Oleh Muallifah
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah kajian yang dilakukan melalui live akun instagram @caknursociety, sebuah yayasan yang didirikan untuk terus menghidupkan gagasan Cak Nur dengan berbagai kegiatan dan gerakan lainnya. beberapa waktu lalu, pemateri yang diundang dalam kajian live instagram menghadirkan Dr. Abdul Moqsith Ghazali, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ada sebuah kritik yang menarik dalam penyampainnya yakni, pepatah akhlak lebih utama dibandingkan dengan ilmu membuat umat muslim justru mengalami ketertinggalan yang cukup jauh apabila melihat masa kini.
Kritik ini tentu jangan sampai dimaknai secara prematur. Sebab bagaimanapun, perlu kita iyakan ketika melihat beberapa umat Islam masa kini yang mengkritik dan mengutuk Barat sangat pedas sekali. Sedangkan di sisi lain, mereka adalah salah satu pengguna terbesar sebagai konsumen dari produk yang diciptakan oleh Barat. Apa yang tidak kita gunakan sebagai umat muslim? Mulai dari media sosial, barang elektronik, bahkan sampai barang-barang yang kita pakai, semuanya diciptakan oleh Barat.
Umat Islam hanyalah sebagai konsumen yang menggunakan memanfaatkan barang-barang ciptaan Barat. Semestinya kita berterimakasih kepada Barat yang sudah memberikan akses yang sangat luas untuk kita berkomunikasi, menjalankan kehidupan dengan sangat mudah. Kenyataan ini juga harus menjadi refleksi kita sebagai umat Islam, apa yang bisa kita lakukan?
- Iklan -
Jangan-jangan, kita terlalu dininabobokkan dengan pepatah “akhlak lebih utama dibandingkan dengan ilmu”. Mengapa demikian? sebab dengan melihat pepatah ini, kita seolah-olah tidak peduli dengan ilmu. Kita lebih sibuk memperdebatkan halal-haram, dibandingkan dengan berlomba-lomba datang ke kajian yang membahas ilmu. Kita lebih sibuk untuk berdebat soal minum duduk lebih baik dibandingkan dengan mempelajari Artificial intelligent. Kita lebih sibuk untuk mengeluarkan uang membeli makanan yang berlabel halal dengan harga fantastis, tapi masih enggan untuk membayar pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan skill keilmuan sains, teknologi, untuk merebut otoritas umat Islam sebagai orang berilmu.
Apakah fenomena ini salah? Saya tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah kesalahan. Sebab kita harus menelaah dan berpikir, bagaimana posisi umat Islam perlu mendobrak dan mengambil peran yang besar dari ketertinggalan yang kita alami. Artinya, fenomena di atas seharusnya bisa menjadi refleksi umat Islam agar terus mengasah kemampuan dan pengetahuan.
Masih ingatkah kita dengan cerita iblis yang ingin menggoda orang sholat di masjid tapi takut kepada orang yang tidur di sebelahnya? Ketakutan tersebut dikarenakan basis keilmuan yang dimiliki oleh seseorang. Dalam konteks yang lebih luas, ilmu akan mengantarkan kita pada sikap bijak. Seperti sebuah pepatah, semakin berisi sebuah padi, semakin menunduklah ia. Artinya, hanya sedikit orang yang berilmu tapi tidak memiliki akhlak. Jika seseorang sudah benar-benar memiliki ilmu, maka ia akan benar-benar mengimpelementasikan sikap dan akhlak yang baik.
Sejalan dengan itu, masih ingatkah kita pada tokoh muslim ahli matematika yang memiliki pengaruh besar sampai hari ini? Ia adalah Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, tokoh muslim penemu aljabar dan penemu angka nol. Ia merupakan satu dari sekian ilmuwan muslim yang berjasa besar terhadap umat di dunia. Tidak hanya bagi orang muslim, akan tetapi kepada semua umat.
Keberadaan ilmuwan muslim menjadi pertanda bahwa, Islam tidak hanya mewajibkan kita berilmu tentang agama saja. Akan tetapi juga ilmu sains perlu ditekuni oleh umat Islam untuk menyebarkan kebermanfaatan kepada khalayak. Umat muslim berjaya pada masa silam. Mampukah kita merebut kejayaan Islam masa kini?
Umat Islam Wajib Berilmu
Menyadari bahwa kita adala manusia bodoh dan tidak punya kapasitas yang lebih, akan mengantarkan kita pada upaya-upaya untuk keluar dari kebodohan yang kita miliki. Untuk memahami fenomena-fenomena populer, kita perlu ilmu. Hal ini pernah ditegaskan oleh Imam Syafi’i rakhimahullah dalam sebuah kalimat:
مَنْ أَرَا دَالدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَالْاآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Barangsiapa menginginkan dunia maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.
Kalimat di atas adalah sebuah peringatan kita sebagai umat Islam, bahwa dengan ilmu akan mengantarkan kita pada sikap bijak, berdiri tegak ketika menghadapi fenomena-fenomena kekinian. Contoh paling kecil, menghadapi era medsos, misalnya. Kita membutuhkan ilmu, kemampuan literasi digital yang harus dipelajari agar bijak menghadapi masalah-masalah di media sosial.
Ilmu dan akhlak harus berjalan beriringan. Orang yang benar-benar berilmu, pasti akan sejalan dengan akhlak baik yang ditampilkan. Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita berlomba-lomba untuk berusaha untuk mencari ilmu. Wallahu a’lam.