Oleh Sam Edy Yuswanto*
Kita semua mengerti bahwa yang namanya mendidik atau mengajar merupakan tugas seorang guru. Namun, tugas guru tak sekadar mendidik saja. Tak cukup sekadar menyampaikan materi pelajaran kepada murid, lalu menganggapnya telah selesai. Tsak peduli apakah murid-murid mampu memahami keterangannya ataukah tidak. Tak peduli apakah mereka sedang baik-baik saja atau tengah bermasalah sehingga butuh perhatian dari gurunya atau tidak?
Guru yang baik, di antara cirinya ialah dapat memahami watak atau karakter murid-muridnya, mampu mendeteksi ketika ada sebagian muridnya sedang memiliki persoalan (baik persoalan terkait sulitnya memahami mata pelajaran maupun persoalan lain di luar sekolah semisal persoalan dalam keluarganya). Guru yang baik biasanya memiliki kedekatan dengan muridnya. Atau dengan kata lain, guru yang baik ialah yang mampu menjadi ‘sahabat’ bagi murid-muridnya.
Makna ‘sahabat’ di sini tentu memiliki makna yang khusus. Jadi, bukan persahabatan tanpa batas sebagaimana pada umumnya. Melainkan sahabat yang membuat murid merasakan kenyamanan saat berada bersama gurunya dan tidak merasa malu untuk bertanya atau mengadukan persoalan, karena sang guru akan selalu siap dan sigap mendengarkan, lalu berusaha memahami dan mencarikan jalan keluar terbaik untuk mereka.
- Iklan -
Yang kemudian menjadi persoalan adalah: di era sekarang, adakah guru yang bisa menjadi sahabat bagi murid-muridnya? Mengingat selama ini ada sebagian guru yang terlihat malah tampak menjaga jarak dengan muridnya. Mungkin karena mereka merasa dirinya adalah orang yang harus dihormati sehingga menganggap murid harus selalu patuh, tunduk, tidak boleh membangkang, tanpa peduli apakah kondisi kejiwaan muridnya sedang baik-baik saja ataukah sedang didera persoalan yang membuatnya tak semangat dalam belajar?
Guru yang cuek alias acuh tak acuh dengan kondisi muridnya, menurut saya adalah guru yang kurang baik. Dia adalah guru yang kurang (atau bahkan tidak) memahami bahwa menjadi guru itu tidak sekadar mengajar atau mendidik. Dia tidak memahami bahwa tugas guru itu sangatlah banyak, di antaranya adalah berusaha memahami watak murid-muridnya, membantu dan mendampingi murid-muridnya yang tengah mengalami kesulitan, memberikan semangat hidup atau motivasi pada mereka, dan lain sebagainya.
Seorang guru mestinya selalu membekali dirinya dengan banyak kecakapan sebagai bekal dalam mendidik murid-muridnya. Maswan Abdullah dalam bukunya, Mengajar tanpa Menggurui, menguraikan bahwa salah satu kecakapan yang harus dimiliki seorang guru adalah attitude atau sikap yang baik, di antaranya adalah memiliki sikap persahabatan dengan murid. Persahabatan yang dimaksudkan di sini bukan seperti makna sahabat pada umumnya. Tetapi guru harus mampu membangun suasana yang bersahabat ketika sedang mengajar. Bahkan seorang guru harus mengutamakan sikap persahabatan ketika mengajar. Ketika sikap persahabatan ini sudah terbangun, maka komunikasi yang terjalin antara guru dan murid tidak akan kaku. Sebaliknya, komunikasi mereka akan berjalan dengan akrab, hangat, berkesan dan menyenangkan.
Dalam tulisannya, Menjadi Guru yang Bersahabat (9/9/2021) Nurul Fitria menjelaskan, guru yang baik adalah guru yang tidak hanya memposisikan dirinya sebagai pengajar, akan tetapi juga sebagai sahabat bagi siswanya. Sahabat yang bisa dibilang selalu ada di saat siswanya selalu membutuhkan. Guru mulai menjalankannya sebagai sahabat siswa, di mana guru dapat memahami kepribadian siswanya yang berbeda-beda dan mendengarkan serta memberikan solusi atas masalah yang dihadapi siswa (ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id).
Memang harus saya akui, menjadi seorang guru sekaligus sahabat bagi murid-muridnya itu bukan sesuatu yang gampang untuk dipraktikkan. Butuh latihan dan jiwa yang besar. Guru harus benar-benar bisa menjaga diri dan emosi. Jangan sampai kebablasan ‘terlalu dekat’ dengan murid. Arti ‘terlalu dekat’ di sini misalnya menganggap murid sebagai manusia sebaya dirinya sehingga tidak ada sekat-sekat di antara mereka. Misalnya, mengajak murid bercanda tanpa batas, ngobrol tentang hal-hal yang tidak berfaedah dengan murid, dan lain sebagainya. ‘Terlalu dekat’ yang semacam ini justru bisa menyebabkan murid tidak bisa menjaga adab ketika di hadapan gurunya. Ketika murid tak lagi memiliki adab yang baik kepada gurunya, secara otomatis wibawa seorang guru pun akan hilang. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Penulis lepas, mukim di Kebumen.