Oleh: Salman Akif Faylasuf*
Hakikatnya, kata Gus Dur, pendidikan harus dapat memberikan rasa aman dan sejahtera bagi sesama manusia. Pendidikan memberikan dampak yang menjadikan manusia menjadi lebih baik dalam semua hal. Tidak hanya menjadikan manusia menjadi lebih mulia di hadapan Tuhan, tetapi juga menjadikan manusia lebih beradab dan sejahtera terhadap sesama manusia.
Manusia adalah makhluk yang merdeka, merdeka untuk hidup, bertempat tinggal, bergama, dan berpendidikan. Manusia juga berhak mengembangkan, membina, serta mengaktualkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Bahkan, manusia itu mampu berpikir tentang kejadian apa yang dialaminya sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini. Tentu saja, kebebasan bagi peserta didik itu sangat penting. Dalam artian, kebebasan yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin di tengah kemajemukan yang ada.
- Iklan -
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam berada dalam atmosfer modernisasi dan globalisasi yang dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat Islam. Baik pada tataran intelektual teoretis maupun praktis.
Pendidikan Islam bukan hanya sekadar proses transformasi nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi dan modernisasi, melainkan yang paling penting adalah sebagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan lewat pendidikan Islam mampu berperan aktif sebagai penggerak, yang memiliki power pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan sosial budaya, kebodohan, ekonomi, dan kemiskinan di tengah mobilitas sosial yang begitu cepat.
Lalu bagaimana metodologi pendidikan Gus Dur?
Sebenarnya, mengenai metode pendidikan Islam, Gus Dur sebenarnya tidak memakai aturan-aturan yang baku. Namun, Gus Dur mencoba menggunakan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan atau kondisi para murid, baik kondisi psikologis dan kondisi sosiologis siswa.
Di antara metode pendidikan Islam menurut Gus Dur; pertama metode qishah. Metode ini digunakan oleh pendidik dengan bercerita suatu kejadian untuk diresapi peserta didik, atau peserta didik disuruh bercerita sendiri dengan mengambil tema-tema materi kisah ajaran Islam yang perlu diresapi dan diteladani. Itu sebabnya, metode ini dalam pendidikan Islam menggunakan paradigma al-Qur’an dan Hadits Nabi, sehingga dikenal istilah “kisah qur’ani dan kisah nabawi”.
Rupanya, selama mengajar, Gus Dur berusaha menyampaikan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa. Dalam hal ini, Gus Dur sering bercerita mengenai kisah-kisah yang dapat diteladani oleh siswa baik kisah-kisah Islami ataupun kisah-kisah sejarah. Karena menurut Gus Dur, dengan melihat sejarah kita dapat mengetahui hal-hal yang belum terungkap, sekaligus sebagai sarana untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan diri kita untuk masa depan yang lebih baik lagi.
Tak hanya itu, dalam pembelajaran, Gus Dur sering sekali menyampaikannya dengan cara yang humoris. Sebab, Gus Dur ingin suasana pembelajaran berlangsung santai dan nyaman, sehigga siswa merasa nyaman di kelas dan pada akhirnya siswa memahami pembelajaran dengan baik. Selain berfungsi mencairkan suasana, penyampaian yang humor dapat menstimulus siswa untuk berpikir rasional.
Kedua, metode ta’lim al-kitab. Metode ini merupakan upaya membelajarkan sumber pokok ajaran Islam al-Qur’an dan Sunnah, baik lewat membaca maupun menerjemahkannya. Salah satu metode pembelajaran yang Gus Dur lakukan adalah dengan ta’lim al-kitab.
Tentunya, hal ini dilakukan karena Gus Dur ingin siswa atau santri mempelajari materi atau teori berdasarkan sumber aslinya, lalu Gus Dur menyampaikannya disesuaikan dengan kondisi siswa atau santri. Dengan demikian, siswa mengetahui dasar pengetahuan yang mereka pelajari dan memiliki suber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, metode ibrah atau mau’izah. Metode ini dilakukan dengan menyajikan bahan pembelajaran yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan, atau kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang dapat disaksikan. Sementara itu, metode mau’izah adalah pemberian motivasi dengan menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan.
Dalam proses pembelajaran, Gus Dur berusaha menyampaikan pembelajaran yang bersifat kritis dan terkadang memiliki pesan tersirat. Sebab, Gus Dur ingin siswa dapat memahami suatu makna, yang tidak hanya bersifat tekstual dalam buku atau kitab saja, tetapi juga siswa mampu memahami pesan yang tersirat.
Misalnya dalam materi tasawuf Al-Ghazali, beliau menyesuaikan bahasa dan maknanya dengan kemampuan siswa. Tetapi juga, ada hal yang mana siswa harus pahami pembelajaran tersebut secara tersirat. Hal itu tentu dapat dilakukan siswa jika siswa mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Masih tentang pendidikan. Hakikatnya, tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali ada dua. Pertama, insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.; kedua, insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ciri khas Pendidikan Islam secara umum yaitu, sifat moral religiusnya yang nampak jelas dalam tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun sarana-sarananya, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.
Jika dilihat secara umum, rupa-rupanya pendapat Al-Ghazali ini sesuai dengan aspirasi-aspirasi pendidikan Islam, yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral. Sedangkan sarana pokok untuk mencapai tujuan pendidikan terdiri dari materi pendidikan. Artinya, anak didik harus disiapkan seperangkat materi (kurikulum) yang siap untuk dipelajari. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.