Cerpen Dody Widianto
Belum sempat aku menyelesaikan pertanyaanku, salah satu dari mereka lebih dulu merogoh isi di dalam tubuhku. Mengobok-obok lebih dalam. Jemari tangan kekar itu berusaha mengeluarkan sesuatu dari dalam dadaku. Lalu turun lagi ke area perut. Entah apa maunya. Sepasang benda yang kembang-kempis berwarna merah keabuan dengan lelehan lendir kemerahan ia letakkan di atas meja putih panjang. Satu orang lagi merogoh perutku sebelah kanan. Mengeluarkan benda berwarna merah kecokelatan. Warnanya mulai pudar. Anehnya, aku tak merasa kesakitan sama sekali. Alisku mengerut. Merasa janggal. Melihat dua benda aneh itu. “Apa-apaan ini?”
“Paru-parumu rusak karena kebiasaan burukmu mengisap asap. Levermu sudah tak merah dan sebentar lagi bisa saja mengalami pengerasan karena kebiasaanmu nongkrong sambil minum-minuman alkohol hingga larut malam.”
Aku menunduk melihat dadaku berlubang. Enteng saja mereka mengatakan itu semua seolah sedang menghakimi. Tampang dan tubuh kedua orang yang menawanku tadi terlihat sangar. Apalagi dengan sebilah pedang yang terselip di pinggang. Melawan seolah bisa jadi ancaman. Aku tidak bisa berkelit. Memang benar semua yang telah mereka katakan. Walau sebenarnya aku hanya ikut-ikutan ajakan teman. Merasa jika yang kulakukan bagian dari solidaritas dan bukan sebuah kesalahan.
- Iklan -
“Menurutmu kau tak salah? Tuhanmu meminjamkan organ-organ itu dalam keadaan sehat dan baik. Kau mengembalikannya dalam keadaan rusak. Di tempat ini tak ada yang bisa kaututupi bahkan suara hati sekalipun. Setelah proses registrasi, silakan masuk ke ruangan itu. Nanti di sana akan kami tunjukkan Kitab Dusta sebelum Pertemuan Agung dimulai.”
“Registrasi? Apa harus mengambil nomor antrean?”
“Antrean? Semua proses di sini tidak ada yang lamban. Jangan samakan birokrasi kami dengan negaramu.”
Dua orang di samping kanan kiriku menggandeng kedua lenganku kembali. Dibantunya aku beranjak dari duduk. Entah siapa mereka. Tiba-tiba saja, seperti mimpi, aku sudah berada di tempat yang aneh ini dalam tubuh basah kuyup dan gigil. Lalu mengikuti mereka masuk ke dalam salah satu pintu bertuliskan namaku. Kukira jika tadi bisa mengantre, aku bisa memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka nanti di dalam. Agar bisa mengelak. Tetapi kurasa tetap saja tak ada gunanya. Mereka serbatahu. Di luar tadi, aku melihat ribuan orang yang senasib barangkali punya ketakutan yang sama denganku. Di dalam kepala, satu pertanyaan terus saja menggantung, untuk apa sebenarnya aku ke sini?
Di depan pintu berukuran sembilan hasta dengan warna hijau menyala, mereka membukakannya untukku. Dipersilakannya aku masuk. Tepat di depanku, sebuah kitab besar terpampang jelas di depan mataku. Ukurannya lebih besar dari pintu interogasi yang kumasuki tadi. Namaku tertulis besar dengan huruf timbul di sampul hitamnya. Dua orang di sampingku yang entah siapa masih saja berdiri. Satu orang di depan perlahan membukakan kitab itu. Berusaha membuka halaman pertama.
“Ini adalah Kitab Dusta milikmu. Semua kebohonganmu tercatat di sini. Dusta pertama kali yang kau lakukan adalah berkata bohong pada ibumu tepat saat kau memasuki umur tujuh tahun. Kau bilang uang sisa membeli Buku Kegiatan Siswa kau gunakan untuk membeli penghapusmu yang hilang, tetapi kau malah membelikannya permen karet demi mendapatkan gambar huruf “N” dalam bungkusnya.”
“Aku ingin punya sepeda. Di dalam bungkus permen itu ada gambar huruf Y, O, S, A, dan terakhir huruf N. Jika aku bisa menggabungkan kelima huruf itu dan menemukan gambar huruf “N”, aku bisa menukarkannya dengan hadiah sepeda. Sepedaku butut. Bahkan busa sadelnya seperti ingin lari dan tak sudi lagi menerima pijakan pantatku. Aku tak mau merepotkan ibu. Namun, sampai sekarang aku tak pernah menemukan huruf “N” itu.”
Salah satu dari mereka manggut-manggut. Saat itu aku masih belia. Belum tahu apa arti politik perdagangan. Ia tak menyalahkan apa yang kulakukan, tetapi baginya caraku salah. Kenapa lebih memilih ketakutan daripada mengatakan kebenaran. Ia tahu ibuku orang bijak. Tentu akan mengerti apa yang dirasakan anaknya.
“Kalian juga tahu tentang ibuku?”
“Kami bukan pegawai magang. Kami melakukan semuanya secara profesional. Tentu saja dalam setiap penyelesaian masalah, kami akan menimbang hukum kausalitas.”
Selepas berkata itu, ia langsung membuka halaman kedua. Lalu muncul nama adik lelakiku di dalamnya.
“Kebohongan kedua, kau mengatakan pada adikmu jika biji-biji semangka yang adikmu makan bisa tumbuh di dalam perut lalu pohonnya akan menembus kepala. Kami tahu kau hanya ingin lebih cepat menghabiskan semangka itu sebelum adikmu selesai memilih-milih biji semangkanya. Mengulur waktu.”
“Aku hanya bercanda.”
“Kau bilang kerakusan bagian dari lelucon? Sekali lagi, jangan samakan tempat ini dengan negaramu!”
Aku menunduk. Benar semua yang mereka katakan. Bahkan untuk halaman-halaman selanjutnya, aku tak pernah bisa melawan. Ruangan interogasi macam apa ini. Kantor polisi bukan. Penjara bukan. Aku mencubit pipiku perlahan. Sakit. Itu berarti semua yang kulihat dan telah kusaksikan nyata adanya. Aku memberanikan diri, memohon dengan santun bertanya pada mereka tempat apa ini sebenarnya. Mereka seolah tak mau mendengar pertanyaanku.
“Kosong?”
Satu orang di depanku memandangku bingung. Melihat halaman selanjutnya telah kosong. Lalu mengangguk pada dua orang di sampingku. Memberi tanda dengan telapak tangan supaya aku dikeluarkan.
“Kamu belum waktunya.”
Aku perlahan digiring menuju arah keluar sebelum akhirnya melihat di kanan kiri pintu ada kitab berukuran besar yang sama. Satu nama ibu di sampul buku di sebelah kanan pintu. Lalu satu nama di sampul buku yang terletak di kiri pintu. Aku mengingat-ngingat nama yang tertera. Tak salah lagi, satu nama yang lain adalah nama ayahku. Aku pernah berusaha mengejanya saat pertama kali ikut ibu mendaftar sekolah di dalam akta kelahiran.
“Apa aku diizinkan membuka buku yang ini?”
Dua orang di kanan dan kiriku terdiam. Sementara satu orang di belakangku tiba-tiba mengiyakan. Seolah tahu satu pertanyaan dalam pikiranku. Ia mempersilakanku membuka kitab itu dan melihat isinya. Semua dusta dan kebohongan yang pernah ayah lakukan tertera di sana secara perinci. Tak ada yang terlewat, tetapi mereka bilang di halaman-halaman terakhir, kebohongan ayah adalah yang terparah.
“Kamu yakin ingin membacanya?”
Aku mengangguk. Lalu menemukan bukti jika selama ini ayah sering menyembunyikan uang demi kepentingan pribadi dari hasil pekerjaannya. Ia kontraktor pengerasan aspal jalan. Dua orang itu bilang jika bayangan buruk selalu mereka kirimkan melalui frekuensi mimpi. Setiap malam. Di salah satu mimpinya, mobilnya pernah oleng karena menghindari lubang jalan saat berkendara dalam kecepatan tinggi. Badannya terhimpit truk. Terakhir kali mereka mengirim mimpi saat pagi yang indah. Ketika kopi yang ia sesap itu menjelma aspal panas yang melelehkan lidah.
“Apa ayahku sadar?”
“Kami hanya bertugas mengingatkan. Sadar dan tidak, ada yang lebih punya wewenang.”
“Lalu kenapa bagian-bagian terakhir ini masih kosong?”
“Tentu saja. Ayahmu masih hidup.”
Dahiku mengerut. Jika kitab di sebelah kanan itu aku buka, sudah pasti ada catatan kebohongan ibu tentang itu. Ibu bilang ayah sudah mati. Sebenci itukah ibu terhadap ayah. Apa yang telah ia lakukan pada kami?
“Ada banyak hal yang harus kaunilai untuk sebuah kebohongan Nak. Kami tahu alasannya kenapa ibumu berbohong padamu.”
Lagi-lagi, mereka benar-benar tahu semua yang ada dalam kepalaku. Bahkan untuk hal seperti ini. Bisa saja ibu tahu kelakuan ayah dan tak mau keluarganya memakan harta yang haram. Barangkali itu yang membuat ibu lebih baik berpisah. Aku mengira-ngira sendiri segala pertanyaan yang ada dalam kepala.
“Apa Kitab Dusta untuk adikku belum ada?”
“Tentu saja. Ia masih tanggungan ibumu. Setelah tujuh tahun, baru kami akan membuatkannya.”
“Dia seringkali menangkapi capung. Lalu dia siksa. Ekornya ia ikat dengan benang sambil tertawa-tawa. Capung itu hendak terbang lepas, tetapi karena benang, tubuh capung itu sudah dalam kendalinya. Bukankah itu kejahatan?”
“Dusta adalah bagian dari kejahatan. Kami dari departemen lain. Jika kamu ingin berkunjung ke kantor pusat penyimpanan Kitab Kejahatan dengan senang hati kami akan mengantar, tetapi waktumu di sini telah cukup. Mari kuantar keluar.”
Aku digiring keluar pintu bersama dua orang di kanan kiriku. Melihat lorong di depanku seolah tanpa ujung. Tirai hijau menutupi seluruh dindingnya. Di depan pintu, mereka mengucap salam yang aku tak tahu bagaimana cara membalasnya. Mengelus dada dan perutku. Menengadahkan tangan ke angkasa. Lalu dengan cepat merasakan tubuhku melayang ke atas. Seringan kapas. Secepat kilat menembus dinding-dinding bening berlapis. Begitu lembut.
***
Mendadak napasku tersengal. Badanku menggigil hebat. Mataku perlahan terbuka. Melihat tubuhku telah di pangkuan ibu. Adik lelakiku terus memijat tangan kanan dan kakiku. Di sebelahku, puluhan orang mengerubungiku. Beberapa orang lagi berkerumun berjajar sepanjang sungai dengan aliran sangat deras dengan membawa material lumpur, sampah, dan ranting kayu. Mereka terus menatapku haru. Seolah tak percaya aku masih bisa membuka mata.
“Kau tak apa-apa Nak?”
Aku menggeleng. Adikku menangis memelukku. Badannya kuyup dan belepotan lumpur sepertiku. Di antara rasa gigil, di sela kerumunan, aku melihat dua orang aneh tadi berjalan di atas air. Entah kenapa aku tak pernah bisa membalas ucapan salamnya. Berpakaian jubah hijau besar, mereka melambaikan tangan memberiku salam perpisahan. Kemudian membalikkan badan lalu mereka tiba-tiba lesap dalam derasnya aliran.
Masih jelas kuingat di halaman-halaman terakhir Kitab Dusta milikku tadi masih kosong. Sebelum keluar pintu, dua orang aneh itu pelan menepuk pundakku lalu berkata, “Kami akan sangat senang jika sampai waktu yang telah dijanjikan, di halaman-halaman terakhir yang tersisa di dalam Kitab Dusta milikmu ini, kau berusaha sekuat tenaga tak mengisinya lagi.” (*)
DODY WIDIANTO, lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.