Cerpen Suyat Aslah
Perempuan itu datang dari celah bumi, ruang gelap sebuah negeri yang hampir mati. Memintal waktu yang tak terukur pasti, di tanah berpijak menarik perih. Pijar matanya bisa saja membuat kaum berpeci lupa anak istri. Apalagi para penjahat berlogo jas dan berdasi. Bertopeng suci yang tak tercerna mata kaum rumput teki. Mereka ada di atas panggung negeri, suaranya memancar ke pelosok dengan sekantong janji.
“Lalu apa yang kau alami sebelum keterlibatanmu denganku, Ais?”
Aku sempat mengenalinya hanya dalam sebentuk purba. Waktu telah mengevolusinya sampai terlihat asing di bumi, lebih berperawakan surgawi. Sorot mata meruntuhkan iman bernaung di bawah alisnya yang masih alami. Tatapan yang seakan berjodoh dengan paras cemerlang bidadari.
- Iklan -
Dia belum menjawab pertanyaanku, lalu kuambil detik untuk berkata lagi. “Tempurung sepi membuatmu asing di dunia ini.”
“Tapi aku diam dan memahami,” katanya sambil memandang ke arah halimun pagi.
“Memahami dari jauh lalu menafsirkan sendiri, itu ngeri,” jawabku sedikit hiperbolis.
Sebagai anak yang terlahir dari rahim bumi pertiwi, yang jauh dari hiruk perkotaan bergedung tinggi, atau mobil-mobil yang berlalu-lintas ke sana-ke mari. Di sini sangat asri. Persawahan luas dibentengi pohon-pohon yang tinggi. Kabut seakan terserap pori-pori. Melangkah di atas rerumputan basah pematang sawah tanpa alas, sandal kita tinggalkan di bawah pohon Keladi. Kedua tangannya dia rentangkan, menggoyangkan tanaman padi yang tertunduk, seolah menyambut hormat pasangan pangeran dan permaisuri. Embun pada daun padi membasahi tangannya, dan dia tahu pasti, embun dan kabut bakal segera menyongsong matahari. Langkahnya tetap mengikuti.
“Kalau boleh aku komentari, orang-orangan sawah yang kau buat tak bagus sama sekali,” ujarnya.
“Aku terima. Jika kau membantuku mungkin bakal lebih baik. Tapi sayangnya kau suka nonton tv,” jawabku. Lalu kulanjutkan lagi, “Dunia yang berbeda, dan itu suguhan dari tangan-tangan manusia, sutradara dan aktor peraga. Sandiwara belaka. Maksudku lihatlah pemandangan yang digelar di hadapan kita ini. Tuhan yang menyuguhkan dengan keajaiban tersendiri.”
“Dunia-Nya tak hanya ada di sini. Sementara kau hanya berkutat dalam duniamu dan bahkan menganggapku hidup lama dalam tempurung sepi. Kau bahkan lupa jagat tubuhmu sendiri, itu juga bagian dari ciptaan ajaib Yang Kuasa,” ujarnya.
“Lihatlah orang-orangan sawah yang kaubawa? Apakah termasuk sandiwara buatan manusia, demi menakut-nakuti tikus dan burung yang berkeluarga…hik hik,” sambungnya berujung tawa.
Itu sebuah pemikiran yang tak kusadari. Akhir-akhir ini waktuku lebih banyak tersita pada jagat tubuhnya. Dia tampak makin jelita sejak memakai kerudung yang membalut wajahnya. Terlihat elegan dengan pakaian berwarna merah hati dan kerudung bercorak melati.
“Aku punya cerita yang bakal membuatmu cemburu,” katanya memulai pembahasan baru, atau mungkin menjawab pertanyaan yang belum sempat dijawab sebelumnya.
“Semua tanpa keterlibatanku?” tanyaku. Bahkan cemburu sudah tercipta di hati sebelum dia cerita.
“Kau yakin ingin mendengar lembaran masa lalu?”
Aku berpikir sejenak merasai sesuatu. Telah lama aku tenggelam dan berusaha berenang dalam sejuk bola matanya. Menyelam nyaris ke dasar ruang tergelap hatinya. Dan yang kutemukan kini hanyalah mabuk cinta dalam syair para Sufi. Merambat di nadi dan menebar-nebar rindu di dada sunyi.
“Singkirkan pandanganmu itu,” katanya sambil menampar lembut pipiku yang sedari tadi memandanginya sampai sipu.
“Hampir aku tak menemukan sebab untuk membencimu, atau mencemburuimu, Ais,” kataku. Kupastikan juga aku melihat ekspresinya lagi. Masih dengan malu-malu.
“Jika hampir, berarti masih ada celah untuk kebencian ada padamu,” katanya sambil melihat ke arah lain dengan pipi masih merah. Aku terus memandanginya tak habis-habisnya.
“Kau tak seromantis ini sebelum kita menikah,” katanya lagi.
“Begitulah aturannya. Seni cinta dengan sebuah tata tertib,” jawabku.
Matahari terlihat memesona dengan sinarnya yang merekah. Kabut mulai tersingkir dan embun mulai lepas dari dedaunan. Akan jadi hari yang cerah. Lalu kita sampai pada pematang sawah yang terputus. Aku melompatinya, dia menuruninya dengan hati-hati. Kita sampai setelah melewati sepetak sawah lagi. Kusibak tanaman padi untuk membuka jalan sedikit ke tengah petak. Ini adalah orang-orangan sawah kedua yang aku tancapkan.
“Kau akan membuatnya lagi?” tanyanya. Dia tetap berpijak di pematang.
“Menurutmu?”
“Ya. Ada bagian yang kosong tak terawasi.”
“Kau mau membantuku nanti?”
“Akan kucoba nanti.”
Aroma lumpur dan tanaman padi bercampur dengan udara pagi. Dia memandang ke empat arah mata angin. Menerawang ke kejauhan sambil seolah memanjangkan lehernya. Lalu mendesah namun bukan karena kedinginan. Seperti merasai sesuatu yang menyelusup ke dadanya bersama dengan udara yang dihirup.
“Kau tak apa?” tanyaku padanya.
“Ya. Kau lihat orang-orangan sawah ada di mana-mana. Apa berarti butuh sandiwara untuk menyelesaikan sebuah masalah?” tanyanya, sedikit tak penting menurutku.
“Dalam beberapa jenis masalah mungkin, iya. Tapi sandiwara juga bisa menciptakan masalah baru.”
Percakapan tentang orang-orangan sawah selesai sampai di situ. Lalu kita kembali dengan lumpur tebal menyelimuti kaki. Pendar hangat matahari menimpa pipi. Setelah sampai ke pohon Keladi di tepi aliran air yang jernih bak kolam permaisuri. Perlahan kita menurunkan kaki ke air yang dingin. Alirannya membelah dua sawah yang luas. Kerikil dan pasir terasa menekan di telapak kaki.
“Kau sungguh tak ingin mendengar masa laluku?” tanyanya.
“Aku sudah tahu meski sedikit.”
“Tapi aku takut. Suatu saat nanti yang kuceritakan padamu bakal jadi tamengmu saat kau membenciku.”
“Jadi kita suami istri harus punya sisi pribadi yang tak harus saling tahu, untuk menamengi diri jika pertempuran terjadi?”
Tiba-tiba terselip kebimbangan yang baru. Usia pernikahan yang baru berumur kuncup. Langkah baru dimulai. Sementara jutaan kerikil pedih mungkin tersebar dalam bentangan masa di depan. Namun aku tak ingin mengkhianati tubuh. Rasa itu masih tetap bersemayam dalam dada. Tuhan seperti telah merajut jasadnya dengan paras bidadari, membuatku lupa telah disergap pertanyaan tentang dirinya yang bisa jadi menjaraki kita. Sesuatu yang tersembunyi dan tak mungkin kumengerti seutuhnya meski sedekat tulang rusuk diri sendiri. Jagat tubuh yang penuh keajaiban Ilahi. (*)
SUYAT ASLAH, penulis kelahiran Cilacap tahun 1995. Bukunya yang sudah terbit berjudul ‘Puspa’ (Antologi cerpen, 2016) dan ‘Sehelai Jiwa Sepi’ (Novel, 2018). Novel terbarunya yang baru selesai ditulis berjudul ‘Philogynik’. Beberapa cerpennya dimuat di media online dan ada juga di blog pribadinya. https://suyataslah.blogspot.com