Oleh: Muhammad Muzadi Rizki*)
Salah satu identitas bangsa Indonesia yang telah membumi sejak berabad-abad adalah sarung. Sarung memiliki corak yang menonjol dan distingsif. Sarung, saat ini, acapkali menjadi representasi kalangan nahdliyin. Hingga muncul kelakar, orang nahdliyin tanpa sarung perlu dipertanyakan kenahdliyannya. Dari situ, orang-orang kemudian ramai menyematkan dengan sebutan “kaum sarungan”.
Dalam jejak historik, eksistensi kaum sarungan telah menunjukkan kontribusinya begitu besar. Ketika penjajah mulai berekspansi ke nusantara, para ulama sepakat menggaungkan sarung sebagai alat senjata untuk berperang melawan negara barat, para pakar menyebutnya ‘perang kultural’. Bahkan yang paling heroik, para kaum sarungan juga ikut terlibat kontak fisik berjihad mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
Begitulah sarung sedari dulu, tak pernah alpa dan selalu ikut mewarnai perjalanan nusantara. Kini, sarung mengalami pergeseran dan perluasan simbol kehidupan. Sarung berasal dari kata, “sarune dikurung”. Artinya, segala sesuatu sifat, sikap yang saru (jelek) itu dikurung (dikendalikan). Orang yang memakai sarung, maknanya sifat jelek pada dirinya menjadi tertutup dan hilang. Dengan kata lain, sarung telah mengkompas kehidupan. Mengantarkan sang pemakai sarung supaya mengedepankan rasa malu dan sadar diri untuk berbuat tidak menyimpang.
- Iklan -
Suatu individu akan berperilaku sebagaimana mestinya ketika memakai sarung, yaitu sopan, berperilaku baik, dan terhormat. Seseorang yang memakai sarung tidak mungkin masuk ke tempat-tempat menyimpang dan terlihat buruk oleh masyarakat seperti diskotik, klub malam, tempat karaoke, hingga lokalisasi pelacuran. Inilah yang dimaknai, sarung secara tidak langsung telah mendikte, mengatur serta menjaga perilaku seseorang. Ia bakal berusaha berada di tempat yang lazimnya orang bersarungan.
Selain itu, cara pandang orang sekitar terhadap si pemakai juga berubah. Ketika ada orang memakai sarung, secara simultan mengantarkan pada penilaian positif. Karenanya, sarung dikenal sebagai pakaian yang menunjukan pancaran kesopanan dan perilaku baik terhadap pemakainya. Dari sini, bisa dikatakan sarung memiliki makna yang tinggi. Lebih dari sekedar pakaian, sarung merupakan filosofi hidup.
Jika ditarik dalam skala nasional, sarung memberi makna sebagai jati diri bangsa. Banyak pejabat negara hingga tokoh ulama mempraktikkan, kemudian mengenalkan sarung pada saat melawat kunjungan kerja ke negara lain. Sarungpun beralih jadi pakaian adat dan identitas kebanggaan. Sarung sukses mengisi bagian dari khazanah kebudayaan nusantara dengan keunikannya tersendiri. Itu artinya, sarung juga perlu dilestarikan dan terus dikembangkan. Sehingga nantinya tidak tergerus oleh mode kearab-araban, dan kebarat-baratan yang dewasa ini sedang booming.
Dengan adanya perubahan zaman yang beralih ke teknologi modern. Hal ini memaksa para industri sarung untuk selalu bertransformasi sekaligus berinovasi. Produksi sarung mengalami pergeseran dari sisi kuantitas, kualitas dan perubahan gaya. Banyak dari merek sarung kemudian menghasilkan nilai jual yang tinggi. Berbagai motif diciptakan untuk terus mengikuti arah alur zaman. Hal ini semata-mata ditujukan supaya sarung tetap menemukan relevansi pada segmentasi ‘pasar’. Yaitu, tetap terlihat keren dan necis. Menjadikan generasi saat ini senantiasa melirik dan bangga memakai produk bangsanya.
Dengan pemugaran seperti itu, kaum milenial yang tadinya berreferensi trend budaya barat, kini dirinya tidak malu bila mengenakan sarung. Singkatnya, para kaum milenial punya caranya tersendiri dalam meracik perpaduan outfit sarung –tanpa mengesampingkan sisi syar’i-nya–. Kaum milenial dengan balutan sarung tetap menampilkan style yang modis dan necis ketika menghadiri berbagai acara seperti, pernikahan, talk show, simposium, dan acara lainnya.
Walhasil, inilah peradaban sarung dari masa ke masa. Darinya yang sebatas identitas mengaji, instrumen ritual peribadatan dan simbol perjuangan. Kini, telah menjadi jati diri negeri yang harus lestari. Sangat tidak pas dan etis, jika ada orang yang menyebut sarung sebagai ornamen, busana yang lusuh, kuno, dan tak bermakna.
Kiai Wahab Hasbullah dalam suatu kesempatan pernah memberikan pesan cukup menohok. Dulu orang-orang berkata dengan percaya diri bahwa “jika ingin bergaya pakailah jas, celana, kemeja, dan dasi”. Namun, slogan tersebut tidak berlaku bagi Kiai Wahab, beliau ngendikan “dengan sarung juga bisa bergaya”. Dan terbukti. Bahkan tidak hanya modis, eksistensi sarung di semua lini kehidupan juga mengandung kebermaknaan (shalih li kulli zaman wa makan).
*) penulis lepas, peminat kajian moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.