Oleh Hamidulloh Ibda
Saya beberapa waktu lalu melakukan diskusi kecil dengan kawan sastrawan. “La mereka yang tidak pernah mengenal koran cetak, majalah cetak, dan karya sastra mereka dimuat di sana apakah layak disebut sastrawan ketika karya sastranya hanya dimuat di medsos?” demikian tanya saya.
Teman tersebut menjawab “ya, sah-sah saja dia mengklaim diri sebagai sastrawan. Tapi sebutan itukan dari dirinya sendiri. Bukan labeling oleh publik dan media massa yang punya otoritas,” kata rekan saya tersebut.
Saya pribadi sependapat. Namun perlu ditegaskan bahwa penulis karya sastra berbeda dengan sastrawan. Poinnya di situ. Sastra pun sangat dinamis. Di era digital dan siber, bisa jadi banyak media digital bisa menjadi alat atau pemuat karya sastra, namun sangat berbeda dengan karya sastra yang dimuat di koran Kompas, Jawa Pos, Tempo, misalnya demikain. Nah, di sinilah yang tidak bisa dikuasai dan tidak dimiliki oleh penulis sastra yang karyanya sekadar dimuat sendiri olehnya sendiri pada media sosial miliknya. Meski demikian harus diakui masing-masing punya kekurangan dan kelebihan.
- Iklan -
Sastra Siber
Lalu, bagaimana dengan sastra siber? Ya, perubahan menjadi keniscayaan dalam hidup. Di sini, sastra pun berubah namun bagi saya sekadar media yang memuat karya sastra saja yang berubah. Soal karyanya atau konten, sama. Berubah tapi bergantung siapa penulis dan apa yang ditulis. Jadi menulis karya sastra di media massa mainstream tentu jauh lebih otoritatif karena ada seleksi, kurasi, dan editing.
Meski demikian, sastra siber ada tempatnya. Tidak bermaksud membandingkan antara sastra siber dengan yang konvensional. Itu sekadar medianya saja. Tema ini pun sudah lama dan menjadi perdebatan di kalangan sastrawan.
Cybersastra atau sastra siber lahir di era 1990-an ketika komputer dan berbagai alat elektronik mulai berkembang hingga kini. Kemudian berkembang berbagai media sosial dari yang diikuti generasi bahulak (generasi tua) hingga yang TikTok dan muncul AI yang kini menjamur.
Secara konseptual, saya menyimpulkan dari sejumlah literatur yang saya baca bahwa sastra siber merujuk pada studi sastra yang terkait dengan dunia digital dan teknologi informasi. Istilah ini mencakup penelitian dan analisis tentang karya sastra yang menggunakan atau mencerminkan teknologi, internet, media sosial, dan konteks digital secara umum.
Studi sastra siber melibatkan pemahaman tentang bagaimana teknologi memengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi sastra. Ini melibatkan penelitian tentang karya sastra yang dikembangkan dalam bentuk digital, seperti e-book, blog sastra, atau platform sastra online.
Selain itu, sastra siber juga mempelajari perubahan dalam cara sastra diakses dan dikonsumsi oleh pembaca melalui perangkat elektronik, seperti ponsel pintar, tablet, atau pembaca e-book. Hal ini dapat melibatkan penelitian tentang aplikasi dan platform sastra digital, interaksi antara pembaca dan penulis melalui media sosial, dan perubahan dalam bentuk dan gaya penulisan yang disebabkan oleh pengaruh teknologi.
Dalam ranah akademik, penelitian dalam bidang sastra siber juga mencakup analisis tentang dampak teknologi informasi pada sastra, seperti bagaimana internet dan media sosial mempengaruhi penyebaran karya sastra, partisipasi pembaca dalam proses kreatif, atau perubahan dalam bentuk narasi dan genre.
Sastra siber mencerminkan perubahan budaya dan kebiasaan membaca dalam era digital, serta tantangan dan peluang baru yang dihadapi oleh penulis, penerbit, dan pembaca dalam konteks teknologi informasi yang terus berkembang. Bahkan, hadirnya maarifnujateng.or.id ini juga mewadahi penulis dan sastrawan yang hendak mengirimkan naskah puisi dan cerpennya. Beberapa penulis pun mengkliping media-media siber yang menerima karya sastra dan menyediakan honorarium berupa uang ngopi atau sekadar buku dan kaos. Hal ini menegaskan sastra siber itu ada dan mengada.
Sastrawan Siber
Sastrawan merupakan seseorang yang berprofesi sebagai penulis atau pengarang karya sastra. Mereka menggunakan keahlian dalam menulis untuk menghasilkan puisi, cerita pendek, novel, drama, atau karya sastra lainnya. Sastrawan sering kali memiliki gaya penulisan yang khas dan mampu mengungkapkan pemikiran, perasaan, dan pengalaman manusia dengan keindahan bahasa. Jika sastrawan siber maka dia menulis dan lahir dari media siber yang memuat karya sastranya.
Sastrawan dapat menggunakan imajinasi dan kreativitas mereka untuk menciptakan karya-karya yang menarik dan menginspirasi. Mereka bisa menggambarkan kehidupan sehari-hari, mengeksplorasi tema-tema sosial, politik, filosofis, atau bahkan menciptakan dunia-dunia metafor, imajiner atau majazi.
Sastrawan tidak hanya sekadar menulis karya-karya sastra, tetapi juga dapat menjadi bagian dari budaya dan sejarah suatu bangsa. Karya-karya sastrawan terkenal sering kali dianggap sebagai penanda penting dalam perkembangan suatu peradaban. Mereka mungkin dihormati dan diakui atas kontribusi mereka dalam dunia sastra.
Beberapa contoh sastrawan terkenal di Indonesia termasuk Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Nh. Dini, Maman S. Mahayana, D. Zawawi Imron, Gus Mus, Emha Ainun Nadjib, Taufiq Ismail, Hans Bague Jassin, Sutardji Calzoum Bachri, Fatin Hamama, S. Prasetyo Utomo, Muhammad Rois Rinaldi, dan banyak lagi. Setiap budaya juga memiliki sastrawan terkenalnya sendiri yang telah memberikan kontribusi yang berharga dalam kesusastraan mereka.
Karya Sastra Siber
Banyak macam karya sastra siber yang bisa dikembangkan. Pertama, puisi siber. Karya sastra ini ditulis dalam bentuk bait-bait atau baris-baris terikat dengan irama, ritme, dan pemilihan kata yang khas. Puisi dapat mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalaman secara simbolis yang dipublikasikan di media siber dan media sosial.
Kedua, cerita pendek siber. Karya sastra jenis ini adalah karya yang ditulis dalam bentuk prosa yang memiliki alur singkat dan fokus pada momen penting dalam kehidupan karakter utama. Ketiga, novel siber. Karya prosa fiksi panjang yang mengisahkan cerita dan karakter-karakter yang kompleks. Biasanya dibagi menjadi berbagai genre, seperti roman, misteri, fantasi, sejarah, dan sebagainya. Karya novel bisa ditulis dalam bentuk buku lalu bisa diakses di berbagai platform buku siber.
Keempat, drama siber. Karya sastra yang ditulis untuk dipentaskan di atas panggung. Drama terdiri dari dialog antara karakter-karakter yang berinteraksi untuk mengungkapkan cerita dan konflik. Kelima, legenda siber. Legenda atau cerita tradisional yang diceritakan turun-temurun dan seringkali berhubungan dengan tokoh-tokoh heroik atau mitologis dalam suatu budaya yang dimuat di media siber. Keenam, fabel siber. Fabel atau cerita pendek dengan tokoh-tokoh binatang atau benda mati yang memiliki sifat dan perilaku manusia. Biasanya menyampaikan pesan moral atau alegori yang dimuat di media siber.
Ketujuh, esai siber. Saya memasukkan esai sebagai karya sastra karena esai di sini merupakan sebuah tulisan pendek yang menggambarkan dan membahas suatu topik tertentu dari sudut pandang pribadi penulis. Esai dapat berisi pemikiran, pandangan, atau analisis yang dimuat di media siber. Kedelapan, mitos yang dimuat di media siber. Mito atau narasi yang menjelaskan asal-usul dunia, fenomena alam, dewa-dewa, dan makhluk-makhluk mitologis. Mitos seringkali memiliki unsur-unsur magis atau supranatural.
Kesembilan, biografi yang dimuat di media siber. Karya sastra yang menggambarkan kehidupan dan pengalaman seseorang secara rinci. Biasanya biografi ditulis tentang tokoh terkenal atau orang yang memiliki pengaruh dalam sejarah. Kesepuluh, autobiografi yang dimuat di media siber. Cerita tentang kehidupan seseorang yang ditulis oleh dirinya sendiri. Autobiografi memberikan wawasan yang mendalam tentang kehidupan penulis dan pengalaman yang dialaminya.
Selain di atas, masih banyak lain karya sastra lama yang perlu diangkat, seperti soneta, folklore, dan lainnya. Sejumlah karya sastra di atas sekadar beberapa contoh macam karya sastra yang ada. Sastra memiliki beragam bentuk dan genre lainnya, dan setiap karya sastra memiliki ciri khas dan tujuan yang berbeda-beda.
Setelah saya mengkaji sastra dan sastrawan siber, tentu Anda memiliki pandangan berbeda. Jika tidak sependapat, silakan didebat. Namun, setidaknya ada gambaran bahwa menjadi sastrawan itu bukan tujuan, melainkan sekadar alat untuk melakukan kritik, perubahan sosial, dan juga ekspresi dalam dunia senia. Jika Anda menulis karya sastra tidak demikian, lalu apa tujuan Anda?
– Dosen Mata Kuliah Pembelajaran Sastra Anak Program Studi PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung