Oleh Muhammad Muzadi Rizki
Gemuruh menuju pesta demokrasi 2024 bergulir riuh. Euforianya sudah kentara sejak saat ini. Tensi percaturan politik kian memanas. Banyak daripada bakal calon melakukan manuver-manuver politik dan agenda konsolidasi bersama membangun sinergitas. Wajah politisi mulai marak terpampang di baliho sepanjang jalan. Dalam ruang publik (nyata-maya) juga telah bertebaran berita-berita para politisi. Tujuannya tentu dalam rangka membranding dirinya demi melanggengkan kemenangan pada gelaran periodisasi perpolitikan nantinya–2024.
- Iklan -
Satu hal yang mesti diingat, kunci kemenangan pemilu tetap berada ditangan rakyat. Rakyat diberi kewenangan oleh konstitusi sebagai pemilih mutlak (penentu arah menang atau kalah). Peran rakyat sangat krusial dalam menjaring pemimpin kedepan sebagai nahkoda pembangunan. Karena itu, rakyat harus pandai mengkurasi semua kontestan pemimpin. Partisipasi pemilih pemula harus mendapat atensi lebih. Pemilih ini secara general masih berada dibangku pendidikan (SMA/K, MA/K, Pesantren) dengan kategorisasi usia sudah tujuh belas tahun.
Arti penting mengapa harus diutamakan, karena mereka masih kategori baru dan penyuguhan menu wawasan dunia perpolitikan belum pernah diperoleh dari siapapun. Jangan sampai kenihilan pemahaman serta faktor emosional yang masih labil lantas dimanfaatkan para kontestan pemilu sebagai sasaran incaran empuk lumbung peraup suara elektoral. Oleh sebab itu, segmen pendidikan politik menjadi semakin relevan sebagai antitesis dari itu semua.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa pendidikan politik begitu penting digalakkan bagi pemilih pemula. Pertama, transisi pemilu dan sejarah baru pemilu diselenggarakan secara serentak. Sekedar gambaran, pemilihan presiden, legislatif dan pemilihan kepala daerah akan dilakukan serentak tahun 2024 setelah pemilu-pemilu periode sebelumnya digelar secara terpisah. Dari data partai politik (Parpol) yang pertama kali ikut mendaftar peserta pemilu sebanyak 40 parpol. Hasil verifikasi KPU meloloskan 17 parpol untuk berkontestasi pada pemilu 2024. Jumlah parpolnya naik dari pemilu 2019 sebanyak 14 parpol. Dengan jumlah parpol peserta pemilu begitu banyak, tentu persaingan akan begitu keras. Persaingan keras saling senggol juga tidak mustahil akan terjadi baik antara parpol maupun antar personal.
Kedua, periodisasi pemilu kali ini tidak ada calon petahana (incumbent). Secara konstitusi UUD 1945, Presiden Jokowi tidak bisa mencalonkan diri karena telah menjabat 2 periode. Konsekuensi logisnya, semua aktor peserta pemilu mempunyai peluang sama besar untuk menang –dan juga kalah. Hal demikian pasti berimplikasi semua elit politik akan saling sikut demi merebutkan tampuk kekuasaan.
Ketiga, meningkatnya kecenderungan politisasi agama. Belajar dari preseden politik terdahulu, Pilkada DKI (2017) dan Pilpres (2019), tidak menutup kemungkinan keran politisasi agama kembali mengemuka dalam gelaran pesta demokrasi tahun 2024. Narasi-narasi bernada sentimen keagamaan (SARA) kembali menjadi “jajanan” paling laku untuk mengoyak emosi umat dan menarik populasi elektoral sebanyak-banyaknya.
Tren politisasi agama berpotensi meningkat dalam penguasaan electoral setidaknya disebabkan oleh simbol hegemoni keagamaan masih kuat. Hingga saat ini, simbol-simbol hegemoni keagamaan masih kuat dipertahankan. Tarik-menarik polarisasi masih menjangkit di lingkup sosial kemasyarakatan –apalagi ruang digital. Jika hal ini terus tumbuh subur dan tidak ada penyetopan untuk meredam dan menjinakan sedini mungkin. Boleh jadi para politisi akan menunggangi sentimen keagamaan lagi dalam menggaet, menarik populasi masyarakat.
Dari uraian di atas, sudah bisa dibayangkan pengerahan perpolitikan nantinya akan lebih pelik bahkan brutal. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak bisa mengelak dari keniscayaan politik ini. Inilah titik point urgenitas literasi politik bagi pemilih pemula. Kehadiran pendidikan politik akan menggawangi pemilih pemula untuk cakap dalam berpikir serta bertindak di tengah keriuhan pergumulan perpolitikan. Bekal tersebut menjadikan mereka tidak mudah goyah terhadap segala iming-imingan yang ditawarkan.
Pendidikan politik mengarahkan pada pemahaman aspek kognitif, kemampuan kritis tentang masalah sosiopolitik, punya sikap positif dan keterampilan politik. Kesemua itu dirancang bermuara untuk mengaktualisasikan diri ikut berpartisipasi secara aktif dalam bidang politik. Dalam buku Pendidikan Politik (2017), Eko Handoyo dan Puji Lestari menjelaskan, konsep penyelenggaraan pendidikan politik mengacu pada 3 dimensi, yaitu dimensi kognitif, dimensi afektif, dan dimensi psikomotorik.
Pada dimensi kognitif, pendidikan politik memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep-konsep politik dasar. Pengetahuan ini akan menuntun pemilih menjadi warga cerdas sekaligus bijak. Selanjutnya unsur dimensi afektif, pendidikan politik akan menanamkan nilai-nilai untuk membentuk karakter dan keberpihakan warganegara dalam politik. Nilai-nilai yang terkandung yakni selaras dengan Pancasila dan UUD 1945 (nilai demokrasi, nilai kebebasan, nilai tanggungjawab, nilai kemandirian, nilai partisipasi, nilai toleransi, nilai pluralisme, kemajuan serta kemandirian). Yang terakhir dimensi psikomotorik, pendidikan politik dalam dimensi ini digambarkan sebagai pembentuk keterampilan/kecakapan pemilih dalam politik.
Secara eksplisit, dengan diinternalisasi pendidikan politik pada pemilih pemula akan menyadarkan, mendidik dalam menyeleksi kandidat calon pemimpin dan wakil pemimpin. Indikatornya bukan dilihat dari sebatas identitas ataupun materil uang, melainkan mutlak mempunyai jiwa integritas, akuntabilitas, moralitas serta tidak indikatif melibatkan SARA sebagai senjata politiknya. Sebab, hal tersebut sangat jelas menyalahi aturan main tata tertib kampanye pemilu (pasal 280 UU No. 7 tahun 2017).
Pemilih pemula harus menjadi agen untuk berperan pada lembaga maupun lingkungan tempat tinggalnya. Tempat-tempat strategis (sekolah, masjid dan lainnya) yang dapat memobilisasi massa dalam jumlah banyak wajib dijaga. Dan bila perlu, di setiap acara (misalnya pengajian, pesta rakyat dan acara lain) yang dapat mengumpulkan orang banyak dibuat semacam regulasi untuk menjamin setiap acara pasti steril dari penyisipan pesan-pesan narasi kebencian, caci maki, umpatan.
Pemilih pemula harus menjadi cerdas menghadapi problematika politik yang kompleks. Jangan sampai justru menjadikannya apatis terhadap politik. Jiwa kritisnya harus menularkan keyakinan pada orang bahwa perbedaan persoalan politik itu hal biasa, tidak usah jadi terkotak-kotak dalam berinteraksi sosial. Sudah saatnya bersinergi dan mari menyatukan langkah visi bersama merawat keharmonisan entitas bangsa supaya persatuan dan persaudaraan terus terjaga sampai kapanpun.
*Penulis lepas, penyuka literasi moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.