Oleh Anggi Afriansyah
Sudah banyak studi yang menggambarkan pendidikan di pesantren. Tapi menurut saya catatan Gus Dur di Buku Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (2001) sangat menarik untuk dibaca kembali. Gus Dur menyebut semua mata pengajian yang diberikan di pesantren bersifat aplikatif yang harus diterjemahkan dalam perbuatan maupun amalan keseharian. Gus Dur memaparkan, hampir tak ada bidang kehidupan yang tidak tersentuh oleh aplikasi pengajian, mulai dari cara menyucikan diri untuk perkara ibadah ritual hingga ketentuan prosedural tata niaga yang diperkenankan agama.
Pengajaran para Kiai dalam pandangan Gus Dur sama artinya dengan proses pembentukan tata nilai yang lengkap beserta dengan penilaian dan orientasinya sendiri. Nilai-nilai yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan keseharian tersebut disebut Gus Dur sebagai “cara kehidupan santri”. Ulasan Gus Dur di Buku tersebut saya rasa perlu dibaca oleh para santri. Gus Dur selalu punya cara pandang menarik mengenai berbagai hal dan ketika dibaca ulang, sebab pandangan tersebut selalu relevan dengan kehidupan kekinian.
- Iklan -
Apa yang disampaikan Gus Dur terkait dengan pembentukan kebiasaan dan kemudian menjadi nilai-nilai yang terinternalisasi dalam jiwa santri. Prosesnya terjadi berulang-ulang, setiap hari, di setiap ruang kehidupan santri di pesantren. Hal tersebut kemudian melekat di jiwa santri selama bertahun-tahun, bahkan selepas lulus secara formal dari lingkungan pesantren yang mendidik mereka.
Ada satu buku menarik terkait dengan pembentukan kebiasaan (habit) yang dicetak ulang berkali-kali. Buku tersebut berjudul The Power of Habit: Why we do what we do and how to change, ditulis oleh Charles Duhigg (2012). Secara psikologis, menurut Duhigg, dalam formasi pembentukan kebiasaan dalam keseharian yang paling penting hal tersebut harus dibuat terlihat. Selain itu Duhigg memaparkan, untuk mengubah kebiasaan perlu ada kegiatan yang dilakukan secara konsisten dan peluang untuk berhasil secara drastis terjadi ketika individu berkomitmen sebagai bagian dari kelompok. Karena itu perlu ada keyakinan yang tumbuh sebagai pengalaman komunal. Jika berkaca pada paparan Gus Dur sebelumnya, pembentukan formasi kebiasaan dibentuk pada ruang komunal yang kemudian membentuk “cara kehidupan santri”.
Dalam keseharian santri dihadapkan pada praktik-praktik nyata, bukan sekadar teori. Sebab itu, dalam sisi tertentu memori yang dibentuk dalam kehidupan santri nampak lebih melekat ketimbang mereka yang menempuh pendidikan formal. Bayangkan saja, dari dini hari hingga menjelang tengah malam para santri ditempa di dalam arena yang dikonstruksi oleh para Kiai. Setiap momen menjadi ruang pembelajaran. Jika mengutip Duhigg “perubahan mungkin tidak cepat dan tidak selalu mudah. Namun dengan waktu dan usaha, hampir semua kebiasaan dapat dibentuk kembali”. Keberagaman santri yang masuk ke pesantren, dengan ragam kebiasaannya, mencoba dibentuk ulang sesuai dengan nilai-nilai kepesantrenan. Dalam waktu yang panjang, secara berulang, setiap kebiasaan dibentuk.
Nilai-nilai agama yang hadir di lingkungan pesantren, bukan sesuatu yang sulit dijangkau. Sebab, dalam tahapan pendidikan di pesantren, para santri mengaji secara bertahap melalui kitab-kitab yang disusun para ulama terdahulu. Mereka tidak ujug-ujug mempelajari yang rumit atau kitab-kitab tingkat tinggi, sebab ada tahapan yang harus ditempuh oleh para santri. Dalam proses tersebut mereka diajak untuk tabah dan bersabar dalam mempelajari setiap ilmu. Semua perlu diresapi tanpa harus terburu-buru. Tak seperti kurikulum dalam terminologi modern yang membutuhkan ketuntasan materi, dalam terminologi pendidikan pesantren, ketuntasan materi dan kompetensi seseorang hanya dapat dinilai dari keberhasilan setiap individu dalam menguasai setiap kitab yang sudah dipelajari, juga bagaimana ketika mereka di masyarakat dapat mengamalkan ilmu yang sudah diterima selama di pesantren.
Pendidikan di pesantren memberikan modalitas ketekunan pada diri setiap santri. Di luar aspek ilaihiyah, para santri ditempa untuk selalu bersemangat belajar. Garansi keberhasilan di masa depan salah satunya ditentukan dengan ketekunan penuh seluruh dalam mempelajari kitab-kitab kuning juga disertai ketekunan dalam berdoa, mengharap ridlo ilahi. Di sisi lain, kemampuan berelasi secara sosial juga menjadi bagian pendidikan di pesantren.
Jika memperhatikan situasi saat ini di mana santri tidak hanya sebatas masuk ke ruang keagamaan tetapi sosial, kultural, dan politik apa yang disampaikan Gus Dur nampaknya tepat. Gus Dur (2001) memaparkan pandangan hidup ukhrawi, yang menempatkan visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kelak, menjadi tata nilai terpenting di pesantren. Pandangan hidup tersebut menggerakan penerimaan perubahan-perubahan status dalam kehidupan dengan mudah, serta fleksibilitas santri untuk menempuk karir masing-masing. Artinya, menurut Gus Dur, di pesantren secara laten terdapat dinamisme yang bersifat adaptif terhadap kemajuan di luarnya.
Penjelasan Gus Dur tersebut nampaknya lebih terlihat dalam rentang sepuluh tahun terakhir ini. Itulah alasan mengapa, para santri kemudian dapat bergerak di berbagai arena kehidupan. Ketabahan dan keikhlasan menerima apa yang diberikah Sang Maha Hidup, telah menghidupi kehidupan dengan ragam karya, di mana pun para santri hidup. Modalitas tersebut menjadi bagian penting di tengah kompleksitas kehidupan di era saat ini. Di saat banyak individu goyah karena kualifikasi pendidikan formalnya tak relevan dengan kebutuhan pasar kerja, lulusan pesantren siap bekerja di bidang apapun, selama dapat bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Situasi tersebut menjadikan pendidikan pesantren selalu relevan dalam menghadapi kehidupan dengan berbagai dinamikanya.
-Penulis merupakan Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN. Pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya (2002-2005).