Oleh Drs KH Mohamad Muzamil
NU adalah perkumpulan Ulama. Ulama merupakan pewarisnya para Nabi. Standar ilmu yang harus dikuasai secara minimal oleh ulama NU apa sajakah?
Pertanyaan salah seorang anggota anggota NU tersebut nampak sederhana, namun tidak mudah menjawabnya. Ulama merupakan bentuk jama’ dari alim. Jadi tidak dapat disebut ulama jika hanya seorang. Kalau hanya seorang disebut alim. Kata alim ini bermakna orang yang mengetahui. Namun jika orang tersebut hanya mengetahui saja maka dalam lingkungan masyarakat santri belum tentu dapat disebut sebagai bagian dari ulama.
Ulama pewaris para Nabi, tentu bukan kenabian yang diwarisi, melainkan ilmu, akhlak, semangat perjuangan, ibadahnya, dan kasih sayang para Nabi kepada umatnya. Dalam konteks ini, maka yang disebut ulama bukan semata-mata mengetahui ajaran para Nabi, melainkan juga mengamalkannya.
Rais Aam Syuriyah PBNU hasil Muktamar ke-27 Mbah KH Achmad Sidiq menyebutkan kriteria seorang yang alim adalah muwahid, faqih dan shufi. Menurut Mbah KH Maimun Zubair, syarat minimal Kyai adalah hafal dan memahami kitab Nahwu Alfiyah. Sedangkan menurut Mbah KH Sahal Mahfudz, kriteria Kyai yang dapat diangkat menjadi Syuriyah adalah pernah memimpin Bahtsul Masail di lingkungan NU. Mbah Kyai Musthofa Bisri mendefinisikan Kyai adalah orang yang memandang umat dengan kacamata kasih sayang.
Definisi dari para Masyayih tersebut sepertinya berbeda secara harfiah, lughowi atau redaksional, namun sebenarnya saling melengkapi secara naknawi atau terminologi.
Karena itu ulama tidak semata-mata diberikan kelibihan ilmu khususnya ulumu syari’ah, melainkan juga diberikan kemampuan untuk mengamalkan dan mengajarkannya kepada para santri dan jama’ahnya.
Betapa pun ilmu dan keteladanan para ulama sangat penting untuk menerangi kehidupan umat dalam mencapai ridho Alloh SWT. Kalau ada pendapat yang menyimpulkan bahwa ulama merupakan manusia dan manusia itu bisa salah dan bisa benar, maka harus disadari bahwa beda manusia dan makhluk hidup lainnya adalah terletak pada ilmu yang dianugerahkan oleh Alloh SWT kepadanya.
Banyak ilmu yang telah dikembangkan oleh para ulama. Misalnya, jika hendak memahami Al-Qur’an harus dengan ulumul Qur’an, seperti membaca Al-Qur’an harus dengan ilmu tajwid, dan seterusnya. Jika akan mempelajari as-sunah harus dengan ulumul hadits. Ulumul Qur’an dan ulumul hadits ini merupakan kesepakatan (ijma’) ulama. Begitu juga memahami ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan al-sunnah harus dengan ilmu fiqih wa ushuluh. Ilmu fiqh dan Ushul fiqh itu juga hasil ijtihad ulama sejak generasi sahabat setelah Rasulullah Saw wafat, kemudian oleh generasi sahabat diajarkan kepada tabi’in dan seterusnya diajarkan kepada murid-muridnya hingga sampai kepada ulama kita saat ini.
Karena itu memahami Al-Qur’an dan al-sunnah tanpa ilmunya ulama, insya Alloh tidak akan pernah sampai pada pemahaman seperti pemahaman yang dikehendaki oleh Alloh SWT dan Rasul-Nya.
Untuk itu mengikuti ulama, Habaib dan Kyai yang ada saat ini pada dasarnya adalah mengikuti Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Jika dalam mengikuti tersebut mengetahui dalilnya (Naqli atau aqli) maka disebut itba’. Jika belum mengetahui dalilnya tetapi mengikuti Ulama, maka disebut taqlid. Taqlid ini tidak dosa, bahkan sangat penting dilakukan, asalkan mau belajar bersama ulama. Wallahu a’lam.
-Penulis merupakan Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah.