Oleh: Muhammad Muzadi Rizki*)
Judul Buku: Terapi Penyembuhan Diri dari Khazanah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw
Penulis: Edi AH Iyubenu
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: Pertama, Januari 2023
Tebal: 380 halaman
ISBN: 978-623-293-773-4
Dalam kajian ilmu psikologi perkembangan, setiap manusia dihadapkan dengan situasi masa transisi kehidupan. Transisi tersebut terdiri dari empat periodisasi, yakni anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia (lansia). Menurut para ahli, transisi remaja ke dewasa dinilai sebagai fase gelombang terkrusial. Masa dewasa awal ini bergelut dengan pelbagai dinamika kecemasan terhadap masa depan. Rasa bingung, anxiety, panik, depresi, tidak percaya diri, frustasi hingga gelisah berkelindan menghiasi pada diri individu. Fenomena ini terkenal dengan istilah fase quarter life krisis.
Bahwa hingga kini, fenomena tersebut tampak digandrungi. Banyak pemaklumatan secara berkala sekaligus terbuka menganggap dirinya cemas, stres, dan mengidap perasaan negatif lain. Inilah yang mengilhami Edi menulis buku bertajuk “Terapi Penyembuhan Diri dari Khazanah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw”. Edi AH Iyubenu secara eksplisit memaparkan kiat dan amaliah terapi penyembuhan (psikologi) diri merujuk sumber ajaran agama (Islam). Buku setebal 380 halaman ini memuat argument yang solutif dalam rangka meraih maqom ketenagan hati.
- Iklan -
Di bagian awal, pemilik DIVA Press tersebut melakukan pemugaran ihwal keimanan (ketauhidan). Iman adalah unsur paling utama pada diri mukmin yang bertahta di wilayah hati. Apabila di dalam hati tersublim frame tauhid, niscaya seluruh pikiran serta tindak laku pasti tunduk terhadap segala ketetapan dan kehendakNya –kini dan seterusnya. Jikalau hasil (takdir) sekarang belum selaras dengan harapan ataupun target, individu tersebut tidak lantas merasa gundah gulana, stres, dan cemas berkepanjangan. Sebab, hatinya telah bertauhid dan segala apa yang terjadi merupakan kadar terbaik atas dasar Maha Welas AsihNya.
Serentak dengan frame tauhid yang sama, individu tersebut juga akan paham bahwa Allah Swt memiliki kedigdayaan Kun Fayakun (jadilah, maka terjadilah) (QS. Yasin ayat 82). Sangat mungkin ketika Allah berkehendak. Yang tadinya sedang anxiety, atau pesimisme terhadap keadaan. Seketika berbalik 180º. Segala cita-cita terkait rezeki, harta, kuliah, pekerjaan, jabatan, dan jodoh dapat langsung terkabul. Bukankah itu semua teramat sangat jauh lebih sepele dimakbulkan olehNya? (hlm. 64).
Sebagai hamba, kuncinya ada dua, yaitu ikhtiar dan tawakal. Kedua unsur tersebut harus disinergikan secara beriringan. Pengejawantahan bisa legawa, anti overthinking, longgar menghadapi keadaan dan kenyataan walau tak sesuai harapan, itu merupakan buah dari ketawakalan. Menurut Edi, ketawakalan bersanding “sepelaminan” dengan kemampuan menerima kenyataan. Sedangkan penerimaan yang berbuah ketawakalan, sepenuhnya ditentukan oleh seberapa kembali pada khittah keimanannya –amantu billah la ilaha illa anta (hlm. 181).
Lebih lanjut, Edi mengajak pembaca untuk memiliki ghirah atensi mentadabburi kitab induk Islam (al-Qur’an dan hadits Nabi). Di situlah letak segala petunjuk kehidupan termuat. Bila terlaksana –mengaji, mengkaji, menyelami samudera makna–, niscaya juga tumbuh decak kagum dan merasakan ketenangan jiwa. Isyarat ini termaktub dalam Surat Yunus ayat 57 “wahai manusia, sungguh telah datang (al-Qur’an) kepada kalian pelajaran (nasihat) dari Tuhanmu dan obat (penyembuh) bagi penyakit-penyakit (yang berada) di dalam hati dan petunjuk (hidayah) serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Ayat di atas menjelaskan empat poin cara kerja al-Qur’an kepada manusia. Pertama, al-Qur’an bekerja sebagai mau’idhah (keterangan, pelajaran, nasihat) pada manusia. Kedua, al-Qur’an bekerja sebagai syifa’un lima fis shudur (obat bagi segala penyakit hati). Ketiga, al-Qur’an bekerja sebagai hudan (petunjuk, hidayah). Keempat, al-Qur’an bekerja sebagai rahmat. Apabila jiwa manusia telah bekerja di taraf keempat derajat tersebut, ia menjadi mudah menerima segala hal/kondisi/kejadian sebagai ketetapan dan kehendak terbaikNya. Namun, jika sebaliknya, hatinya terombang-ambing dalam kegelisahan, itu penanda al-Qur’an belum menjadi syifa’ bagi hatinya–lahum qulubun la yafqahuna biha, mereka memiliki hati tapi tak menjadikannya cerdas (jernih) (hlm. 142).
Al-Qur’an sebenar-benar pedoman terbaik mengarungi kehidupan. kalamNya adalah ruh bagi pikiran, perasaan dan perilakunya. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi Saw bersabda “Sesungguhnya al-Qur’an adalah tali Allah yang kokoh, cahaya yang menerangi, penawar (obat) yang memberi manfaat, sebagai penjaga bagi orang yang berpegang-teguh dengannya dan penyelamat bagi orang yang mengikutinya”. Sudahkah kita menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai obat terapi penenang kala kegersangan jiwa melanda?.
Inti buku ini semakin terlihat tatkala menyuguhkan kiat dan amaliah praksis kepada pembaca. Di antaranya, lazimkanlah berdzikir. Dzikir mempunyai arti mengingat Allah. Kemuliaan terbesar dari mengingatNya, Allah akan berbalik mengingat yang berdzikir. “fadzkuruni adzkurkum, maka ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu…” (QS. Al-Baqarah ayat 152). Bisa dibayangkan, bagaimana ketika Allah mengingat kita? Sudah pasti segala pertolonganNya, rahmatNya menaungi hidup kita. Deraan rasa gelisah hingga sedih yang kita miliki niscaya jadi hilang “la khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun, tiada rasa takut dan sedih dalam hidup mereka” (hlm. 300).
Kemudian, anjuran istighfar. Nabi Saw pernah bersabda bahwa sumber penyakit-penyakit berpangkal dari dosa-dosa, adapun obatnya yaitu istighfar. Karena itu, ketika sedang mengidap penyakit –dalam hal ini penyakit hati; down, stress, dan sekaumnya– kembalilah pada ajaran Nabi yang menganjurkan “minum obat” berupa istighfar “astaghfirullahal’adzim, alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu wa atuubu ilaih” (hlm. 249).
Selanjutnya, bersholawatlah. Tidak hanya mukmin dan muslim, Allah Swt serta malaikat juga turut serta bersholawat. Dari situ sudah bisa tertangkap bahwa sholawat memiliki keagungan nilai luar biasa. Wasilah sholawat mampu menjadikan doa dan hajat mudah terijabah. Jika Allah telah ridha kepada kita berkat cinta dan istiqomah bersholawat kepada Kanjeng Nabi Saw, keberatan dan kesulitan hidup macam apakah yang masih wajar digelisahkan? Sungguh, segala macam rasa sedih dan takut niscaya dicabut dan digantikan dengan kebaikan-kebaikan dari sisiNya (hlm. 363). Allahuma shalli wa sallim ‘ala Sayyidina wa Maulana Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa ummatihi ajma’in.
Buku Edi AH Iyubenu ini merupakan “menu paket komplit”, menghidangkan bacaan dengan sangat jitu, logis, lagi komprehensif. Keistimewaan buku ini membawa standpoint penyegaran baru yang merujuk pada khazanah ajaran agama (Islam), setelah biasanya tersaji dengan perspektif keilmuan psikologi. Kehadirannya menjadi sangat tepat di tengah dahaga referensi peneguhan kedamaian serta ketenangan hati dan pikiran. Buku ini sangat cocok diorientasikan bagi kalangan muslim milenial dan gen z yang akan menghadapi problem kehidupan fase quarter life crisis.
*) penulis lepas, peminat kajian moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.