Oleh S. Prasetyo Utomo
NARASI radikalisme menjadi daya tarik bagi penyair untuk menuliskan puisi. Ia bisa memanfaatkan satire. Dengan kritik yang terselubung humor, Mustofa Bisri mencipta puisi dengan roh religiusitas. Penyair lain memanfaatkan teori dekonstruksi seperti dilakukan Triyanto Triwikromo dan menyingkap relung gelap radikalisme tokoh sejarah. Ahda Imran memanfaatkan suasana paradoks untuk menghadirkan narasi radikalisme yang dilakukan orang-orang suci.
Satire yang diekspresikan Mustofa Bisri dalam Pahlawan dan Tikus (Pustaka Firdaus, 1995) mempertanyakan religiusitas manusia, yang sesekali berhadap-hadapan dengan hegemoni kekuasaan. Teori dekonstruksi yang dimanfaatkan Triyanto Triwikromo dalam kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (Gramedia Pustaka Utama, 2015) menyentak kesadaran pembaca ke dalam perenungan akan makna pembangkangan terhadap otoritas kekuasaan. Ahda Imran dengan kumpulan puisi Lidah Orang Suci (Teroka Press, 2021) mengelupas berlapis-lapis dusta, kebusukan, kejahatan radikalisme yang dilakukan tokoh-tokoh yang disakralkan.
Ketiga penyair ini hadir ke hadapan pembaca dengan keunggulan mereka masing-masing. Yang membedakan puisi-puisi mereka adalah cara memandang radikalisme. Mustofa Bisri tidak secara terbuka menyingkap radikalisme sebagai bagian religiusitas. Triyanto Triwikromo secara utuh menyajikan puisi-puisi tentang tokoh radikal Kartosoewirjo dengan segala konfrontasi terhadap kekuasaan. Sedangkan Ahda Imran mencipta puisi-puisi yang menarasikan tokoh-tokoh orang suci berperilaku radikal. Mereka memiliki kekuatan diksi, metafora, dan simbol sebagai ekspresi daya cipta yang berhadapan dengan pemahaman pembaca.
- Iklan -
Mustofa Bisri memiliki kecenderungan menggunakan bahasa yang bermuatan kritik terselubung humor, segar, dan komunikatif. Triyanto Triwikromo memanfaatkan metafora, diksi bernas, bahasa yang mendekonstruksi otoritas kekuasaan. Ahda Imran mengekspresikan bahasa paradoks, pilihan kata yang mencipta olok-olok, kritik, satire terhadap radikalisme orang-orang suci.
SEBAGAI seorang ulama, Mustofa Bisri dikenal sebagai tokoh moderat yang memiliki sikap kritis terhadap religiusitas masyarakat dan otoritas kekuasaan. Puisi-puisinya menjadi asyik untuk dinikmati, membangkitkan perenungan, dan mengembalikan kesadaran religi, transendensi, dalam memandang radikalisme yang menjadi bagian perilaku masyarakat. Dalam puisi “Ketika Tuhan”, tampak benar bahwa Mustofa Bisri menciptakan satir yang tajam terhadap religiusitas, ketika berhadap-hadapan dengan radikalisme, pertumpahan darah yang diperbuat manusia. Mustofa Bisri memberi kesadaran pada kita, bahwa manusia seringkali mempertanyakan hal-hal yang sudah menjadi takdir Tuhan seperti dalam petikan puisi berikut ini: “Ketika sang khalifah benar-benar semena-mena/ Merusak dan menumpahkan darah di mana-mana/ Di dunia/ Apakah kita akan membenarkan para malaikat dan berkata/ KepadaNya seperti mereka lalu siapakah kita/ Yang tahu kehendak Sang Pencipta?//.
Di saat lain Mustofa Bisri menulis larik-larik puisi tentang orang-orang yang menjalani hidup dalam sekularisme dan radikalisme. Dominasi budaya patriarki turut memberi dukungan terhadap sekularisme dan radikalisme itu, dalam dosa kekuasaan, bahkan terlibat dalam sejarah berdarah. Pertumpahan darah telah menjadi bagian konfrontasi yang melibatkan orang-orang yang mendewakan kekuasaan. Dalam puisi “Input dan Output”, Mustofa Bisri melontarkan kritik terbuka: “Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan/ berbarel-barel bensin dan darah/ dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan/ melalui pori-pori kejantanan/ke tangki-tangki penampung nyawa/untuk menghidupkan sesal dan kecewa//”.
Triyanto Triwikromo memiliki cara pandang yang berbeda dengan Mustofa Bisri dalam menghadapi narasi radikalisme Kartosoewirjo dalam puisi “Jihad”. Ia memanfaatkan metafora untuk melukiskan Kartosoewirjo sebagai tokoh radikal (“anjing merah”) yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan negara (“rusa hijau”). Dalam puisi itu ia memandang peperangan yang dilakukan Kartosoewirjo terhadap negara merupakan jihad, ekspresi narasi besar pewahyuan, yang membela kehendak Allah. Karena itu, Kartosoewirjo memerlukan tentara yang dinaungi pewahyuan, yang teraniaya dalam kekuasaan negara. Tokoh Kartosoewirjo berjihad untuk membunuh orang-orang yang yang mencitrakannya sebagai pemberontak, bukan sebagai pasukan yang berada dalam naungan kekuasaan, seperti kutipan berikut ini: Baiklah, karena itu, mari kita mulai berperang/ Perang setelah pasukan menerima wahyu/ Perang membela kehendak Allah/ Bukan perang membela Allah// Aku butuh 200 tentara langit yang telah dianiaya/ Aku butuh 2.500 kuda yang tak pernah diberi makan/ Aku butuh orang-orang yang terhina// Aku butuh 1.000 orang berdosa/ Aku butuh siapa pun yang ingin membunuh mereka yang tak membiarkan aku menjadi rusa hijau/ Mereka yang memaksa aku jadi anjing merah//.
Radikalisme atas nama agama dan peran orang suci yang dikritik Ahda Imran tampak benar dalam puisi “Lidah Orang Suci”. Dengan bahasa bernas dan terpilih, ia melancarkan kritik terhadap perilaku orang suci yang berfatwa untuk melakukan konfrontasi berdarah terhadap pihak-pihak tertentu, dengan kekerasan, bahkan pembunuhan. Larik-larik berikut ini melukiskan kritik penyair akan peran orang-orang suci terhadap radikalisme atas nama agama dan kebiadaban hukum rimba: “Lidah orang suci itu menyeru darah/Di jubahnya orang sekaum berseru:/Bunuh/Bawa kayu bakar. Ikat dia di tiang/Biarkan api menyala. Hukum lama/biar berlaku// Jubah orang suci/ penuh asap mayat dan abu/ Dipandangnya langit biru//”.
Ancaman radikalisme orang suci diekspresikan Ahda Imran dalam puisi “Cara Mengasah Pisau”. Orang-orang suci melakukan kekerasan atas nama agama, dengan laskar dan senjata. Dalam puisi berikut ini tampak kritik tajam penyair akan perilaku orang-orang suci dengan laskar yang mengiringinya: “Bentangan angin. Kain jubah/ yang berkibar barisan gagah para laskar/ Selat yang dingin. Kapal seberangkan/ gelap ke pusat pulau, mengangkut/ para pengasah pisau//”. Kekerasan senjata menjadi ancaman barisan laskar, dalam perilaku yang didorong kegelapan hati nurani.
DERADIKALISASI merupakan daya tarik utama buku kumpulan puisi karya ketiga penyair ini. Saya melihat bahwa ketiga penyair ini memiliki cara pandang yang meletakkan narasi radikalisme dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar dengan peristiwa-peristiwa transenden, profetik, dan profan. Ketiga penyair itu telah mencipta teks yang memiliki daya gugat tidak hanya pada para pelaku yang mengambil jalan jihat untuk melawan hegemoni kekuasaan, tetapi juga pada otoritas yang memanfaatkan ideologi untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam ketiga kumpulan puisi ini, penyair membuka ruang perenungan akan hal-hal (1) kesadaran transendensi manusia, (2) cara pandang otoritas kekuasaan terhadap perilaku jihad kaum radikal, (3) peran ulama dalam pergerakan radikalisme, (4) perkembangan radikalisme atas nama agama.
Dengan ketiga kumpulan puisi ini, para penyair memiliki peran mengembalikan kesadaran dan nalar dalam menghadapi fatwa orang-orang suci yang memperlakukan umatnya sebagai komoditas politik, demi kekuasaan. Mereka mencipta satir, simbol, dan metafora atas penyimpangan ideologi orang-orang suci dengan fatwa dan atribut keagamaan yang disandang. Mereka memberi kesadaran pembaca akan kekuasaan yang memobilisasi umat melalui kesakralan religi.
Ketiga penyair ini sadar benar akan pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan pada pembaca agar mudah ditafsirkan. Mereka telah membuka kesadaran akan kebusukan-kebusukan radikalisme di balik kedok kesakralan orang-orang suci. Mereka menawarkan cara pandang baru pada otoritas kekuasaan dan membangkitkan kesadaran deradikalisasi.
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.