Semarang – Juri Lomba Baca Puisi Religi Pekan Olahraga dan Seni Ma’arif (Porsema) XII Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah memberikan catatan bermakna dan menarik. Sastrawan Mirza Sastroatmodjo Juri Lomba Baca Puisi Religi memberikan beberaba catatan terkait perlombaan tersebut.
“Hanya catatan singkat. Sebelumnya, kami sangat mengapresiasi seluruh peserta dan pendamping yang telah memberikan penampilan terbaik. Tentunya bukan perkara yang mudah untuk sampai di titik ini, butuh pengorbanan waktu dan tenaga. Adik-adik dan pendamping yang kami hormati, ada beberapa hal yang perlu kami luruskan perihal lomba pembacaan puisi. Sekali lagi ini pembacaan puisi dalam konteks perlombaan,” kata pria yang meraih Juara I pada Sayembara Cipta Puisi Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Malaysia Gabungan Komunitas Sastra Asia Tenggara (Gaksa) tahun 2021 tersebut.
Pertama, salah menafsirkan perlombaan baca puisi. Hampir seluruh peserta terjebak dalam deklamasi puisi maupun semi deklamasi. Banyak yang tidak bisa membedakan antara lomba membaca puisi dengan lomba deklamasi puisi. Menurut Mirza, membaca puisi berarti membaca teks/naskah puisi. Fokus pada interpretasi puisi, intonasi, artikulasi, dan mimik wajah. Sementara gestur/gerak tubuh hanya digunakan untuk kondisi yang memang membutuhkan penekanan. Deklamasi menyampaikan puisi tanpa membawa/membaca teks, atau membawa teks tetapi tidak dibaca, hanya dipegang tanpa diapa-apakan . Selain fokus intonasi, artikulasi, deklamasi juga fokus pada pemanfaatan gerak tubuh untuk menyampaikan isi puisi. “Semi deklamasi, membaca teks tetapi hanya beberapa kali selebihnya dihafalkan dan disertai gerakan seperti deklamator,” katanya, Ahad (12/2/2023).
Kedua, salah menafsirkan/menginterpretasi puisi. Salah menafsirkan puisi berarti akan salah menyampaikan puisi. Misal: puisi cinta ditafsirkan dan disampaikan dengan kemarahan. Salah menafsirkan puisi berarti nanti juga akan salah menentukan nada pembacaan.
- Iklan -
Ketiga, memaksakan diri untuk mengubah suara menjadi suara orang lain atau karakter tertentu. “Yang perlu diingat, lomba baca puisi bukan lomba besar-besaran suara. Lomba baca puisi bukan lomba keras-kerasan volume suara. Tidak semua hal harus disampaikan dengan suara yang menggelegar,” tegas Mirza.
Keempat, over gesture/gerak tubuh yang berlebihan. “Tidak semua kata di dalam puisi harus menggunakan gesture. Misal: selalu menunjuk semua benda yang disebut dalam puisi, bergoyang-goyang padahal tidak ada sangkut pautnya dengan teks. Gerak hanya digunakan dalam situasi yang memang memerlukan gerakan untuk memberi penekanan. “Lomba baca puisi bukan kontes tari,” tegas dia.
Kelima, salah memaknai kata penampilan. “Penampilan dalam lomba baca puisi bukanlah tampilan kostum, tetapi bagaimana si pembaca menyampaikan puisi, apakah puisi itu berhasil disampaikan atau tidak. Penampilan meliputi penghayatan, mimik wajah, sorot mata.
Sekali lagi, kostum tidak dinilai. Kecuali ada kesepakatan sebelumnya. Misal pun ada, maksimal hanya 5 persen,” lanjut dia.
Sementara itu, sastrawan Puji Pistols Juri Lomba Baca Puisi Religi juga memberikan catatan. “Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan, sebagai catatan sederhana. Pertama, puisi yang baik itu tetap memberi ruang penafsiran, tidak seterang penulisan non fiksi, tidak juga seabsurd mantra. Kebanyakan puisi yang saya baca tidak memberikan ruang penafsiran bagi pembaca,” kata sastrawan yang karyanya terpilih dalam Jogjakarta International Literary Festival tahun 2019 tersebut.
Kedua, kurang memaksimalkan pilihan diksi. “Ketiga, kurang memaksimalkan susunan kalimat,” kata Puji yang permah aktif dalam Komite Sastra Dewan Kesenian Pati tersebut. (Ibda).