Oleh: Suwanto
Pengajar di MA Ali Maksum, PP Krapyak Yogyakarta
K.H. Muhammad Ali Yafie telah wafat pada 25 Februari 2023. Meskipun demikian, sosok ulama kharismatik ini banyak sumbangsih pemikirannya utamanya berkaitan dengan Fikih Sosial. Al-Qur`an telah mengajarkan bahwa manusia yang memiliki sifat merusak manakala hidup di dunia, bukanlah manusia yang mengikuti aturan-aturan Allah SWT. Manusia sebagai pemakmur bumi sudah semestinya menghadirkan kemaslahatan serta jauh dari aktivitas kemudharatan. Dan sosok ulama yang banyak mengkaji dan menyumbangkan pemikiran di bidang Fikih Sosial adalah K.H. Muhammad Ali Yafie.
K.H. Muhammad Ali Yafie, lahir di Wani-Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1 September 1926. Pendidikannya dihabiskan di pesantren (1933-1945). Diantara ulama yang pernah mendidik K.H. Ali kecil adalah Syekh Ali Mathar (Rappang), Syekh Haji Ibrahim (Sidrap), Syekh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syekh As’ad (Sengkeng), Syekh Ahmad Bone (Ujung pandang), dan Syeikh Abdurrahman Firdaus, seorang ulama pengembara dari Mekah. Dan dengan Syekh Abdurrahman Firdaus ini, K.H. Ali belajar Fikih, Tafsir, sastra Arab, dan pemikiran-pemikiran beberapa tokoh pembaharu dari Arab, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
- Iklan -
Perhatian K.H. Ali kecil terhadap pentingnya ilmu pengetahuan memang sungguh luar biasa. Selain mempelajari ilmu-ilmu agama yang terdapat dalam kitab kuning klasik, Ia juga mempelajari ilmu-ilmu umum lainnya, seperti sains, jurnalistik, dan beberapa bahasa asing. Makanya tak heran, jika pemikiran atau gagasan-gagasan yang dikeluarkan KH. Ali tidak kalah dengan para ilmuwan yang sekolah di negeri Barat sana.
Hal tersebut yang membuat sosok beliau, Kiai Ali adalah sosok yang unik. Sebagai seorang santri yang dididik di pesantren tradisional, ia tidak mau kalah dengan para pelajar di sekolah umum. Keuletan dan kegigihannya dalam belajar, menjadikan beliau seorang kiai yang mampu bersaing di ranah intelektual dalam memberikan solusi dari berbagai permasalahan sosial yang terjadi.
Gagasan Fikih Sosial adalah salah satu gagasan yang diperjuangkannya sebagai solusi untuk mewujudkan masyakarakat yang sejahtera dunia dan akhirat. Bahkan, gagasan ini banyak diapresiasi oleh para ilmuwan. Dalam pandangan beliau di zaman yang banyak sekali muncul permasalahan-permasalahan yang sangat kompleks ini, pola berfikir secara Manhaji adalah pola berfikir yang mesti diterapkan. Hal tersebut bertujuan agar dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat.
Segudang pemikiran K.H. Ali Yafie pun dimuat baik itu catatan ataupun buku yang pernah beliau tulis dan kemudian diterbitkan oleh beberapa penerbit ternama. Beberapa buku beliau yang dipublikasikan adalah Fikih Perdagangan Bebas (Bandung: Mizan, 2000), Beragama Secara Praktis: Agar Hidup Lebih Bermakna (Yayasan Amanah: 2006), Menggagas Fikih Sosial (Bandung: Mizan, 2000), Merintis Fikih Lingkungan Hidup (Yayasan Amanah: 2006), Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Keagamaan dan Kemanusiaan (LPKSM: 1997), Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fikih (Paramadina: 1987), Menolak Korupsi Membangun Keshalehan Sosial: Kumpulan Naskah Teks Khutbah (P3M: 2004), Agama dan kemiskinan: Suatu Tinjauan dari Segi Agama Islam (Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama, 1981), dan masih banyak lagi hasil karya dan sumbangan pemikiran K.H. Ali Yafie.
Berkaitan dengan Fikih sosial dalam bayangan K.H. Ali Yafie adalah fikih yang mempunyai orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kepada masalah-masalah sosial. Fikih bukan saja seperangkat hukum yang mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mahda kepada Allah SWT, akan tetapi juga bagaimana seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan orang lain (mu‘amalah) dengan berbagai macam dimensi: politik, ekonomi, budaya, dan hukum.
Dalam perspektif Fikih Sosial, fikih adalah al-ahkam al-‘amaliyya (hukum perilaku) yang bertanggung jawab atas pernak-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain, sehingga kemaslahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fikih diukur oleh relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih makmur, dinamis, adil, dan beradab (maslahah).
Segala bentuk kerusakan termasuk yang kerap dilakukan oleh kaum radikalisme adalah tindakan yang melanggar Fikih Sosial. Dalam artian kaum radikal juga adalah orang-orang yang telah banyak melanggar hukum-hukum Allah SWT sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadist.