Oleh Hamidulloh Ibda
Ambil hikmah. Ya, hanya itu ungkapan yang tepat atas tragedi penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo terhadap Cristalino David Ozora yang berdampak pada aksi boikot sejumlah kelompok untuk tidak membayar pajak hingga penundaan Pemilu. Dari kejadian itu terungkap adanya penyelewengan dana pajak oleh eks pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo ayah Mario Dandy Satriyo yang sebelumnya terlibat aksi kekerasan terhadap David. Kejadian tersebut melahirkan banyak hikmah termasuk pembenahan sistem pendidikan yang harus merespon perkembangan zaman dan dinamika sosial.
Pola hidup hedon, pamer harta, tidak membayar pajak, dan tidak jujur dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dinilai tidak memberikan contoh yang baik dari pegawai Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Hal itu menjadikan rakyat kecewa dan sebagian ingin memboikot tidak membayar dan tidak lapor Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Potensi ini tentu berbahaya karena masyarakat sudah jenuh karena derasnya informasi tentang kasus tersebut masih ramai dan diulang-ulang.
- Iklan -
Jika tidak ada pajak maka negara kini akan defisit, pembangunan berhenti, dan roda pelayanan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) mandek termasuk pelayanan dalam pendidikan. Kemenkeu (2023) menyebut penerimaan pajak Indonesia berhasil mencapai Rp1.717,8 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai Rp317,8 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp588,3 triliun. Data ini menegaskan penghasilan pajak menyumbang jumlah besar bagi APBN. Masalahnya, bagaimana jika masyarakat sudah tidak lagi taat atau berpotensi tidak membayar pajak? Tentu akan kacau.
Sejarah dan Literasi Perpajakan
Pajak sangat berperan terhadap pembangunan sebuah bangsa. Warga negara yang taat pajak menjadi kunci negara bisa berkembang dan maju. Dalam sejarah klasik, Rasulullah Saw selama tahun 610-632 M telah menerapkan sistem ekonomi Islam dengan menetapkan enam sumber pendapatan negara yang sah. Keenam sumber itu yaitu ghanimah (harta tawanan perang), zakat, fai’ (harta yang diambil dari lawan dengan tidak melakukan peperangan), kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak kepala) dan kafarat (denda yang harus ditunaikan karena melanggar larangan Allah Swt atau janji) (Kurniawan, 2022). Di Indonesia sendiri, sejarah perpajakan dimulai pada era kolonial Belanda, kemerdekaan, dan tahun 1979, 1979-1983, 1983 sampai sekarang (Suharianto, 1995:2).
Secara yuridis kewajiban masyarakat membayar pajak telah diatur dalam sejumlah regulasi. Dimulai dari UUD 1945, UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, UU Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambagan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan ata Barang Mewah, UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha, dan lainnya. Dasar regulasi ini jelas mewajibkan semua warga negara yang sudah memenuhi syarat untuk membayar pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak atas penjualan barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan lainnya.
Masalahnya, tidak semua warga negara Indonesia sudah membayar pajak. Kemenkeu menyebut rasio kepatuhan penyampaian SPT untuk pajak penghasilan (PPh) sebesar 83,2% pada 2022. Data ini mengalami penurunan 0,87% poin dari tahun sebelumnya yang mencapai 84,07%. Catatan Ditjen Pajak menyebut jumlah wajib pajak tahun 2022 sebanyak 19,08 juta. Artinya ketika tingkat kepatuhannya berada di level 83,2% maka sepanjang tahun 2022 total penyampaian SPT oleh wajib pajak mencapai 15,87 juta (Kompas.com, 4/1/2023). Hal ini menandakan tingkat inklusi pajak dan kepatuhan pajak perlu digenjot. Ditambah lagi dengan potensi boikot bayar pajak buntut kasus anak Rafael. Maka dari itu dibutuhkan solusi jangka panjang dan formulai untuk menjadi masyarakat memahami, mengakses, dan akhirnya taat pajak.
Pendidikan Taat Pajak
Selama ini di dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi belum termaktub jelas muatan materi perpajakan. Di dalam Kurikulum Merdeka tidak ditemukan muatan materi perpajakan secara ekplisit. Begitu pula di kurikulum pendidikan tinggi yang mengacu KKNI, SN Dikti, dan MBKM tidak ditemukan materi khusus tentang perpajakan. Kemenkeu juga masih sporadis dalam melakukan gerakan literasi perpajakan dan inklusi perpajakan. Maka dibutuhkan model pendidikan taat pajak yang bisa diterapkan dalam pendidikan formal.
Pertama, perlu payung hukum yang mengatur penerapan literasi perpajakan dalam pendidikan, seperti payung hukum pendidikan antikorupsi, pendidikan antinarkoba, pendidikan antiradikalisme. Kedua, pengarusutamaan kurikulum pajak yang terintegrasi. Di jenjang SD-SMA perlu pembelajaran literasi perpajakan yang terintegrasi, dan tidak sekadar sub materi di dalam materi ilmu ekonomi, ilmu sosial, dan ilmu pemerintahan. Ketiga, mata kuliah perpajakan di perguruan tinggi harus diajarkan di semua program studi dan tidak terbatas pada program studi ekonomi, akuntansi, manajemen bisnis, dan lainnya. Maka mata kuliah pendidikan taat pajak, atau perpajakan harus dijadikan mata kuliah wajib umum.
Keempat, perlu hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) tentang materi pajak, kewajibaan taat pajak, peran pajak terhadap pembangunan, dan lainnya yang terintegrasi dengan kegiatan kokurikuler, intrakurikuler, dan ekstrakurikuler. Kelima, literasi perpajakan berbasis magang, praktik kerja industri, dan studi tiru di kantor-kantor pajak yang mengajak pelajar secara langsung tahu pengelolaan pajak yang sebenarnya. Keenam, perlunya perlombaan dan penganugerahan kepada siswa atau mahasiswa untuk dijadikan sebagai “duta pajak” yang menjadi corong untuk mewartakan bahwa remaja dan kaum milenial harus taat membayar pajak, atau setidaknya mengerti akan kewajiban membayar pajak.
Ketujuh, perlu program gerakan pembuatan NPWP secara berjemaah bagi siswa/mahasiswa yang sudah memenuhi syarat. Selama ini pembuatan NPWP hanya dilakukan oleh masyarakat ketika mengurus syarat administratif pendirian lembaga, CV, PT, perusahaan yang mewajibkan adanya dokumen NPWP. Harusnya, NPWP dibuat dengan sukarela sebagai wujud taat pajak. Seperti yang pernah penulis lakukan kepada mahasiswa melalui program GEBUK (Gerakan Membuat Kartu) NPWP tahun 2019 yang sukses dan diapresiasi pemerintah. Kedelapan, perlunya sosialisasi dan sinergi dari Kemenkeu melalui Ditjen Pajak dengan Kemdikbudrisek dan Kemenag untuk mendesain pendidikan taat pajak pada satuan pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi bawah dua kementerian tersebut.
Kesembilan, pendidikan taat pajak harus dijalankan sejak dini di dalam keluarga. Maka setiap orangtua wajib taat pajak terlebih dahulu agar anak-anaknya, adiknya, dan semua anggota keluarga meniru ketaatan membayar pajak dimulai dari pajak sederhana seperti PBB. Melalui PKK, Karang Taruna, pengurus Dawis, penyuluhan perpajakan juga harus digalakaan untuk menjadikan keluarga di Indonesia benar-benar literat tentang pajak.
Pendidikan taat pajak menjadi penting karena tingkat inklusi kesadaran membayar pajak di Indonesia belum maksimal. Hal itu harus direncanakan sejak dini karena potensi dari bonus demograsi ke depan Indonesia diisi oleh usia produksi yang harus taat membayar pajak. Berdasarkan data BPS (2022) secara umum angkatan yang dianggap produktif tersebut berusia 15 tahun sampai 64 tahun yang populasinya mencapai 70% dari total jumlah penduduk di tahun 2020 hingga 2030. Ketika mahasiswa saat ini diberi edukasi taat pajak, pada tahun 2030 menjadi pengusaha, bupati, walikota, rektor, dan lainnya, mereka akan menjadi corong dalam keteladanan untuk membayar pajak dengan baik.
Intinya, pajak menjadi kunci mewujudkan Indonesia menjadi negara berdaulat. Pajak memang bukan segalanya, namun pembangunan negara bisa dimulai dari sana. Lalu, kapan kita menerapkan pendidikan taat pajak?
– Dosen Pengajar Mata Kuliah Teacherpreneurship Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung.