanya terdzolimi ini adalah sahabat karib. Dahulu, sebelum terjun ke politik, keduanya adalah teman seprofesi sebagai tukang ojek di kampungnya. Setelah, sistem pemilihan Kepala Desa bermetamorfosis menjadi bersistem Pemilihan Langsung oleh rakyat, maka berubahlah semua. Kepala Desa sekarang ini, dulu waktu bersaing dengan calon lain di pemilihan, menjadi andalan warga kebanyakan setelah ikut didukung Mahesa Notonegoro yang punya massa karena mantan Ketua Pengurus Ojek dan Ketua Aliansi Pemuda Anti-Nongkrong. Dan menurut kesepakatan, Bapak Kades terpilih berjanji untuk mengajak Pak Negoro masuk ke dalam kabinet bersatu, nantinya.
Akan tetapi, kenangan indah itu sekarang seolah sirna. Mahesa Notonegoro alias Pak Negoro seperti kebakaran jenggot. Suara politiknya seolah berubah 180 derajat. Dendamnya seolah mengisyaratkan hubungan pertemanan mereka putus sudah. Tak mau lagi ia bekerja sama dengan sang Kades. Ia jadi gampang naik pitam, selain tentunya gampang senut-senut kepalanya. Apalagi setelah seminggu yang lalu, dirinya menjadi salah satu jabatan yang akan diganti. Ia merasa tidak percaya, seolah pagar makan tanaman sampai ke akar-akarnya, pikirnya. Ia memang tidak was-was sedikit pun pada awalnya, karena ia pikir alasan hubungan koneksi dan kolusinya serta dukungan suaranya dulu tidak akan menggeser posisinya sebagai Sekda. Tetapi, ternyata nasib berkata lain. Lain bulu lain ilalang, lain dulu lain sekarang. Dulu berbulu, sekarang belang-belang. Dulu ke mana-mana selalu lengket, sekarang karena sudah mepet, yang kalah harus dipepet.
***
II
Udara lagi-lagi panas. Padahal langit sudah hampir lembayung. Kaki para staf yang dari tadi berdiri pun sudah agak pegal. Sore ini, Bapak Kades memanggil jajarannya untuk sedikit menyampaikan perintah rapat besok. Disingkapkannya sejenak lengan kanan baju dinas kuning kecoklatan milik Pak Kades. Jam tangannya sudah menunjukan pukul 4: 20 petang.
“Ok. Cukup untuk sekarang. Ingat buat besok ya, pukul 07.00 tepat. Semua staf harap sudah berkumpul di aula desa ya”, kata Pak Kades mengomandoi seluruh jajarannya agar meneruskan perintahnya ini kepada para staf yang tidak hadir hari ini, termasuk Pak Negoro. Kemudian, perintah itu langsung disampaikan masing-masing menuju orang-orang yang tadi katanya berhalangan hadir melalui kurir desa. Pak Negoro sendiri mendapatkan undangan rapat besok langsung dari Pak Kades melalui telepon genggamnya.
Sebenarnya, surat rekomendasi penurunan pangkat Pak Notonegoro dari jabatan yang “panas” yaitu Sekda ke jabatan yang “adem ayem” sekaligus nyeleneh yaitu Ketua ibu-ibu PKK, sudah diberikan melalui kurir kades lima hari-an yang lalu. Namun, baru besoklah, tepatnya, akan ada pemberitahuan resmi dari Bapak Kades. Mereka, antara Bapak Kades dan para staf; termasuk Pak Negoro, akan dijadwalkan mengikuti rapat tertutup untuk membahas perombakan kabinet tersebut. Nantinya, apakah akan ada saling tukar posisi jabatan atau sama sekali diberhentikan, berpulang pada keputusan akhir Pak Kades. Nah, Pak Notonegoro ini kabarnya, hanya akan menerima jabatan yang aneh, yang bahkan tidak sesuai dengan sfesifikasi latar belakangnya yang sarat pengalaman. Ia merasa direndahkan sedemikian rupa setelah harus berganti posisi menjadi Ketua ibu-ibu PKK, bukankah masalah perempuan harus diselesaikan oleh perempuan lagi? Pikirnya!
Kaget juga ia mendapat telepon dari sang Kades. Berani juga, pikirnya. Menurutnya, seharusnya Kades sudah mafhum dan sadar diri dengan tidak masuk kerjanya dirinya sebagai Sekda hari ini, berarti seorang Mahesa Notonegoro ini sedang tersinggung dan marah besar. Masa, hubungan mereka yang terjalin lama tidak bisa menjadi alasan penggantian dirinya dari jabatan Sekda. Seharusnya, Kades bisa mencari alasan kepada publik bahwa jabatan Sekda memang tidak boleh diganti. Dan melupakan begitu saja masalah-masalah yang selama ini pernah tersangkut kepadanya, pada waktu menjabat Sekda.
“Pak. Besok datang Masa, hubungan mereka yang terjalin lama tidak bisa menjadi alasan penggantian dirinya dari jabatan Sekda. Seharusnya, Kades bisa mencari alasan kepada publik bahwa jabatan Sekda memang tidak boleh diganti. Dan melupakan begitu saja masalah-masalah yang selama ini pernah tersangkut kepadanya, pada waktu menjabat Sekda.
“Pak. Besok datang, ya? Saya ada penawaran bagus buat Pak Negoro agar untuk beberapa waktu ke depan melepas dulu jabatan Sekda sampai isu-isu buruk tentang Bapak di masyarakat mereda.”, sambut Pak Kades ditelepon, agak merayu memang.
“Tapi, bapak seharusnya memikirkan saya dong. Seharusnya, bapak sadar Bapak tidak akan jadi apa-apa tanpa bantuan saya. Lagi pula uang untuk dibagi-bagikan pada warga dulu, belum lunas bapak bayarkan pada saya.”, keluh yang diajak bertelepon.
“Makanya. Besok kita bicarakan setelah rapat. Kita bicarakan berdua, jangan sampai hubungan kita dipengaruhi politik. Pak Negoro bisa ‘kan bersikap profesional.”
“Ini, bukan masalah politik atau lainnya. Profesi saya memang Sekda dan saya tidak rido jika saya harus memberikannya pada orang lain. Cuman masalah hilang uang sedikit. Kenapa mesti saya yang didepak?” nada Pak Sekda yang jabatannya terancam ini kian meninggi.
“Untuk itu. Bapak sabar sebentar. Kita buat kesepakatan dulu. Kita buat besok seolah-olah bapak jadi ketua Ibu-ibu PKK untuk beberapa waktu dan bapak tinggal tingkatkan kinerja Bapak supaya warga berubah pikiran. Maka, nanti bapak bisa mendapatkan jabatan bapak lagi. Bagaimana? Kalau begitu sudah dulu ya pak?”
“Sabar… Sabar… tidak bisa begitu dong Pak. Nanti, saya tarik dukungan saya dari Bapak. Atau hubungan pertemanan kita putus saja. Ini ancaman serius… haloo… haloo… pak Kades.”, maka putuslah hubungan erat mereka selama ini sesaat setelah ucapan mengancam Mahesa Notonegoro keluar berbarengan dengan terputusnya telepon tadi.
Seketika itu pula adrenalinnya memuncak. Pikirannya yang ke sana-ke mari membuat sel-sel otaknya tersesat. Kedua tangannya, ia kepal-kepalkan. Tiba-tiba rasa gatal menghinggapi jemari Pak Sekda. Istrinya yang saat itu berada di depan matanya ia anggap saja guling untuk latihan bertinju. Istrinya yang datang ke kamar bermaksud menghibur sambil membawakan teh hangat, malah dijadikan sasaran amarah yang tak jelas. Padahal ia sudah sering menerima penyuluhan bahaya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di kelurahan. Mau tak mau sang istri hanya pasrah kena jab dan straight sang suami, meskipun sang istri bingung dengan apa yang menjadi kesalahannya pada waktu itu. Mungkin karena sang istri tidak mau memasakkan air hangat untuknya mandi malam ini. Padahal istri yang kena tinju salah sasaran ini adalah istri kedua Pak Negoro. Waktu ijab kabul lima bulanan lalu, Mahesa Notonegoro berjanji memenuhi syarat mawadah, warahmah, dan sakinah dari bapak mertua. Dan tidak akan menyakiti sang calon istri walau segores luka.
Begitulah, jadinya. Terkadang, orang tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan kekesalan jika sudah terselubungi oleh asap emosi. Padahal belum tentu kekuasaan yang kita pegang sekarang akan tetap sama di esok hari. Bukankah jabatan itu adalah amanah. Memang kadang emosi gampang mengalahkan otak, sekalipun yang cerdas. Padahal Pak Notonegoro ini adalah lulusan Fakultas Hukum dari UNFAIR, Universitas Negeri Fadil, Intelek, dan Rasional. Tetapi, begitulah hidup, apa yang dipikirkan Pak Kades di rumahnya malam ini tentu berbeda dengan apa yang sekarang berkecamuk di benak Pak Negoro.
***
III
Pukul 2 seperempat siang. Sebuah mobil patroli polisi mendatangi kediaman Mahesa Notonegoro dan istri. Tampak pula mobil lain yang di kaca depannya menempel stiker berlogo KAPIT, Komisi Asli Pemberantasan Indung Tikusss.
Dua jam lalu, istri Mahesa Notonegoro melaporkan pemukulan yang dilakukan suaminya semalam. Ia tidak betah lagi dengan perangai suaminya yang mencapai klimaksnya semalam. Bahkan, sang istri berani bersaksi untuk kasus korupsi yang dilakukan suaminya sendiri selama ini. Sebelumnya, selama lima bulan menjadi “madu”, istri kedua ini telah menyaksikan suaminya memindahkan uang dari kas desa ke lemari di kamarnya. Pada saat itu, sang istri mengira suaminya kurang percaya terhadap bank yang ada di kota, ternyata kejadiannya lain. Sungguh tidak salah anggapan tetangga yang suka menggosipi keluarganya sebagai keluarga korupsi.
Kini, belum lagi rapat yang sedang diadakan di aula desa selesai. Belum lagi keputusan reshufle kabinet desa usai dibacakan Pak Kades. Mantan Sekda, Bapak Mahesa Notonegoro, menghadapi tuduhan berlipat; pelaku tindak pidana KDRT dan pelaku tindak penyelewengan uang rakyat alias korupsi. Maka, besok di televisi bukan lagi berita politik yang akan ramai diperbincangkan para warga Marimabrur, tetapi malah menjadi berita kriminal yang mengaharukan. Amat mengharukan.
Biodata
Panji Pratama adalah penulis paruh waktu. Pernah bekerja sebagai wartawan. Penulis bergiat di Forum Taman Bacaan Masyarakat dan sesekali masuk kelas untuk berbagi ilmu dengan anak-anak. Saat ini tinggal di Kinabalu, Malaysia.