Cerpen Adi Zamzam
Kota S yang semula tenang dan hanya terusik berita-berita ekonomi, korupsi, dan skandal-skandal kecil para penghuninya, mendadak terjaga. Ceritanya dimulai dari seorang artis yang mengaku baru saja bertemu dengan Maut.
“Umurku hanya tinggal sebentar, karena itulah akan kupergunakan untuk beramal sebanyak mungkin…,” ujar artis tersebut di sebuah acara milik pejabat.
Beragam komentar pun bermunculan setelahnya…
- Iklan -
“Mungkin saat itu dia sedang ‘pakai’.”
“Kebetulan, kan bisa saja seperti itu…”
“Alaaah… paling-paling juga trik jual diri!” yang lainnya lagi. Sebelum tiga hari kemudian sang artis itu benar-benar meninggal, dan kabar itu semakin meluas lagi.
Hari berikutnya, semua komentar miring, ngawur, dan ngasal, langsung terpatahkan begitu polisi kota menyatakan bahwa kematian sang artis itu tak memiliki unsur kesengajaan, perencanaan, pun kriminalitas. Sang artis menemui ajal secara wajar, terkena serangan jantung saat pulang larut malam. Yang jadi pertanyaan besarnya kemudian adalah, bagaimana bisa kemarin ia mengeluarkan pernyataan perihal kematiannya yang sebentar lagi?
Kehebohan selanjutnya disambung oleh seorang pemilik rumah makan W yang juga sama-sama mengaku telah bertemu dengan Maut.
“Seperti apa sih rupanya Maut?”
Kebanyakan menganggap bahwa hal itu hanyalah bualan.
“Jangan-jangan dia cuma mau bikin sensasi, haha…!” komentar seorang pemilik restoran kecil kepada para pelanggannya.
Dan berita itu semakin menyebar setelah pemilik restoran W membagikan menu gratis secara cuma-cuma kepada orang-orang tak mampu selama dua hari berturut, sebelum hari ketiganya pemilik restoran tersebut benar-benar meninggal—terkena angin duduk.
Orang-orang semakin bertambah cemas ketika kasus ketiga juga memiliki pola yang sama. Orang ketiga membuat kehebohan lantaran membuka skandal kasus mega korupsi yang menyeret beberapa nama kawannya—para politisi dan pejabat kalangan atas.
“Demi membersihkan diri saya dari dosa-dosa, saya ingin membuat pengakuan kejujuran,” begitu orang ketiga ini memulai pengakuannya di depan awak media.
“Mengapa Bapak nekat melakukan pengakuan ini?” tanya salah seorang awak media.
“Jika setelah ini saya akan dipenjara, dituntut, dimaki, difitnah, atau bahkan dibunuh, silakan. Toh semuanya akan sama saja. Saya hanya ingin mati dalam keadaan sudah tobat dan dimaafkan,” ujarnya lagi.
“Persiapan Bapak menghadapi dendam orang-orang yang membenci pengakuan ini apa?”
“Dendam adalah masalah kejiwaannya sendiri. Mengapa justru ingin menambahi dosa saat kesempatan bertobat masih ada?” jawabnya dengan raut sedih. “Ah, sudahlah, toh besok saya akan mati.”
“Kita semua juga akan mati, Pak…” lanjut awak media tadi, yang kemudian bersambut tawa hambar kawan-kawannya.
“Iya. Nanti kalian juga akan bertemu dengannya. Besok atau lusa,” hanya jawaban itu yang diberikannya. Sebelum tiga hari kemudian lelaki itu benar-benar menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.
* * *
Dan kejadian semacam itu menjadi perkara lumrah di Kota S. Kau bisa saja mendengar kisah seorang prajurit yang tiba-tiba mengundurkan diri demi menikmati hari-hari terakhirnya bersama keluarga, seorang bintang film porno yang tiba-tiba mengumumkan pertobatannya, atau orang-orang yang tiba-tiba memesan peti matinya sendiri dan lalu menghubungimu untuk ikut datang di acara penghormatan kematiannya.
Di samping kisah-kisah penerimaan kematian semacam itu, ada juga kisah-kisah perlawanan yang mengharukan sekaligus menggelikan. Pernah suatu ketika ada seorang pemuda yang meminta agar tanggal pernikahannya dimajukan. Padahal tanggal dan hari baik tersebut sebelumnya telah ditentukan dan direncanakan sematang-matangnya oleh kedua belah pihak. Sayangnya, bukannya menyambut dengan ketabahan hati, calon mempelai wanitanya justru menolak dan memilih pembatalan perkawinan. Ia lebih memilih patah hati duluan ketimbang setelah menjadi janda.
Ada juga seorang konglomerat yang kemudian menyuruh orang-orang bayaran demi mencari dan meringkus sosok yang mengaku-aku sebagai Maut yang akan mencuri nyawanya. Namun seperti yang sudah bisa ditebak, mereka tetap saja gagal dalam melindungi (mantan) bosnya—yang menemui ajal setelah mencicipi dua nyamplung buah durian. Konglomerat itu mati lantaran serangan darah tinggi.
Jika kemunculan sosok misterius Maut bisa membuat sebagian besar warga berubah menjadi lebih baik dan saleh, tidak untuk sebagian yang lain.
Pernah terjadi sebuah kasus, seseorang memutuskan bunuh diri lantaran telah sekian tahun mengidap penyakit kronis dan memohon agar dipertemukan dengan Maut namun tak juga terkabul. Tapi bukannya mati, dari yang semula masih bisa berjalan, orang tersebut kemudian mengalami kelumpuhan total setelah menenggak racun serangga. Dia belum juga mati. Banyak juga orang-orang yang justru memanfaatkan sisa umur yang diketahuinya untuk memuaskan nafsu jahatnya.
* * *
Ayah menceritakan kisah kelam kota S setiap kali ada salah seorang kawannya yang meninggal dunia. Dengan suara terbata, meski aku tahu ada semangat di sana.
“Ada yang menunggu-nunggu, namun tak sedikit juga yang justru merawa was-was. Tapi yang pasti, tatanan kehidupan jadi terlihat kacau. Contoh kecilnya saja seperti orang-orang yang menyembunyikan pertemuannya dengan Maut. Mengukur kejujuran manusia bukanlah perkara gampang.”
“Lalu bagaimana ceritanya hingga Maut tak lagi menampakkan diri, Yah?” tanyaku dengan sedikit nada canda. Jika sudah begini, biasanya Ayah akan berubah melankolis, dan kemudian ‘menjadi anak kecil’ lagi. Kamar jadi terasa umpeg.
“Tidak benar jika dia tidak lagi menampakkan diri. Kau lihat rambut Ayah?” mengelus kepalanya yang penuh uban. “Ini adalah jejak yang ia tinggalkan.”
“Tapi tidak semua yang beruban lantas besok mati kan?” kubenahi bantal-bantalnya yang sudah tak tertata rapi. Mengeras, dan butuh dijemur. Baunya amat mengganggu hidung. “Kang Somad, berapa itu umurnya? Anaknya juga baru satu…”
Lelaki itu lantas memintaku untuk membantunya duduk. Dia terlihat kepayahan saat berusaha meluruskan kedua kaki. “Aku ingin sekali takziah, Gus…,” dengan nada memelas. Membuatku sedikit jengkel. Apa dia pikir cukup aku seorang untuk bisa membawanya ke sana? Andai tahu begini, pasti tadi pagi kabar itu tak kuteruskan kepadanya. Merepotkan.
“Aku yakin keluarga Pak Suroto sudah memaklumi kondisi Ayah,” kuusahakan dengan nada setenang mungkin. “Toh aku sudah bilang ke keluarganya, Ayah belum tentu bisa takziah.”
“Gus, kau tahu siapa itu Suroto? Dialah satu-satunya di antara semua sahabat baik Ayah yang ikut berdarah-darah saat Ayah jatuh bangun. Sejak sebelum kamu lahir hingga adik-adikmu bisa sekolah.”
Aku ingin mengembalikan ke suasana dongeng tadi. Tapi kelihatannya sudah tidak bisa. Mengapa orang lebih suka tersakiti oleh kenangan, yang padahal belum tentu tiada guna lagi? Apa sebenarnya guna kenangan? Bahkan dalam hal kenangan indah pun, ia tetap berpotensi menyakiti saat dikenang.
* * *
Ayah jatuh sakit lagi. Kebiasaan ini mulai bisa kuhafal setiap kali beliau mendengar kabar kematian—baik dari tetangga apalagi dari kawan lama. Beliau kesulitan bicara. Kedua tangannya sering kulihat gemetaran saat hendak mengambil sesuatu. Pun mulutnya, yang lebih banyak diam. Hanya air matanya yang lebih banyak bicara. Air bening itu begitu mudahnya keluar dari sudut mata tiap kali ada perbuatanku yang tidak disukai.
“Bapak ingin digilir saja?” tanyaku, mengingatkan pertemuan kami—keempat anaknya tiga bulan silam.
Tak ada jawab. Hanya ada air mata yang meleleh.
Tapi aku sudah telanjur terbiasa. “Biar Bapak dapat suasana baru, biar enggak gampang sakit.”
Dia menggeleng.
Kuhela napas pendek. Berusaha menguatkan dada. Aku tak mau terlalu lama diingatkan dengan saat-saat kematian Mama—yang kronologinya tak pernah kami ketahui. Cukuplah bahwa saat-saat terakhir melepasku, beliau sudah ikhlas merawat Ayah dan mempersilakan kami pergi mengarungi dunia masing-masing. Cukuplah kami meyakini bahwa kematiannya adalah ketetapan takdir, meskipun jika dinalar harusnya yang sakitlah yang pergi duluan. Akal hanya bisa menerka dan memperhitungkan sesuatu melalui tanda. Beruntung bahwa saat itu masih ada tetangga yang peduli dengan sepasang lansia yang ditinggal pergi keempat anaknya. Hingga jasad Mama yang sudah kaku di kamar mandi tak sampai membusuk dimakan waktu.
Kenyataan itu memang terlalu menyakitkan. Mama kami terlampau baik hingga kami dibiarkan mengejar mimpi masing-masing tanpa memikirkan beliau lagi. Kami khilaf. Kami naif, berpikir bahwa apa yang kami kejar akan sebanding dan bisa mengobati saat sudah kehilangan. Nyatanya tidak. Kepergian Mama meninggalkan lubang teramat dalam di sini.
Kami akhirnya berunding. Kejadian serupa tidak boleh terulang. Ayah harus dijaga sebaik mungkin. Kami mulai menemukan pikiran bahwa beliau adalah satu-satunya harta paling berharga kami yang tersisa. Apa guna menggenggam dunia jika tak mampu membahagiakan orang tua?
Sayangnya dalam perundingan meja makan itu aku kalah. Entah, apakah mereka telah berkonspirasi ataukah memang ini cara Tuhan ‘menghukum’ku. Aku, si sulung, yang paling pertama meninggalkan rumah demi mengejar cita-cita absurd, yang bisa bekerja apa saja untuk uang, yang belum juga menemukan jodoh tempat berlabuh, yang mulai tak peduli dengan nasib, akhirnya kebagian tugas menjaga Ayah.
Semuanya memang terasa mudah di awal. Namun semakin ke sini, ternyata semakin menyusahkan. Hingga kadang membuatku menyesali keputusan, frustasi, dan sering marah-marah sendiri.
“Kau ingin tahu mengapa kemudian Maut tak lagi menampakkan diri di kota S?” tanya Ayah ketika melihatku terduduk lesu di sampingnya. Itu hari pertama ketika Ayah berak di atas kasurnya.
Aku rasa jawaban pertanyaan itu sudah tidak penting lagi buatku.
Dengan tersendat beliau memaksa mengeluarkan jawabannya, “Sama seperti Tuhan, mereka hanya ingin melihat orang-orang yang tulus. Tulus berbuat kebaikan, tulus beribadah, tulus menyambut kematian…”
Entah mengapa aku tidak terharu saat mendengarnya. Aku terlampau bingung dengan kondisi ini. (*)
ADI ZAM-ZAM
Cerpennya tersebar di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tribun Jabar, Lampung Post, Radar Surabaya, Bali Post, Riau Pos, Haluan, Inilah Koran, Radar Lampung, Surabaya Post, Solo Pos, Harian Waktu, Joglosemar, Analisa, Koran Merapi, Suara NTB, Lombok Post, Banjarmasin Post, Fajar (Makassar), Radar Bromo, Bangka Pos, Sumut Pos, Jurnal Medan, Rakyat Sultra, majalah Femina, Esquire, Good Housekeeping, Ummi, NooR, Paras, Kartini, Story, Annida, Potret, Sabili, Hadila, Cahaya Nabawiy, Suara Muhammadiyah, Mimbar Pembangunan Agama (Depag Jatim), Annida-online, majalah budaya Sagang, Majalah Basis, Majalah Karas (Balai Bahasa Jateng), Tabloid Nova, Genie, Cempaka, Minggu Pagi, Serambi Ummah, Detik.com, Kompas.id, Basabasi.co, Tamanfiksi.com, Cendana News.com, Ideide.id, Bacapetra.co, ITN Malang News…
Cerbung pernah dimuat di Majalah Kartini, Femina, dan Annida-Online. Cerpen Anak pernah dimuat di Kompas Anak, Junior(lembar anak Suara Merdeka), Lampung Post, Majalah Aku Anak Saleh, dan PERMATA (Lembar Anak Majalah UMMI).
Beberapa cerpen termaktub dalam antologi bersama:
1) SEBUAH KATA RAHASIA — Kumcer Pilihan Annida-online (SMG Publishing, 2010).
2) MEMBUNUH IMPIAN – 15 Inspirasi Cerpen Pilihan Annida-online 2011 (e-book)
3) TAHUN-TAHUN PENJARA — Antologi Cerpen Joglo 12 (Taman Budaya Jawa Tengah, 2012)
4) SERIBU TANDA CINTA — Antologi Cerpen Milad Uda Agus ( deKa Publishing, 2012)
5) NEGERI ASAP – Kumpulan Cerpen Harian Riau Pos 2014 (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2014)
6) MATA YANG GELAP – Kumpulan Cerpen Pilihan Harian Suara NTB 2014 – 2015 (Suara NTB, 2016)
7) SEPASANG CAMAR – Kumpulan Cerpen Pilihan Majalah Simalaba Online (2018)
8) BUKAN SEBAMBANGAN – Kumpulan Cerpen Krakatau Award 2018 (Dewan Kesenian Lampung, 2018)
9) SWARA MASNUNA – Kumpulan Puisi Krakatau Award 2019 (Dewan Kesenian Lampung, 2019)
10) EIDETIK 2 – Antologi 100 Puisi Pilihan (Penerbit SIP Publishing, 2020)
11) SAATNYA MENJADI BANGSA YANG TANGGUH – Pemenang Esai Program Nulis dari Rumah (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020)
12) OMAH – 25 Penulis Terpilih Lomba Geguritan Yayasan Podhang (Yayasan Podhang, 2021)
Buku Tunggal:
- Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya – Kumpulan cerpen (UNSA Press, 2016)
- Persembahan Teruntuk Bapak – Novel remaja (DIVA Press, 2017).
- MELIHAT – Novel (Bhuana Sastra, Bhuana Ilmu Populer, 2017).
- Menunggu Musim Kupu-kupu – Kumpulan cerpen (Basabasi/DIVA Press Grup, 2018).
- Hanya Firman Tuhan – Kumpulan Cerpen (SIP Publishing, 2021)
- Rahasia Sehat Tania – Buku Pengayaan (PT. Wangsa Jatra Lestari/Tiga Serangkai Grup, proses terbit)
- Hujan, Laron, dan Rumah Cinta – Kumpulan Puisi (proses terbit).