Oleh KH. Mohamad Muzamil
Berduyun-duyun hadirnya warga Nahdlatul Ulama (NU) pada acara peringatan hari lahir (harlah) satu abad (16 Rajab 1344 – 16 Rajab 1444) bertepatan 7 Pebruari lalu di Sidoarjo dan berbagai wilayah atau daerah di negeri ini seolah tidak terbendung. Mereka hadir dengan suka rela untuk mendapatkan barokah dari Alloh SWT lantaran bertemu para ulama yang berada pada jajaran Mustasyar dan Syuriyah NU. Barokah merupakan bertambahnya kebaikan dan kebahagiaan. Hal ini dapat dicapai dengan riyadhoh dan mujahadah, khususnya pada waktu yang diijabah, barokahnya tempat seperti masjid Nabawi dan Masjidil haram, serta barokahnya Syaikh seperti Auliya dan ulama.
Para anggota Mustasyar dan Syuriyah terdiri dari para pengasuh Pondok Pesantren yang mengajarkan faham ahlussunah wal jama’ah (aswaja). Aswaja ini merupakan faham yang berpedoman pada Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’ dan qiyas. Aswaja ini merupakan ruh atau spirit-nya NU. Tanpa pemahaman dan pengamalan Aswaja secara ikhlas dan istiqamah, tentu NU tidak ada apa-apanya. NU hidup, berkhidmah dan berkembang dengan ruh diniyah Aswaja.
Aswaja merupakan substansi dari iman, Islam dan Ihsan, yang dijelaskan oleh para ulama yang menjadi pemuka atau imam madzhab yang indah berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Misalnya mengikuti penjelasan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidzi tentang keimanan, mengikuti salah satu madzhab empat dalam pemahaman Islam atau fiqh, dan mengikuti Imam Al-Junaid dan Al-Ghazali dalam menjalankan al-ihsan. Mengapa NU mengikuti Imam madzhab tersebut? Karena imam Madzhab tersebut berhasil menjelaskan dan mengamalkan dari sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya, dengan dalil-dalil yang kuat, baik Naqli maupun Aqli.
Disamping itu, imam Madzhab tersebut memiliki kitab atau tulisan tentang ilmu-ilmu syariah dan murid-murid yang mempelajari dan mengajarkannya hingga saat ini (insya Alloh juga untuk masa depan), dengan jalinan sanad yang kuat.
Mereka para santri yang mempelajari dan kemudian menjadi Kiai yang mengajarkan ilmu-ilmu syariah di tengah-tengah masyarakat telah teruji integritasnya, akhlaq-nya, semangat ibadahnya, perjuangannya dalam mewujudkan kemaslahatan dan menepis madlarat dan mafsadat yang ada.
Karena itu penghormatan dan kesetiaan jama’ah kepada para Kiai timbul begitu saja karena keteladanan para Kiai. Mereka disebut Kiai, menurut anggota Mustasyar PBNU KH Musthofa Bisri, kerena kasih sayang mereka kepada sesama umat Rasulullah Saw.
Bentuk kasih sayang para Kiai kepada jama’ahnya, di antaranya Kiai menjelaskan hal-hal yang sulit kepada jama’ahnya dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dicerna oleh mereka. Hal ini tidak lepas dari kepiawaian para Kiai dalam memilih kosa kata sesuai perkembangan akal mereka, sehingga dengan senang hati, para jama’ah dapat memahami dan mengamalkan sesuai kemampuan mereka.
Nah, salah satunya adalah tulisan Arab Pegon dengan tulisan miring. Arab Pegon ini merupakan bahasa Melayu atau bahasa daerah yang ditulis dengan huruf Arab, sebagai makna dari kata per kata yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits juga kitab-kitab ulama terdahulu.
Menurut Mbah Kyai Maemun Zubair (almarhum almaghfurlah), jika tanpa tulisan miring, maka tidak akan ada para Kiai atau alim ulama dalam mempelajari dan mengajarkan kitab-kitab.
Tentu masih banyak bentuk kasih sayang para Kiai kepada jama’ahnya. Umumnya ulama mendo’akan para santri dan jama’ahnya agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih bahagia lahir batin, dengan memberikan bacaan-bacaan yang harus dilafalkan ketika usai menjalankan ibadah. Dengan ijin Alloh SWT, hajat-hajat para jama’ah dapat dikabulkan.
Ulama juga merupakan tempat berkonsultasi tentang berbagai masalah yang menimpanya, umumnya nasehatnya bersumber dari keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal kepada Alloh SWT, sehingga mendapatkan ketenangan batin.
Wallahu a’lam