Oleh Hamidulloh Ibda
Setiap perguruan tinggi memiliki kecirian, karakteristik, atau bahasa kerennya sekarang distingsi yang dijadikan branding. Berbagai brand yang ndakik-ndakik kadang paradoks karena hanya life service bahkan arah kegiatan kampus yang bermuara pada Tridharma Perguruan Tinggi tidak memiliki impact jelas bagi perkembangan Iman dan Takwa (IMTAK), Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) atau pada masyarakat secara riil.
- Iklan -
Mengapa demikian? Karena branding itu tidak didasarkan pada paradigma keilmuan yang jelas. Sehingga, brand yang dipilih menjadi pemikat calon mahasiswa masuk ke kampus itu, akhirnya menjadikan lulusan bebas nilai bahkan kehilangan arah. Dalam arti, tidak jelas arah keilmuannya, ada yang ke kanan terlalu kaku, linier, puritan, fundamental, yang kiri terlalu sekuler, liberal dan mendewakan akal.
Ironis lagi, kaum intelektual itu hanya menjadi menara gading. Berdiri gagah ketika berteori tapi rapuh ketika implementasi. Mereka tercerabut dari masyarakat. Asas kebermanfaatan ilmu yang didapat dari kampus tidak terlaksana. Pintar teori tapi miskin aksi. Problem ini hanya ruang gelap dari bangunan cahaya keilmuan kampus yang belum menyentuh asas kebermanfaatan. Padahal, bukankah puncak ilmu itu adalah diamalkan? Bukankah ilmu tanpa amal bagai pohon tanpa buah? Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya? Pertanyaan-pertanyaan ini mengharuskan kita turut menjawabnya. Perguruan tinggi sudah saatnya kembali pada prinsip iman-ilmu-amal atau zikir-pikir-amal saleh.
Mengapa Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Penting?
Banyak ilmuan melakukan riset yang mencoba memadukan agama dan ilmu pengetahuan. Ian G. Barbour (2002: 55-56) mengelompokkan hubungan sains dan agama ke dalam empat hal yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi. Jika dijabarkan, agama dan ilmu pengetahuan berpotensi konflik, independen, dialog dan integrasi. Kebanyakan para ilmuwan memilih integrasi karena mendudukkan dua kutup yang berbeda menjadi satu kesatuan.
Secara umum, ada tiga model paradigma keilmuan. Pertama adalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Islamiyyat al-ma’rifat” atau dalam Bahasa Inggris disebut Islamization of knowledge. Beberapa tokohnya adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, Isma’il Raji al-Faruqi, Ziauddin Sardar dan lainnya. Kedua adalah pengilmuan Islam (Scientification of Islam). Tokohnya seperti Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Kuntowijoyo dan lainnya. Ketiga adalah model integrasi. Mukti Ali dengan scientific-cum-suigeneris, Nurcholish Madjid dengan Islam Peradaban; Kuntowijoyo dengan Islam limit; Amin Abdullah dengan epistemologi studi keislaman.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali perguruan tinggi menerapkan beberapa paradigma keilmuan. Seperti UIN Syarif Hidatullah Jakarta memiliki paradigma keilmuwan “Integratif Dialogis Universal”, UIN Maliki Malang memiliki paradigma keilmuwan “Integratif Universal” dengan metafora “Pohon Ilmu”, UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki model paradigma integrasi dengan metafora “Roda Ilmu” atau “Metafora Roda Ilmu Wahyu Memandu Ilmu (MR-WMI)”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan model paradigma keilmuwan “Integrasi-Interkoneksi” dengan metafora “Jaring Laba-laba” atau Spider Web, UIN Alauddin Makassar dengan model paradigma keilmuwan “Integrasi-Interkoneksi” dengan metafora “Sel Cemara Ilmu”, UIN Sunan Ampel Surabaya memiliki paradigma keilmuwan integrasi dengan metafora “Menara Kembar Tersambung”, UIN Walisongo Semarang memiliki paradigma keilmuwan “Kesatuan Ilmu” (Unity of Sciences/Waḥdat al-‘Ulūm)” dengan metafora “Intan Berlian Ilmu”, Universitas Muhammadiyah Surakarta memiliki paradigma islamization of knowledge, scientification of Islam, dan integration-interconnection, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan paradigma concept of Islamic University dan scientification of Islam, Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang mengembangkan paradigma keilmuan antara scientifation of Islam dan integration-interconnetion, UIN SAIZU Purwokerto mengembangkan paradigma keilmuan unifikasi ilmu dan agama (the throne of science and religion / arsy al-ulum wa al-din wa al-saqafah). Sedangkan Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung mengembangkan model paradigma “Integrasi-Kolaborasi” dengan metafora “Ketupat Ilmu”.
Tak Sekadar Berdiri dan Alih Status
Sejak 2020 sampai sekarang, banyak PTKI berbondong-bondong alih bentuk dari sekolah tinggi menjadi institut, institut menjadi universitas, atau mendirikan PTKI baru. Seperti contoh pada 22 April 2020 lahir 17 lembaga, yaitu Institut Studi Islam Sunan Doe NTB, Institut Elkatirie, Institut Daarul Qur’an Tangerang, STAI Persis Jakarta, STAI Al Hidayah Kauman Lasem Jawa Tengah, STIT Darul Ishlah Tulangbawang Lampung, STEBI Badri Mashduqi Probolinggo Jawa Timur, STIP Islam Maghfirah Bina Umat Bogor Jawa Barat, STIS Subulussalam OKU Timur Sumatera Selatan, STIT Ihsanul Fikri Pabelan Jawa Tengah, STEI Permata Bojonegoro Jawa Timur, STAI Al Utsmani Bondowoso, STIEB Syariah Rachmatoellah Serang, STAI Darussalam Kunir Subang, STAI Nurul Ilmi Tanjung Balai Sumatera Utara, STAI Darut Tauhid Bandung Jawa Barat dan STAI Ahmad Sibawaihi Situbondo Jawa Timur.
Pada 8 Mei 2020 juga lahir dan berdiri PTKI baru, yaitu Universitas Islam Zainul Hasan Genggong, Institut Agama Islam Cirebon, Institut Agama Islam Al Hikmah Tuban, Institut Kariman Wirayudha Sumenep, IIS Muhammadiyah Pacitan, STEINU Arridho Depok, STEBANK Mr. Syafrudin Prawiranegara, STAI Samarinda, STIS Selo Grobogan. Pada 2021, termasuk alih bentuk Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Temanggung menjadi Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung yang mengusung paradigma keilmuwan Integrasi-Kolaborasi. Pada intinya, perubahan-perubahan atau pendirian-pendirian PTKI tidak sekadar alih bentuk atau alih status, namun harus diimbangi dengan mutu dan fondasi yang kuat termasuk adanya paradigma keilmuan.
Paradigma Keilmuan Ketupat Ilmu
Paradigma integrasi-kolaborasi merupakan model paradigma keilmuan yang dibangun INISNU Temanggung. Nama lain dari integrasi-kolaborasi adalah paradigma Ketupat Ilmu, Kolaborasi Keilmuan, collaboration of science, atau Takatuful Ulum. Model paradigma keilmuan Ketupat Ilmu adalah integrasi-kolaborasi yang dikembangkan Hamidulloh Ibda dan kawan-kawan yang sudah tertulis dalam buku “MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN KETUPAT ILMU : Integrasi-Kolaborasi: Collaboration Of Science, Takatuful Ulum, Kolaborasi Ilmu INISNU-UNISNU Temanggung”.
Secara filosofis, dapat dijelaskan melalui skema anyaman ilmu, collaboration of science, takatuful ulum (kolaborasi ilmu). Ketiganya memiliki desain yang sama, yaitu sama-sama menggerakkan atau mengembangkan ilmu dan agama secara bersamaan, yang luaranya sangat ditentukan oleh metodologi yang dipilih Ketupat Ilmu merupakan bentuk paradigma dengan model integrasi-kolaborasi. Dalam Bahasa Inggris bisa disebut collaboration of science, dalam Bahasa Arab takatuf al-Ulum yang berarti kolaborasi keilmuan. Pada intinya dua nomenklatur bahasa asing itu bermakna kolaborasi keilmuan yang secara metodologi “menganyam ilmu” karena gambar atau simbol yang dipilih adalah ketupat yang selanjutnya disebut “ketupat ilmu”.
Di dalam buku, saya tulis bahwa metafora Ketupat Ilmu mengacu kepada model paradigma keilmuan integrasi-kolaborasi dengan skema anyaman ilmu, collaboration of science, takatuful ulum, yang intinya menggerakkan bersamaan, atau bergerak ganda (double movement) antara agama dengan ilmu pengetahuan dengan mengacu konsepnya Fazlur Rahman. Proses ini juga merupakan hasil riset, FGD, uji pakar, serta diseminasi dengan berbagai forum. Dalam forum internal, buku ini sudah dibedah 7 kali oleh Tim Alih Status, 2 kali oleh BPP INISNU Temanggung, PCNU dan Tim Alih Status, dan 1 kali oleh tim pembuat peraturan INISNU Temanggung.
Dari hasil kerja ilmiah yang dilakukan dengan proses pengendapan dan pendalaman itulah, paradigma keilmuan Ketupat Ilmu menjadi bagian dari ikhtiar memajukan INISNU Temanggung. Distingsi paradigma keilmuan ini dapat dilihat dari cara menganyamnya, mengolaborasikan, menggerakkan secara bersamaan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dari sumber Islam dan Aswaja Annahdliyah, ditambah dengan Al-Quran, Assunnah, semua dapat dikolaborasikan dengan ilmu pengetahuan bergantung dengan metodologi Islam maupun metodologi barat. Artinya, dengan skema ini akan lahir disiplin ilmu, ilmu, atau fakultas baru yang menjadi representasi dari output dari proses menganyam tersebut.
-Penulis adalah Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung dan penulis buku “MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN KETUPAT ILMU : Integrasi-Kolaborasi: Collaboration Of Science, Takatuful Ulum, Kolaborasi Ilmu INISNU-UNISNU Temanggung”.