Oleh : Tjahjono Widarmanto, M.Pd
Pendidikan berkelindan dan berpilin dengan kebudayaan. Kelindan itu disebabkan karena pendidikan merupakan upaya proses penyadaran individu sebagai pendukung sekaligus pembaharu kebudayaan. Tilaar (2009) bahkan menganggap pendidikan dan kebudayaan sebagai dua sisi mata uang. Pendidikan secara luas merupakan satu kegiatan budaya. Melalui pendidikanlah seorang individu dapat mempelajari kebudayaan, mengenal lebih dalam kebudayaanya sekaligus bisa mengembangkan kebudayaannya tersebut.
Kebudayaan dituntut dinamis sehingga dibutuhkan individu-individu yang kreatif dan dinamis. Individu-individu yang dinamis dan kreatif bisa dibentuk dengan proses pendidikan.Dengan kata lain, proses pendidikan merupakan proses pembudayaan untuk mencetak individu yang kreatif yang pada gilirannya individu tersebut akan menjadi aktor dari perkembangan kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan, tugas pendidikan yang utama adalah berorientasi mengenalkan peserta didik kepada nilai-nilai kebudayaan serta membukakan kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan nilai-nilai yang baru. Orientasi tersebut sudah disampaikan jauh-jauh hari oleh Plato yang kelak menjadi dasar dari konsep-konsep pendidikan John Dewey dan Kerschensteiner. Di Indonesia pun, Ki Hadjar Dewantara menegaskan keterpautan pendidikan dan kebudayaan melalui tiga wahana prosese pendidikan yaitu pendidikan orang tua (pendidikan keluarga), pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat. Pendidikan masyarakatlah yang menautkan pendidikan dan kebudayaan karena setiap kebudayaan adalah hasil masyarakat.
- Iklan -
Konsep pendidikan yang dikaitkan dengan kebudayaan semakin berkembang dengan adanya pengaruh studi kultural dan posmodernisme. Kedua aliran ini berprinsip pada kesamaan derajat manusia dan penghargaan kepada setiap kebudayaan yang masing-masing memiliki nilai-nilainya sendiri. Prinsip ini ditegaskan oleh Paulo Freire sebagai proses kemerdekaan manusia dengan seluruh potensinya berhadapan dan mengolah lingkungan sosialnya.
Konsep kebudayaan sendiri merupakan sebuah deskripsi yang luas yang mencakup seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, praktik, simbol, kepercayaan, orientasi, lembaga dan relasi antar manusia yang mempengaruhi perkembangan manusia dan masyarakatnya. Kebudayaan merupakan konsep yang rumit, berlapis-lapis dan beranah amat luas. A.I Kroeber dan Ckluckhon dalam bukunya Cultural A Critical Review of Concept and Definition (1952) mengungkapkan ada seratus enampuluh rumusan definisi kebudayaan.
Dari berbagai definisi yang beragam itu, kebudayaan bisa ditinjau dalam enam bingkai definisi, yaitu pertama, definisi deskriptif yang cenderung melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pemahaman yang merajut kehidupan sosial. Kedua, definisi historis, yang melihat kebudayaan sebagai sebuah warisan yang ditradisikan dari generasi ke generasi berikutnya. Ketiga, definisi normatif yang melihat kebudayaan dalam dua hal, yaitu sebagai sebuah aturan yang membentuk pola perilaku yang konkrit dan sebagai gugusan nilai. Keempat, definisi psikologis yang melihat kebudayaan sebagai pemenuhan kebutuhan material dan emosional. Kelima, definisi struktural yang menempatkan kebudayaan sebagai sebuah bentukan sistem yang mengaitkannya dengan fakta sosial dan sejarah. Dan, yang keenam, definisi genetis yang memposisikan kebudayaan dalam asal-usul manusia dan upaya mempertahankan eksistensinya.
Representasi kebudayaan selalu mefokus pada tiga ranah, yaitu ranah dinamika pengembangan intelektual, spiritualitas, dan estetika; ranah kegiatan intelektual, artistik dan produk hasilnya; dan ranah seluruh aspek cara hidup manusia, tradisi dan kebiasaan seseorang maupun komunal. Tiga ranah kebudayaan inilah kemudian mewujud dalam dua hal, yaitu yang bersifat kebendanaan dan nonkebendaan atau kebudayaan benda dan kebudayaan tak benda. Kebudayaan benda adalah bentuk-bentuk kebudayaan yang kasat mata, misalnya kesenian, lembaga masyarakat, alat pertanian, arsitektur, sastra, dan sebagainya. Sedangkan kebudayaan tak benda misalnya religi, nilai, sikap hidup, dan sebagainya.
Realitas yang tak bisa dibantah bahwa anusia Indonesia lahir dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya multikultural. Budaya multikultural ini lahir karena kondisi Indonesia yang majemuk,wilayah geografis yang luas, banyak suku bangsa, dan berbagai keragaman etnik. Budaya lokal merupakan lingkungan pertama dalam pembentukkan identitas individu Indonesia. Oleh karena itu Indonesia sebagai masyarakat multikultural perlu mendasarkan pendidikannya pada budaya etnis. Identitas etnik yang berbeda satu sama lain merupakan cerminan kebhinekaan yang menjadi identitas Indonesia.Masing-masing etnik mengusung nilai, norma, etik, dan etika yang merupakan kekayaan dan kekuatan bangsa.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education menjadikan isu keragaman atau multikultural sebagai salah satu isu pokok dalam pendidikan. Pentingnya kebudayaan dalam praksis pendidikan menjadi unsur menentukan dalam membangun tatanan masyarakat demokratis. Multikulturalisme menjadi penentu dalam pengembangan identitas kelompok atau identitas lokal yang akan berkembang menjadi identitas negara-bangsa (nation state).
Setiap budaya lokal atau setiap etnik memiliki local genius dan kearifan lokal. Local Genius bisa ditafsirkan sebagai keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat, komunitas atau bangsa sebagai hasil pengalaman mereka pada masa lampau. Hakikak lokal genius dijelaskan oleh Mundardjito (1986), yaitu mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli, memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan mampu memberikan arah pada perkembangan kebudayaan. Pendapat ini meletakan local genius pada dua hal, yaitu mengacu pada nilai, konsep, pranata, sikap,etik, etika, pengetahuan yang telah dimiliki sejak lampau dan mengacu pada daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsir, mengubah dan mencipta berbagai pengaruh budaya asing.
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya yang menyebabkan komunitas itu memiliki daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitasi itu berada. Kearifan lokal bisa dpandang sebagai pandangan hidup dan pengetahuan sekaligus berbagai strategi yang berwujud aktivitas atau sikap yang dilakukan masyarakat lokal dalam menjawab berbagai permasalahan.
Nusantara banyak memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal-kearifan lokal di Nusantara memiliki karakteristik 1) memandang alam semesta merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, bahkan dianggap sakral, transenden, dan spiritual, 2)memiliki karakter religiusitas, 3) bertumpu pada rasa dan akal budi yang tak hanya rasional, 4) memiliki karakter etis, etik dan estetis, 5) memiliki kesadaran kesakarasan atau harmoni. Kearifan-kearifan lokal menjadi sangat penting karena berkaitan dengan identitas, nilai, sumber inspirasi dan pandangan moralitas.
Globalisasi merupakan fenomena sosial yang takterelakkan. Globalisasi adalah tantangan nyata yang meruntuhkan identitas. Globalisasi membuka deteritorialisasi dalam banyak hal. Identitas sosial dan ruang sosial runtuh dalam globalisasi sehingga terjadilah krisis identitas.
Globalisasi harus dihadapi dan disiasati. Salah satu penyiasatannya adalah melalui pendidikan. Untuk mempertahankan identitas ke-Indonesiaan diperlukan strategi pendidikan yang berlatar kebudayaan Indonesia, untuk itu perlu adanya pendidikan berbasis kearifan lokal.
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Pendidikan berbasis kearifan lokal mengedepankan pendidikan yang berkarakter religius,etis, etik, harmoni, toleransi, menghormati kemajemukan sekaligus meniratkan keIndonesiaan. Tentu saja kearifan lokal sebagai basis pendidikan harus diaktualisasikan kembali sesuai kondisi zaman sehingga bisa diterima semua khalayak***
*) Penulis adalah praktisi pendidikan,esais, dan guru yang tinggal di Ngawi