Oleh: Ashimuddin Musa
Ibadah shalat tarawih seperti telah dijelaskan oleh para ulama merupakan serangkaian kegiatan ibadah spesial di bulan Ramadhan. Ia termasuk dari kegiatan ibadah yang juga disunnahkan. Meski dalam prakteknya masih timbul perdebatan, apakah jumlahnya 8 rokaat, 10 rakaat atau 20 rakaat, tetapi bagi umat muslim itu adalah tataran furuiyyah yang dikembalikan kepada masing-masing individu ataupun kelompok untuk memilih yang mana saja yang dikehendaki.
Hanya saja, sangat disayangkan tatkala sebuah serangkaian ibadah yang memiliki keutamaan yang luar biasa, apalagi dikerjakan sekali dalam setahun, yakni pada setiap bulan suci Ramadan, namun pelaksanaannya masih kurang maksimal apalagi sampai tidak melakukannya? Ia telah mengabaikan sebuah urgensi shalat tarawih yang signifikan yang dipersiapkan di bulan suci Ramadan tersebut.
Apalagi, ibadah shalat tarawih di bulan suci Ramadan adalah sangat disunnahkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Sehingga, ketika kegiatan ibadah yang sangat disunnahkan kemudian sengaja disia-siakan, maka hal itu merupakan sebuah keanehan telah mengabaikan substansi dari shalat tarawih itu sendiri. Lebih lanjut, meninggalkan sebuah perkara yang disunnahkan maka akan menyebabkan tidak diakuinya sebagai umat Nabi Muhammad SAW.
- Iklan -
Pelaksanaan shalat tarawih sejatinya adalah di samping sebagai kegiatan ibadah juga untuk menghidupkan tradisi sunnah itu tadi. Dengan demikian, dalam menghidupkan tradisi sunnah ini harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dan, itu inti dari pelaksanaan ibadah shalat tarawih tersebut.
Praktik super kilat di dalam pelaksanaan shalat tarawih sejatinya mengabaikan tradisi sunnah itu sendiri. Padahal, Nabi Muhammad SAW dan kemudian dilanjutkan oleh para salafus sholeh menurut KH Miftahul Achyar (NU Online, 10/6/2016) yakni mencontohkan di setiap gerakan shalat yaitu tidak mengabaikan tuma’ninah dalam setiap gerakan. Selain daripada itu, tujuan daripada shalat adalah untuk mengingat Allah SWT. Bagaimana ia bisa dikatakan mengingat Allah bilamana mengabaikan tuma’ninah, dan shalat dengan tergesa-gesa?
Beliau mengutip sebuah hadis Nabi, yang artinya: “Shalat itu haruslah engkau dalam keadaan tenang, merendahkan diri, mendekatkan diri, meratapi, menyesali dosa-dosa, dan engkau letakan kedua tanganmu lalu engkau katakan wahai Allah, wahai Allah. Barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, maka shalatnya itu kurang”. (Hadis dikeluarkan dari At-Tirmidzi dan An-Nasai dari Alfadl bin Abbas).
Ulama Shafiyyah sepakat bahwa tuma’ninah dalam ruku’ dan sujud merupakan perkara rukun dalam shalat. Sebagai perkara rukun, maka ia tidak boleh ditinggalkan. Apabila ditinggalkan, sebagai konsekuensi logis dari itu dapat membatalkan shalat. Apalagi makna dari shalat tarawih itu sendiri menurut KH Miftahul Achyar adalah istirahat ( ترويحة – تراوح ), dengan shalat secara tergesa-gesa sejatinya mengabaikan perkara tuma’ninah dan makna tarawih itu sendiri.
Mari kita lihat dari sisi makna batiniahnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
إن قلوب بني ادم بين اصبعين من اصابع الرحمن يقلبها كيف يشاء.
Artinya: “Sesungguhnya kalbu-kalbu manusia ada di antara jari-jari Ar-Rahman. Allah membolak balikkan sekehendak-Nya”.
Hadis di atas menjelaskan bahwa shalat yang pokok adalah shalat kalbu. Bila shalat kalbu ditinggalkan, maka rusaklah shalat kalbu dan shalat badannya. Menurut Syekh Abdul Qodir Jailani (470-561 H), kalbu merupakan tempat bermunajat kepada Allah. Sehingga, bila kalbu lalai, maka batalah shalat kalbu dan shalat badannya karena kalbu merupakan inti dari anggota badan, sementara yang lain mengikutinya. Dasar dari argumennya adalah, berdasarkan hadis Nabi:
لا صلاة الا بحضور القلب
Artinya: “Tidaklah sah shalat seseorang kecuali disertai dengan hadirnya kalbu”.
Orang yang bilamana mampu menghadirkan kalbu ketika sedang shalat, ditambah lagi dengan perkara lahir yang tidak mengabaikan rukun-rukun shalat, dalam hal ini termasuk dari kesempurnaan shalat.
Karena itu, menjaga keseimbangan syariat lahir dan batin yang diaktualisasikan dalam konteks kehidupan keseharian kita secara integratif dan proporsional merupakan sebuah keniscayaan, meninggalkannya merupakan pemelintiran terhadap nilai-nilai substansial dari agama itu sendiri. Selamat membaca. [*]