Oleh Nanang Qosim, S.Pd.I.,M.Pd
Banyak orang di Indonesia yang semakin banyak yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini dapat dilihat dari waktu tunggu yang semakin lama untuk pergi ke Tanah Suci, yaitu antara 11 hingga 45 tahun. Walaupun pemerintah secara rutin meningkatkan kuota haji setiap tahunnya, tetap saja antrean tersebut terus memanjang.
Apakah itu menunjukkan kemakmuran bangsa Indonesia? Apakah itu menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi dari umat Islam Indonesia untuk memperbaiki praktik keagamaan mereka? Apakah itu menunjukkan bahwa orang-orang sedang bertaubat dari dosa-dosa mereka? Atau apakah itu menandakan prestesius bagi mereka yang berhasil mendapatkan gelar haji?
Dilihat dari logika, semakin banyak orang yang mendaftar haji dapat diartikan sebagai pertanda meningkatnya tingkat kemakmuran bangsa ini, karena melakukan perjalanan haji membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, jika hal itu dianggap sebagai indikator kemakmuran bangsa, maka mengapa tingkat kemiskinan masih tetap tinggi? Apakah mungkin kaum Muslim Indonesia telah terpengaruh oleh kapitalisme yang hanya memikirkan kepentingan pribadi?
- Iklan -
Bila data yang saya sebut pada awal tulisan ini kurang signifikan dikaitkan dengan tingkat kemakmuran mungkin hal itu bisa berkait dengan bangkitnya kesadaran manusia menyempurnakan Islamnya. Ada juga mereka yang antre berhaji menganggap bahwa nanti akan mendapat gelar haji. Bagi seorang kiai akan menjadi kiai haji. Mereka memandang bahwa gelar haji, terlebih kiai haji, cukup prestisius. Karena dipandang prestisius dan mendapat penghargaan tinggi di masyarakat, maka mereka ”berambisi” mendapatkan ”gelar” itu dengan cara apapun.
Misalnya menjual tanah, rumah, atau menabung secara paksa sehingga kebutuhan primer keluarga tidak tercukupi. Sebelum keberangkatannya, mereka pun mengira bahwa hajinya nanti makin prestisius jika menyelenggarakan walimatus safar lilhaj besar-besaran.
Itulah fenomena yang terjadi sekarang ini. Banyak di antara mereka kurang fokus pada ibadahnya tetapi lebih fokus pada asesorisnya. Sebelum berangkat mereka fokus dengan tetek bengek. Setelah berangkat pun memikirkan oleh-oleh untuk keluarga dan tetangganya. Maka pantaslah ketika sudah berhaji tetapi tidak dipanggil pak haji atau bu haji (hajah) mereka ”marah”.
Belajar dari Kisah
Bagi mereka yang memiliki kekayaan dan kemampuan, gelar haji dianggap semakin prestisius jika ibadah haji dilakukan secara berulang. Bagi orang-orang yang memiliki jiwa bisnis, ada cara yang relatif mudah untuk dapat berhaji berkali-kali, yaitu dengan mendirikan yayasan atau Komite Penyelenggaraan Ibadah Haji (KBIH).
Meskipun hakikatnya KBIH itu memberikan bimbingan sebelum cahaj berangkat, praktiknya KBIH itu ikut mendampingi ke Tanah Suci. Praktis, calhajlah yang harus menggotong ONH dan bisyaroh mereka.
Terkait kemabruran haji, perlu kita renungkan kembali kisah sufi bernama Abdullah bin Mubarok dalam kitab Irsyadul Ibad. Setelah selesai beribadah haji, ia tertidur di Masjidil Haram. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dua malaikat yang membicarakan kemabruran haji.
Kedua malaikat itu mengatakan bahwa dari 600.000 orang yang berhaji tahun ini tidak ada yang hajinya diterima Allah. Meskipun demikian, ada seorang tukang sepatu yang tidak jadi pergi ke Tanah Suci bernama Muwafaq, hajinya diterima oleh Tuhan.
Memang, Muwafaq yang miskin itu lama sekali menabung untuk bisa pergi haji, tetapi ia tidak jadi pergi karena uangnya yang 300 dirham diberikan kepada janda miskin yang mempunyai beberapa anak yatim. Dengan keikhlasan Mufafaq menyerahkan uang yang akan digunakan untuk berhaji itulah, haji 600.000 orang diterima oleh Allah. Subhanallah. Bayangkan andai tidak ada Muwafaq, pastilah tidak ada haji mabrur pada tahun itu.
Dari kisah itu dapat ditarik hikmah bahwa kemabruran haji itu sangat ditentukan oleh keikhlasan, ketakwaan, kesalehan, kedermawanan, kepedulian, dan kesabaran dalam menggapai mardhotillah. Bukan ditentukan oleh pergi berkali-kali ke Tanah Suci, terlebih dari hasil korupsi. Bukan pula ditentukan dengan walimatussafar yang menghadirkan puluhan kiai. Bukan pula ditentukan dengan gelar haji.
Pada tahun ini, alhamdulillah, perjalanan haji telah dilaksanakan, dan sekarang saatnya kita menjaga semangat untuk tetap mempertahankan kemabruran. Meraih haji yang mabrur merupakan suatu hal penting yang memerlukan perjuangan, tetapi lebih penting lagi adalah menjaga dan memelihara kemabruran tersebut dengan konsistensi. Jika kita mengibaratkan pelaksanaan ibadah haji ini seperti sebuah madrasah, selama kurang lebih 40 hari, para jamaah haji fokus berbagai ibadah dan memperkuat hubungan dengan Allah di tanah suci, dan juga berpartisipasi dalam ibadah sosial dan membangun persaudaraan dengan sesama. Sekarang saatnya para jamaah haji kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga masing-masing, membawa predikat haji yang mabrur. Aamiin. Semoga.
-Dosen Agama Islam Tetap Poltekkes Kemenkes Semarang, Pengurus KKGMDT Provinsi Jawa Tengah