Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Hakikatnya seorang pelajar tidak akan pernah memperoleh kesuksesan sebuah ilmu dan kemanfaatan dari ilmu kecuali dengan mengagungkan ilmu, ahli ilmu serta mengagungkan guru. Termasuk dari memuliakan ilmu adalah memuliakan orang yang mengajarkan ilmu itu. Sayyidina Ali berkata, “Saya adalah hamba sahayanya orang yang telah mengajariku satu huruf, terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan atau pun tetap dijadikan budak.”
- Iklan -
Ini menunjukkan bahwa, orang yang telah mengajarkan satu huruf dari satu hal yang kamu butuh dalam urusan agamamu ataupun ilmu yang lain, maka dia adalah bapak kamu dalam kehidupannya. Karena itu, murid hendaknya tidak boleh sombong terhadap orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, tetapi harus tawadhu’ dan mematuhi semua nasehat guru. Sehingga ilmu yang disampaikan oleh guru akan mudah diterima dan mempunyai “berkah”.
Lalu karakter apa yang harus dimiliki santri?
Sekurang-kurangnya, Kiai Hasyim dalam kitabnya Adabul Alim Wal Muta’alim mengatakan bahwa santri (peserta didik) harus memiliki pertama, sikap tawadhu’. Kita tahu, tawadhu’ adalah sikap rendah hati, tidak menganggap dirinya melebihi dari orang lain, dan tidak menonjolkan dirinya sendiri, yang mana sikap ini perlu dimiliki oleh setiap santri.
Karena itu, murid hendaknya tidak boleh sombong terhadap orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru. Bahkan, ia harus menyerahkan seluruh urusannya serta mematuhi semua nasehat guru, seperti orang sakit yang bodoh mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih sayang.
Hendaklah ia bersikap tawadhu’ kepada guru dan mencari pahala dengan berkhidmah kepadanya. Karena ilmu enggan terhadap pemuda yang congkak, seperti banjir enggan terhadap tempat yang tinggi. Ilmu tidak akan bisa diperolah kecuali dengan sikap tawadhu’ dan konsentrasi. Sehingga ilmu yang disampaikan oleh guru akan mudah diterima dan mempunyai “berkah”.
Itu sebabnya, Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada setiap santi untuk senantiasa bersikap tawadhu’ terhadap seorang guru. Misalnya, ketika guru menjelaskan pelajaran, maka santri harus mendengarkannya biarpun dia sudah paham, dan tidak boleh meremehkan guru biarpun kapasitas keilmuannya lebih rendah dari seorang murid.
Kenapa demikian? Karena ilmu yang diperoleh dari seorang guru akan bermanfaat dan berkah. Jika santri menyakiti hati seorang guru, maka keberkahan ilmu baginya akan tertutup dan hanya akan memperoleh manfaat sedikit dari ilmu yang dikajinya. Dan seharunya, bagi para santri, akhlak lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Sedikitnya sopan santun lebih berharga dari pada banyaknya ilmu. Ini senada dengan yang disampaikan Imam Ibnu al-Mubarak:
نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ
Artinya: “Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak (Syekh Syatha Dimyathi al-Bakri, Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Ashfiya, Dar el-Kutub al-Ilmiyah, h. 262).
Kedua, menghormati guru. Rasa hormat adalah representasi atas keberadaan orang lain tanpa memedulikan predikat yang melekat pada diri orang tersebut. Rasa hormat tetap diperlukan meskipun orang yang kita hormati berada di bawa kita secara predikat.
Al-Ghazali dalam kitab Mukhtasor Ihya’ Ulumuddin, mengatakan bahwa seorang murid hendaknya tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu, dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru. Bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya serta mematuhi nasihatnya, seperti orang sakit yang bodoh mematuhi nasihat dokter yang kasih sayang.
Demikian juga menurut Syaikh al-Zarnuji, beliau mengatakan bahwa seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan sebuah ilmu dan kemanfaatan dari ilmu itu, terkecuali dengan mengagungkan ilmu itu, ahli ilmu serta juga harus mengagungkan guru.
Oleh karena itu, Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada seorang murid untuk senantiasa menghormati guru. Misalnya, ketika berbicara kepada guru, santri harus menggunakan bahasa yang sopan, tidak boleh memanggil guru dengan nama aslinya, akan tetapi harus dengan sapaan “Wahai Ustadz”. Jelasnya, tidak boleh meremehkan guru biarpun kapasitas keilmuannya lebih rendah dari seorang santri.
Sekali lagi, ketika guru menjelaskan pelajaran, santri harus mendengarkannya biarpun dia sudah paham, dan menghormati anak-cucunya, menghormati keluarga guru maupun orang-orang yang dikasihi guru. Santri tidak boleh meminta waktu khusus kepada guru untuk dirinya sendiri tanpa ada orang lain, meskipun murid berstatus pemimpin atau pembesar. Sebab, hal ini termasuk sikap sombong dan tidak menghormati terhadap guru.
Tak hanya itu, kata al-Zarnuji, bahwa santri tidak akan mendapat ilmu melainkan ia menghormati ilmu dan pemiliknya, yaitu gurunya. Beliau menyebut etika apa saja yang harus dilakukan seorang pelajar, di antaranya adalah tidak duduk di tempat duduk gurunya, tidak memulai percakapan dengan guru kecuali atas izinnya, tidak banyak berbicara di sisi gurunya, dan lainnya.
Ketiga, selalu berperilaku sabar. Sabar menjadi salah satu yang terpenting dalam proses mencari ilmu. Karena dalam mencari ilmu sudah pasti akan ada cobaan, baik dalam bentuk fisik maupun material. Sehingga dalam pembelajar dibutuhkan fisik yang kuat dan juga bekal yang cukup.
Menurut Syaikh al-Zarnuji, kesabaran dan keteguhan merupakan modal yang besar dalam segala hal, tetapi hal itu sangat jarang orang melakukannya. Dalam menuntut ilmu, santri hendaknya bersabar dan bertahan kepada seorang guru dan kitab tertentu, sehingga ia tidak meninggalkannya sebelum sempurna.
Syekh al-Zarnuji menukilkan sebuah syair gubahan Imam Ali bin Abi Thalibin dalam kitabnya Ta’lim Al-Muta’allim:
اَلاَ لاَتَنَــــالُ الْعِـــلْمَ اِلاَّ بِســــــِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
“Ingat, kamu tidak akan memperoleh ilmu (dengan sempurna) kecuali dengan enam syarat yang semuanya akan kusebutkan dengan jelas. Kecerdasan, ketamakan pada ilmu, perbekalan , bimbingan guru, dan waktu yang lama.”
Dalam kitab Bughyatul Musytarsyidin, Tuhfatul Habib dan Hasyiah Bajuri disebutkan Syair yang mirip dengan syair Imam Ali di atas:
أخي لن تنال العلم إلا بستة سأنبيك عن تفصيلها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة نصيحة أستاذ وطول زمان
Syahdan, Kiai Hasyim dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’alim, menganjurkan kepada murid untuk senantiasa berperilaku sabar dalam segala hal, seperti murid harus bersabar terhadap buruknya akhlak seorang guru. Bahkan, dia harus menafsiri dengan sebaik-baiknya terhadap perbuatan-perbuatan guru yang merupakan sikap aslinya dengan menganggap bahwa perbuatan tersebut bukanlah perilaku guru yang sebenarnya. Ketika guru bersikap kasar kepada murid, maka hendaknya murid yang memulai minta maaf, mengaku salah dan memohon keridhaan seorang guru, karena hal itu dapat mengantarkan kepada keberhasilan subuah ilmu. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.