Oleh Hamidulloh Ibda
Ada yang perlu diluruskan dalam sejarah Islam, terutama sejarah dan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Selama ini, perayaan Maulid Nabi Muhammad, dirayakan pada 12 Rabiul Awal sesuai penanggalan hijriyah. Padahal “Maulid Nabi” seharusnya dirayakan pada 17 Ramadan saat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu surat Al-alaq ayat 1-5.
- Iklan -
Nabi Muhammad menerima wahyu pada hari Senin tanggal 17 Ramadan tahun 13 sebelum Hijriah atau 25 Agustus 609 M. Saat itu Nabi Muhammad sudah berumur 40 tahun lebih 6 bulan 5 hari atau 39 tahun lebih berdasarkan kalender Masehi sekaligus pengangkatannya sebagai rasul (Umar, 2016).
Sejak saat itu Muhammad resmi menjadi nabi dan di sini hakikatnya “maulid nabi” sebenarnya. Sementara tanggal 17 Rabiul Awal merupakan hari kelahiran Muhammad sebagai manusia biasa, bukan sebagai nabi atau rasul.
Nadjib (2016) meluruskan sejarah Maulid Nabi jatuh pada 17 Ramadan bukan pada 12 Rabiul Awal. Sebab, nabi atau rasul merupakan gelar, derajat, atau jabatan dari Tuhan. Sama seperti wali, pangeran, sultan, ulama, dan lainnya. Sementara Muhammad sendiri merupakan manusia biasa yang lahir dan hidup seperti manusia umumnya. Harus dibedakan mana Muhammad sebagai nabi dan manusia biasa.
Nabi Muhammad sebagai “nabi” atau “rasul” dengan Muhammad “orang biasa” jelas beda. Sebelum mendapatkan wahyu, Muhammad manusia biasa. Umat Islam merayakan ulang tahun itu sampai sekarang dikenal dengan “Maulid Nabi” tiap 12 Rabiul Awal bukan pada 17 Ramadan. Maulid Nabi itu “kelahiran nabi” atau kelahiran Muhammad sebagai nabi, bukan sebagai kelahiran Muhammad sebagai manusia biasa.
Meluruskan
Tak bisa disalahkan, umat Islam sampai saat ini merayakan Maulid Nabi hanya saat bulan Rabiul Awal, Maulud atau Mulud. Di bulan itu dikenal sebagai “bulan maulid” karena diyakini bulan lahirnya Nabi Muhammad.
Dalam sejarah, peringatan Maulid Nabi pertama kali pada awal abad ke 7 Hijriyah yang digagas Muzhaffaruddin Al-Kaukabri atau Raja Irbil yang berada di wilayah Irak. Sampai sekarang, dari pelosok desa sampai kota, hampir semua masjid dan musala merayakan Maulid Nabi dengan melakukan barzanji dari tanggal 1 sampai 12 Rabiul Awal. Pada tanggal 12 Rabiul Awal dipuncaki dengan perayaan Maulid Nabi dengan pengajian, selawatan dan lainnya.
Kesalahan ini tak hanya secara historis. Namun berdampak pada budaya dan tradisi Islam, khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, hanya warga NU yang konsisten melestarikan barzanji. Di luar NU, banyak pula umat Islam lain memperingati Maulid Nabi dengan pengajian, diskusi dan lainnya.
Selama ini umat Islam hanya berdebat wilayah “hukum” merayakan Maulid Nabi. Ada yang berpendapat wajib sebagai wujud cinta nabi. Ada yang melarang karena itu “bidah” dan tak pernah dilakukan Nabi Muhammad sendiri. Sedikit orang mengkaji dari aspek historis, empiris, teologis dan akademik tentang sejarah dan perbedaan antara Maulid Nabi dan Maulid Muhammad.
Perbedaan Dasar
Maulid Nabi dengan Maulid Muhammad berbeda. Kelahiran Sunan Ampel dengan Raden Rakhmad sebagai orang biasa berbeda. Maka makam nabi, sunan, wali, raja harus dibedakan, karena itu tingkatan atau derajat manusia. Sama halnya dengan kelahiran Sukarno sebagai manusia bisa dengan Sukarno sebagai pahlawan nasional harus dibedakan.
Kita harus membedakan hal itu agar tak menggebyah uyah (mencampuradukkan) sesuatu tak pada tempatnya. Nabi Muhammad sendiri memiliki dimensi bermacam-macam dan peran ganda. Ada Muhammad sebagai anaknya Abdullah, Muhammad sebagai nabi, nur, rasul, sayid, kholil dan juga manusia biasa. Aksesori pada nabi Muhammad, sebenarnya mewakili yang ada pada nabi-nabi sebelumnya.
Dalam konteks ini, Muhammad bisa menjadi khalilullah (sahabat Allah) seperti Nabi Ibrahim, khalifatullah (wakil Allah) seperti Nabi Adam, kalimullah (perkataan Allah) seperti Nabi Musa dan lainnya. Peran ganda ini harus dibedakan, ada ketika Muhammad sebagai “nabi” dan Muhammad berposisi “manusia biasa”.
Maulid Nabi merupakan “kelahiran Muhammad” sebagai nabi/rasul yang harusnya dirayakan pada 17 Ramadan. Sementara Maulid Muhammad adalah “kelahiran Muhammad” sebagai manusia biasa pada 12 Rabiul Awal.
Pemahaman Muhammad sebagai manusia biasa dengan nabi masih belum dibedakan secara budaya. Secara kacamata tasawuf, asal-usul dunia ini berawal dari Muhammad. Mengapa? Makhluk pertama kali diciptakan Allah adalah “Nur Muhammad” atau “cahaya terpuji”. Sebelum ada tata surya, Nabi Adam, Idris, dan lainnya, Allah sudah menciptakan Muhammad terlebih dahulu dalam bentuk “cahaya terpuji”.
Pemahaman Nabi Muhammad selama ini hanya dimaknai sebagai Muhammad yang hidup di zaman Jahiliyah. Beliau anaknya Abdullah dan berumur 62 tahun. Nabi Muhammad dilahirkan hari Senin 12 Rabiul Awal 570 M di Makkah dan meninggal pada 8 Juni 632 M di Madinah (Goldman, 1995: 62).
Saat Muhammad menerima wahyu pada 17 Ramadan pada usia 40 tahun itulah “maulid nabi”. Sejak peristiwa itu, Muhammad resmi menjadi nabi dan rasul. Yaitu, momentum Nuzulul Quran (urunnya Alquran) pertama kali surat Al-alaq ayat 1-5 lewat Malaikat Jibril di Gua Hira. Jadi, Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal hakikatnya “Maulid Muhammad” bukan “Maulid Nabi”.
Teladan Sempurna
Maulid Nabi tak sekadar nomenklatur dan budaya Islam di Nusantara. Hakikat Mauliad Nabi merayakan “kelahiran Muhammad” sebagai nabi, bukan kelahiran Muhammad sebagai manusia biasa. Maulid Nabi adalah “kelahiran nabi” atau “kelahiran Muhammad” sebagai nabi.
Muhammad sebagai nabi memiliki ajaran humanisme tinggi. Nabi Muhammad merupakan teladan terbaik dan sempurna. Bahkan, Muhammad menjadi nabi dan rasul terakhir yang memungkasi “nubuwah” dan “risalah” dalam sejarah Islam.
Imam Busyiri (1213-1296) menulis kasidah Burdah yang menggambarkan Muhammad manusia biasa, namun tak sekadar manusia. Dalam kitab Burdah itu, Imam Busyiri menulis “Muhammadun basyarun laa kalbasyari, bal huwa kal yaaquuti bainal hajari”. Artinya, Muhammad itu manusia biasa, tetapi ia bukan sekadar manusia. Ia adalah mutiara di antara batu-batu.
Muhammad memang manusia biasa. Namun ia adalah “manusia mutiara” di antara manusia-manusia batu. Maka momentum perayaan Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal tahun ini harus dirayakan sebagai Maulid Muhammad, bukan Maulid Nabi.
Spirit Maulid Nabi sama seperti spirit Nuzulul Quran yang mengharuskan manusia membaca sesuai ayat pertama kali surat Al-alaq. Spirit Maulid Muhammad berarti menyeru manusia memiliki sifat sidik, amanah, tablig, dan fatanah.
Akankah kita merayakan Maulid Nabi di luar waktunya?
-Penulis adalah dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung