Oleh: Tjahjono Widarmanto
Sulit dicari hubungan antara sepak bola dan filsafat. Toh, demikian, konon Albert Camus yang filsuf dan sastrawan kesohor tingkat dunia itu pernah merasa berutang pada sepak bola, “Semua yang saya ketahui berkait tentang moralitas dan kewajiban ada pada sepak bola. Saya berutang pada sepak bola”.
Sepak bola dan panggung politik sama-sama mendambakan dan berorientasi pada kemenangan. Para pemain sepak bola dan para aktivis politik berorientasi untuk merebut kemenangan. Yang membedakan, para pemain sepak bola memperebutkan kemenangan tanpa pamrih untuk ‘menguasai’, sedangkan para politisi meraih kemenangan untuk menguasai. Para pemain sepak bola berjuang untuk martabat, kehormatan, marwah bangsa dan negaranya, sedangkan para politisi merebut kemenangan untuk sebuah kuasa.
- Iklan -
Di lapangan bola, setiap pemain berupaya keras dan mati-matian. Mereka ngotot bahkan uring-uringan, saling bentak, saling dorong bahkan saling jegal. Emosi pun meluap-luap-luap. Namun, apapun bentuk kengototan dan uring-uringan mereka akan terkendali setiap wasit mengambil keputusan. Sejengkel apapun atas keputusan wasit, bahkan bisa jadi mendebatkannya, namun mereka akan segera menerima setiap keputusan bahkan hukuman yang dijatuhkan wasit. Para pemain sepak bola memahami dan menghormati betul etika dalam bersepak bola. Pemahaman, penghormatan, dan kepatuhan pada etika inilah yang menjadikan mereka menjunjung tinggi sportivitas.
Dari etika itulah kita bisa berguru dan belajar pada sepak bola dan perhelatan piala dunia tentang keagungan sportivitas, kerja keras, semangat, kerja sama, solidaritas dan saling menghormati lawan. Penulis Vince Lombardi Jr mengatakan bahwa sepak bola seperti kehidupan nyata yang selalu membutuhkan kerja keras, pengorbanan, penyangkalan diri, dedikasi, namun juga menghormati persaudaraan dan respek pada otoritas.
Lalu bagaimanakah para pemain dalam panggung politik kita? Apakah para politikus, para pemain arena politik kita sudah mendepankan etika? Adakah etika dan kepatuhan terhadap aturan main? Adakah etika dalam politik mereka sehingga menghormati lawan politik dan menjujung tinggi sportivitas?
Dalam realitanya, panggung politik kita tidak menghargai etika atau tidak memilika etika politik. Akrobat dan manuver dalam jagat perpolitikan kita sangat memalukan. Alih-alih menghormati dan menghargai lawan politik, mereka bahkan menghalalkan segala cara untuk menumbangkan lawan politik. Hasrat kuasa telah memberangus etika politik. Lihatlah kosa kata yang mereka produksi penuh cemooh dan ejekan (bahkan makian), seperti “dungu”, “kecebong”, “kampret”, “plonga-plongo”, bahkan produksi fitnah dan hoax seperti “PKI”, “antek asing”, anti Islam”, “pribumi”, dan sebagainya. Retorika-retorika politik yang tak beretika semacam itu jelas menjauhkan sikap sportif dalam berpolitik. Retorika-retorika tersebut jelas-jelas adalah menghasut, menjatuhkan, yang pada ujung-ujungnya akan melahirkan kebencian dan rantai dendam yang sulit terputuskan.
Sudah saatnya para politikus kita berguru pada sepak bola, belajar pada piala dunia, untuk menumbuhkan etika berpolitik yang sehat, santun, saling menghargai, mamatuhi aturan main, dan memiliki sikap spotivitas. Melalui etika berpolitiklah kita bisa menghindarkan diri dari sekedar pseudo kemenangan yang hanya melahirkan dendam dan luka-luka bagi merka yang kalah dalam percaturan politik. Menumbuhkan etika politik berarti menyelamatkan masa depan politik dan kepercayaan masyarakat terhadad jagat politik. Melalui etika berpolitik kita bisa mengubah anggapan panggung politik sebagai dunia kelam yang mengerikan yang menghalalkan segala cara, menjadi sebuah ruang yang memberi inspirasi, ruang yang saling menghikmati perbedaan, ruang nalar yang cerdas bagi masyarakat dalam mengambil sikap politik.
Ayo berguru pada sepak bola, belajar pada piala dunia untuk menumbuhkan etika berpolitik. Tumbuhnya etika berpolitik akan menjadikan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dua-duanya sama-sama berposisi elegan dan terhormat.
*)Penulis adalah guru, sastrawan, yang tinggal di Ngawi