Oleh Hamidulloh Ibda
Era digital menjadikan kita harus memilih dua opsi: literat atau aliterat. Sebab, banjir informasi yang tiada henti ini melahirkan banyak masalah. Bukan sekadar soal game online, pornografi, penipuan, pinjol, hoaks, fake news, perundungan siber, namun juga ancaman siber secara global.
Pendidikan media literasi di sini menjadi urgen. Artinya, teknologi tanpa diimbangi dengan kompetensi akan melahirkan generasi yang pintar media tapi tidak literat. Bahkan, kemarin saya membaca status Facebook dari seorang guru besar teknik menyatakan anak-anak milenial bahkan usia TK dan SD sudah lihai membalas WA. Namun teksnya singkat-singkat. Mereka tidak punya kemampuan menulis panjang.
Ini masalah. Namun tidak akan saya perpanjang dalam tulisan ini. Saya akan fokus pada pendidikan media literasi. Maka kita perlu mengkaji bahaya dan ancaman siber yang kita tidak sadari tiap hari.
- Iklan -
Ancaman Siber
Siapa yang tahu ancaman siber? Ancaman Siber dikenal pula sebagai ancaman keamanan siber, merujuk pada segala jenis serangan atau aktivitas yang ditujukan untuk mengganggu, merusak, atau mencuri data dari sistem komputer dan jaringan yang terhubung ke internet. Ancaman siber dapat berasal dari individu atau kelompok yang memiliki motivasi beragam, seperti pencuri data, hacker, kelompok teroris, atau bahkan pemerintah asing.
Bentuk umum dari ancaman siber beragam. Pertama, pembobolan data. Pelaku mencuri data sensitif dari organisasi atau lembaga dengan tujuan penggunaan ilegal atau perdagangan di pasar gelap.
Kedua, phishing atau metode penipuan di mana pelaku mencoba untuk memperoleh informasi sensitif, seperti kata sandi atau data keuangan, dengan menyamar sebagai entitas tepercaya melalui email, pesan instan, atau situs web palsu.
Ketiga, serangan Brute Force. Pelaku mencoba semua kombinasi mungkin untuk menebak kata sandi atau kunci enkripsi yang melindungi sistem atau data. Keempat, Serangan Man-in-the-Middle (MITM). Serangan di mana pelaku mengintersepsi komunikasi antara dua pihak yang sah, sering kali tanpa sepengetahuan mereka, untuk mencuri informasi rahasia.
Kelima, serangan Zero-Day. Serangan yang mengeksploitasi kerentanan keamanan yang belum diketahui atau diperbaiki oleh vendor perangkat lunak. Keenam, serangan DDoS: Distributed Denial-of-Service (DDoS) adalah serangan di mana banyak komputer yang terinfeksi malware secara bersama-sama menyerang satu target dengan lalu lintas data yang berlebihan, sehingga membuat sistem menjadi tidak responsif atau tidak dapat diakses.
Ketujuh, serangan jaringan nirkabel. Serangan yang ditujukan pada jaringan Wi-Fi atau Bluetooth untuk mencuri informasi atau mendapatkan akses ke sistem yang terhubung. Kedelapan, serangan ransomware. Jenis serangan malware yang mengenkripsi data pada sistem komputer dan meminta tebusan agar data tersebut dapat diakses kembali.
Kesembuilan, serangan Advanced Persistent Threat (APT). Serangan canggih dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki sumber daya dan pengetahuan yang luas untuk mengakses sistem secara berkepanjangan, biasanya dengan tujuan mata-mata atau sabotase. Kesepuluh, malware. Program jahat yang dirancang untuk merusak sistem atau mencuri data, seperti virus komputer, worm, Trojan, ransomware, dan spyware.
Dalam rangka melindungi diri dari ancaman siber, penting untuk mengadopsi praktik keamanan siber yang baik, seperti menggunakan perangkat lunak keamanan yang terbaru, memperbarui sistem secara teratur, menggunakan kata sandi yang kuat dan berbeda untuk setiap akun, waspada terhadap email atau pesan yang mencurigakan, dan melakukan backup data secara teratur. Selain itu, organisasi dan pemerintah juga perlu berinvestasi dalam pelatihan keamanan siber, infrastruktur yang kuat, dan kerjasama lintas sektor untuk mengatasi ancaman siber secara efektif.
Menyikapi Era Post-truth
Selain segala bentuk ancaman siber, di dunia akademik juga diwaspadai era di mana kebenaran dan kebohongan-kesalahan beda tipis. Ya, era “post-truth” atau “pascakebenaran” mengacu pada sebuah konsep di mana kebenaran faktual menjadi kurang relevan dalam pembentukan opini publik atau dalam proses pengambilan keputusan. Dalam era ini, persepsi dan emosi sering kali lebih mempengaruhi pandangan orang daripada fakta yang objektif.
Dalam konteks politik dan media, era post-truth sering dikaitkan dengan penyebaran informasi yang salah atau tidak akurat, serta manipulasi opini publik dengan menggunakan retorika yang emosional daripada fakta yang dapat diverifikasi. Perkembangan teknologi dan media sosial juga telah mempercepat penyebaran informasi yang tidak diverifikasi dan memperkuat fenomena ini.
Dalam era post-truth, munculnya “berita palsu” atau “hoaks” yang disebarkan melalui media sosial telah menjadi masalah serius. Hal ini dapat memiliki dampak negatif pada proses demokrasi, debat kebijakan, dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, terdapat juga penurunan kepercayaan terhadap institusi media tradisional dan otoritas yang dianggap memiliki agenda tertentu.
Meskipun era post-truth dapat mempengaruhi cara kita menerima dan memproses informasi, penting untuk mempertahankan kritis dalam mengevaluasi sumber informasi, memeriksa fakta, dan mencari perspektif yang berbeda. Dengan demikian, kita dapat tetap berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran dan integritas dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia.
Media Literasi Sekolah
Ancaman siber dan era pascakebenaran di atas harus dicegah dengan penguatan media literasi. Di sini, media literasi sekolah mengacu pada pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang media dan keterampilan kritis dalam mengonsumsi, menganalisis, dan memproduksi konten media. Melalui pendidikan media literasi, siswa diajarkan bagaimana memahami pesan yang disampaikan oleh media, mengidentifikasi bias atau manipulasi dalam konten media, dan membuat keputusan yang terinformasi tentang media yang mereka konsumsi.
Beberapa komponen penting dalam pendidikan media literasi sekolah. Pertama, analisis media. Siswa diajarkan untuk menganalisis pesan media yang mereka temui, termasuk iklan, berita, film, dan program televisi. Mereka belajar untuk mengidentifikasi tujuan komunikasi, pemilihan kata, gambar, dan efek suara, serta cara pesan tersebut dapat mempengaruhi pemirsa.
Kedua, kesadaran media. Pendidikan media literasi membantu siswa menyadari pentingnya memilih dan mengonsumsi media dengan bijak. Mereka belajar tentang konsekuensi sosial, budaya, dan psikologis dari konten media tertentu, serta bagaimana memilih sumber yang dapat dipercaya dan memberikan sudut pandang yang beragam.
Ketiga, produksi media. Selain menjadi konsumen media yang cerdas, siswa juga diajarkan untuk menjadi produsen media yang kritis. Mereka mempelajari keterampilan seperti pembuatan film, fotografi, blogging, dan penulisan berita, sehingga dapat memahami proses produksi media dan menghasilkan konten yang informatif dan etis.
Keempat, evaluasi keandalan. Siswa belajar untuk mempertanyakan keandalan dan validitas informasi yang mereka temui di media. Mereka diberi keterampilan untuk memeriksa sumber, mencari informasi dari sumber yang berbeda, dan memahami perbedaan antara fakta, opini, dan propaganda.
Pentingnya pendidikan media literasi sekolah adalah untuk membekali siswa dengan keterampilan kritis yang diperlukan untuk berfungsi sebagai warga negara yang terinformasi di era digital. Dengan media yang semakin meluas dan kompleks, penting bagi siswa untuk memiliki pemahaman yang kuat tentang bagaimana media bekerja, bagaimana pesan media diproduksi dan disebarkan, dan bagaimana mereka dapat membedakan antara informasi yang akurat dan manipulasi.
Pendidikan media literasi sekolah dapat membantu melawan penyebaran berita palsu, melindungi siswa dari manipulasi komersial, politik, dan ideologis, dan memberikan mereka alat yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam masyarakat yang didorong oleh media. Maka, kapan kita menerapkan pendidikan media literasi sekolah?
-Penulis adalah dosen dan penulis buku Media Literasi Sekolah: Teori dan Praktik (2018) international reviewer pada Pegem Egitim ve Ogretim Dergisi – Scopus Q4 (2023-present), Cogent Education – Taylor & Francis – Scopus Q2 (2023-present), Journal of Ethnic and Cultural Studies – Scopus Q1 (2023-present), Journal of Learning for Development (JL4D) Scopus Q3 (2023-present), International Journal Ihya’ ‘Ulum al-Din (2023-present), IJSL: International Journal of Social Learning (2023-present), dan 17 jurnal nasional dan jurnal nasional terindeks Sinta.