Oleh Tjahjono Widarmanto
Persoalan paling klasik di Indonesia adalah ranah pendidikan. Ranah pendidikan selalu mengundang dan memancing perbincangan. Isu-isu pendidikan meluncur menjadi bulatan-bulatan bola salju dan berkelindan di mana-mana. Pesoalan kualitas guru, persoalan kurikulum, perkara kesejahteraan, perlidungan dan advokasi guru, sampai tuduhan gagalnya pendidikan menjadi media darling yang menyedot perhatian.
Menurut hemat penulis, berbagai persoalan pendidikan harus dirunut pada awal persoalan. Awal persoalan pendidikan di Indonesia adalah hilangnya arah filosofi pendidikan Indonesia yang menyebabkan disorientasi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Tuduhan bahwa pendidikan kita gagal melahirkan insan-insan terpelajar dan terdidik, tidak sepenuhnya keliru. Pendidikan kita memang sudah banyak melahirkan individu-individu bergelar akademisi. Gelar sarjana adalah gelar yang lumrah dan hampir dimiliki oleh sebagian besar manusia Indonesia saat ini. Sebagain besar generasi sekarang adalah generasi yang mengenyam bangku pendidikan tinggi. Gelar pascasarjana pun bahkan sekarang menjadi orientasi para orang tua untuk anak-anaknya. Tapi tidak semua orang bergelar akademis adalah terpelajar dan terdidik.
- Iklan -
Terpelajar adalah manusia yang berorientasi menjadikan dirinya sebagai manusia pembelajar. Manusia yang terus menerus terpesona dan jatuh cinta untuk selalu belajar. Manusia pembelajar memiliki ciri-ciri selalu haus akan pengetahuan dan informasi, menguasai informasi dan pengetahuan seluas-luasnya. Kaum terpelajar adalah orang-orang yang, meminjam istilah Ignas Kleiden, well read, yaitu orang-orang yang selalu banyak membaca dengan teratur, baik membaca buku-buku yang linear dengan profesinya maupun membaca buku-buku untuk mengembangkan diri secara kultural. Apa yang dibacanya itu untuk selanjutnya akan ditularkan kepada orang lain sehingga orang lain mendapatkan kemanfaatan dari apa yang telah ia baca. Itu berarti apa yang dibacanya diberikan pada orang lain melalui abtraksi gagasan yang ditulisnya berdasar apa yang dibaca. Pendek kata ia akan menuliskan apa yang dibacanya sebagai sebuah gagasan dan pendapat yang kritis. Itu maknanya: kaum terpelajar adalah kaum yang memiliki kesadaran dan kemampuan literasi, memiliki kemampuan membaca dan menulis!
Terdidik adalah manusia atau individu yang terus menerus membentuk pendapat, merancang gagasan berbagai persoalan penting dalam aspek kehidupan, baik itu politik, sains, ekonomi, kebudayaan, kesenian, keagamaan atau sosial. Pendek kata kaum terdidik adalah individu-individu yang selalu membentuk pikiran, pendapat dan pendirian sekaligus mampu menghargai pendapat, pikiran dan pendirian orang lain.Kaum terdidik tidak pernah memaksakan pendapatnya sendiri. Tidak pernah mengklaim bahwa dirinya adalah satu-satunya sumber kebenaran. Kaum terdidik selalu menyediakan dirinya untuk selalu berdiskusi dan sadar betul bahwa berbeda pendirian, berbeda pendapat tidak sama dengan bermusuhan.
Pendidikan untuk membentuk manusia terpelajar dan terdidik harus berjejak pada filosofi. Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa pendidikan harus membentuk jiwa merdeka. Beliau mengatakan bahwa,“Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri’.
Soekarno sepakat dengan keyakinan Ki Hadjar Dewantara dan memberikan penekanan pada sikap independent, yaitu Indonesia harus berdiri sendiri lepas dari penguasaan asing. Sedangkan Moh. Hatta dan Syahrir menekankan bahwa otonomi setiap individu dalam mengerjakan dan mempertanggugjawabkan apa yang telah dikerjakannya. Lebih tegas lagi Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan membentuk manusia merdeka. “Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak bergantung pada orang lain, tetapi bersandar atas kekuataanya sendiri.”
Tan Malaka menetapkan empat tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan, yaitu mempertahankan kecerdasan, memperkokoh kemauan, dan memperhalus perasaan. Hatta pun sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan harus membawa kita ke dalam alam pikiran dan hati nurani.
Dengan kembali mengonstruksi filosofi pendidikan akan mudah ditemukan jalan mendidik manusia Indonesia. Pendidikan akan menjadi jalan lapang membentuk manusia Indonesia menjadi generasi terpelajar dan terdidik, bukan pendidikan yang hanya melahirkan manusia yang terbongkok-bongkok karena beban gelar akademik di punggungnya****
*) Tjahjono Widarmanto, Guru dan penyair yang tinggal di Ngawi