Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Ketawa Ambyar Ala Santri
Penulis : Muhammad Muhibbuddin
Penerbit : Araska
Cetakan : I, Februari 2023
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-623-7537-94-6
Saya rasa, mayoritas manusia menyukai humor. Hal ini dapat dimaklumi karena humor dapat mencairkan suasana dari yang semula kaku menjadi lebih lentur. Tak dapat dibayangkan bila kehidupan umat manusia muka bumi ini tak diwarnai dengan selipan humor atau hal-hal yang bisa membuat suasana hati menjadi lebih ceria, membuat orang-orang yang semula bersedih menjadi gembira dan tertawa.
Disadari atau tidak, humor juga menjadi cara bagi sebagian orang untuk menghibur diri, melepaskan kepenatan usai menjalankan rutinitas keseharian. Bahkan di balik humor, tak jarang terselip pesan-pesan berharga atau nasehat yang berguna bagi kehidupan manusia. Maka, tak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa “humor menjadi kebutuhan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita.”
- Iklan -
Dalam buku Ketawa Ambyar Ala Santri diungkapkan, dalam berbagai literatur telah disebutkan bahwa humor adalah salah satu media yang paling efektif dalam menyampaikan nasehat. Dengan menggunakan lelucon atau kisah jenaka, pesan lebih mudah diterima dan diresapi oleh orang yang membaca atau yang mendengarkan. Itu pulalah yang sering dilakukan para wali dan kiai.
Media pembelajaran yang dilakukan oleh para wali dan kiai kepada santri-santri, sebenarnya tidak melulu membacakan kitab kuning saja. Akan tetapi, mereka juga menyelipkan kisah-kisah dari wali atau kiai lain yang mengandung hikmah pelajaran yang bermanfaat bagi para santri (hlm. 3).
Salah satu humor yang layak disimak dalam buku ini misalnya humor yang berasal dari KH. Abdurrahman Wahid, sosok kiai kharismatik yang biasa dipanggil Gus Dur. Humor ini sudah ditulis di berbagai buku di antaranya ditulis Jabrixs dan Ricardo Nathan dalam buku humornya yang berjudul Dagelan Mencla Mencle. Dalam sebuah kisahnya tersebut, Gus Dur bercerita bahwa di pintu akhirat malaikat bertanya kepada seorang sopir metromini, “Apa kerjamu selama di dunia?”
Sang sopir menjawab, “Pekerjaan saya adalah sopir metromini, Malaikat” Lalu, malaikat memberikan kamar mewah di surga untuk sopir metromini tersebut dan fasilitas lux yang memberikan kenyamanan luar biasa tinggi. Kemudian datang orang berikutnya dan mendapat pertanyaan sama. “Apa kerja kamu di dunia?” tanya malaikat. Orang tersebut pun menjawab, “Pekerjaan saya adalah juru dakwah, Malaikat,”
Mendengar jawaban tersebut, malaikat lalu memberikan kamar yang kecil di surga dan peralatan dari kayu yang seadanya. Mendapatkan fasilitas ala kadarnya itu, juru dakwah tersebut pun protes. “Malaikat, kenapa saya yang mantan juru dakwah, yang selalu menyerukan orang untuk beriman, mendapatkan yang lebih rendah dari seorang sopir metromini?”
Dengan tenang, malaikat pun menjawab, “ Begini, Pak, pada saat Bapak berceramah, Bapak justru membuat orang-orang semua mengantuk dan tertidur sehingga melupakan Tuhan karena ceramah Bapak kepanjangan. Sedangkan sopir metromini tersebut ketika mengemudikan bus suka ngebut sehingga membuat para penumpangnya berdoa dan terus-menerus ingat Tuhan.”
Kisah humor tersebut menyelipkan pesan berharga kepada para juru dakwah atau pemuka agama, agar jangan pernah merasa sombong dan berbangga hati dengan amal ibadah yang pernah dilakukannya. Keikhlasan dan mencari keridaan Allah seyogianya selalu menjadi prioritas ketika berdakwah. Humor tersebut juga menyiratkan pesan penting bahwa ceramah yang efektif mestinya harus melihat situasi dan kondisi para jamaahnya. Jangan sampai terlalu lama dan membuat orang-orang mengantuk dan bosan dibuatnya.
Humor segar lainnya dalam buku ini bersumber dari Gus Mus, panggilan akrab KH. Mustofa Bisri. Di berbagai ceramahnya, bahkan sudah ada di YouTube, Gus Mus senantiasa menceritakan kisah ini, terutama kaitannya dengan pendidikan. Kisah ini juga pernah disampaikan oleh Gus Mus dalam haul KH. Umar Abdul Manan di PP.Al Muayyad Solo. Dalam kisahnya tersebut, Gus Mus menceritakan begini:
“Suatu ketika KH. Ahmad Umar Abdul Manan (1916-1980), Pengasuh Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo, memanggil lurah pondok, ‘Aku minta dicatatkan nama-nama santri yang nakal,ya! Diranking, ya! Paling atas ditulis nama santri ternakal, nakal sekali, nakal, dan terakhir agak nakal.”
Lurah pondoknya girang bukan main. Sudah beragam cara diupayakan untuk mengingatkan santri-santri nakal itu. Tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka sudah beku hatinya. Dengan penuh semangat, dijalankanlah perintah Kiai Umar. Nama-nama santri tersebut ditulis besar-besar dengan spidol. Singkat cerita, lurah pondok itu menanti seminggu, dua minggu, kok tidak ada tindakan apa-apa. Akhirnya, dia pun memberanikan diri bertanya kepada Kiai Umar. “Maaf Kiai, santri-santri kok belum ada yang dihukum, ditakzir atau diusir?”
“Lho, santri yang mana?” jawab kiai.
“Santri yang nakal-nakal. Kemarin panjenengan minta daftarnya.”
“Siapa yang mau mengusir? Karena mereka nakal itu dipondokkan, biar tidak nakal. Kalau di sini nakal terus diusir, ya tetap nakal terus. Dimasukkan ke pesantren itu biar tidak nakal.”
“Kok, panjenengan memerintahkan mencatat santri-santri yang nakal itu Kiai?”
“Begini, kamu kan tahu, tiap malam setelah saya shalat Tahajud mendoakan santri-santri. Catatan itu saya bawa, kalau saya berdoa, mereka itu saya khususkan. Tanya dululah kalau belum paham!”
Itulah kisah Gus Mus mengenai salah satu kearifan Kiai Umar Solo. Dalam pengakuannya, Gus Mus selalu suka menyampaikan kisah tentang metode Kiai Umar dalam mendidik santrinya tersebut. Alasan beliau senang menyampaikan kisah tersebut, karena bagi Gus Mus sendiri apa yang dilakukan oleh Kiai Umar tersebut sesuai dengan apa yang dipesankan oleh ayahahandanya, yakni almaghfurlah KH. Bisri Mustofa, bahwa mengajar itu harus lahir batin.
Masih banyak kisah-kisah humor yang menyimpan pelajaran berharga dalam buku karya Muhammad Muhibbuddin ini. Semoga terbitnya buku ini dapat dijadikan sebagai bacaan menghibur sekaligus mendidik bagi semua kalangan, termasuk para santri. Selamat membaca.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.