Oleh S. Prasetyo Utomo
SAYA mengenal Triyanto Triwikromo sebagai seorang penyair yang memiliki kekuatan mendekonstruksi peristiwa-peristiwa kehidupan, sejarah, mitos, dan pengalaman profetik. Dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Katakomba (Beruang Cipta Literasi, 2021), ia melakukan defamiliarisasi maut dan peristiwa-peristiwa transenden. Ia tak sekadar mencipta puisi, tetapi memberi kesadaran baru akan mitos, simbol, metafora tentang maut dan peristiwa keilahian yang melingkupi masyarakat lintas zaman lintas peradaban.
Dengan buku Kematian Kecil Kartosoewirjo (Gramedia Pustaka Utama, 2015), Triyanto Triwikromo memperoleh anugerah Tokoh Seni 2015 Majalah Tempo. Ia berobsesi pada tokoh sejarah dan mencipta persepsi baru yang mengejutkan. Dalam buku kumpulan puisi Katakomba, ia berobsesi pada figur tokoh, ulama, wali dan nabi, yang didera kecemasan, ketakutan, sakit dan mati dengan segala kegaiban yang melingkupinya.
Saya melakukan penafsiran puisi-puisi dalam buku ini dengan terlebih dulu melacak makna “katakomba”. Saya temukan makna “katakomba” sebagai sebuah ruangan atau jalan di bawah tanah yang biasanya digunakan untuk keperluan religius. “Katakomba” merupakan kuburan bawah tanah yang terletak di berbagai kota Kekaisaran Roma, khususnya di Kota Roma. Penyair telah memanfaatkan diksi “katakomba” sebagai simbol untuk melukiskan peristiwa-peristiwa ketakutan, sakit, maut, dan roh dalam masyarakat multikultur. Ia telah membebaskan makna “katakomba” dari mitos agama tertentu, untuk menciptakan peristiwa keilahian yang berkaitan dengan maut.
- Iklan -
KESADARAN penyair terhadap maut dan transendensi memberi roh dalam puisi-puisinya. Dalam puisi “Sekadar Cerita”, Triyanto Triwikromo mengangkat peristiwa penderitaan, marabahaya nabi Nuh dan ancaman pembunuhan yang dialami nabi Muhammad. Peristiwa pewahyuan memberi warna puisi ini dengan diksi satire: Karena hidup memang sekadar cerita/ pernahkah kau bertanya mengapa/ tetap ada penderitaan setelah perahu Nuh/ kandas di gunung tinggi penuh marabahaya?/ Mengapa Muhammad harus dikejar/ dari gua ke gua dan hendak dibunuh/ hanya karena mewartakan wahyu/ atau apa pun yang membuat semua makhluk bahagia//. Ia memberi kesadaran pada pembaca akan hakikat hidup manusia dengan segala tragedi yang dialaminya sebagai “sekadar cerita”. Ia juga melontarkan satire tentang kesadaran manusia untuk menertawakan diri sendiri, termasuk di antaranya tragedi para nabi.
Dalam puisi “Perihal Kapal” Triyanto Triwikromo mengekspresikan perjuangan nabi Nuh dan umatnya dalam mencari keselamatan dari air bah. Ia memanfaatkan personifikasi untuk mengisahkan pengorbanan “kapal” terhadap perjuangan nabi Nuh ketika menyelamatkan satwa dan manusia. Penyair telah mengajarkan kearifan kapal dan gunung dalam menyelamatkan umat manusia pada zaman nabi Nuh: gunung ingin sekali menegur kapal/agar tak takabur. Tetapi gunung mengurungkan/ apa pun yang hendak ia katakan// Mendadak gunung terkejut/ ketika dengan santun kapal itu berbisik/ “Jangan. Jangan ceritakan apa pun/ tentang aku. Jika kau tahu apa pun/ yang telah kulakukan, rahasiakanlah.”
Dalam puisi “Obituari Syeh Siti”, Triyanto Triwikromo menuangkan gagasan mengenai ketakutan, kegetiran akan ajal, dan hal-hal yang transenden tentang Syeh Siti Jenar. Ia melakukan defamiliarisasi mitos Syeh Siti Jenar dengan peristiwa penyaliban Nabi Isa dalam larik-larik: mungkin pula kau akan menarikan ketakutanmu/ kepada riuh darah merah/ kepada riuh darah biru/ yang getir dan langu/ dan ajal/ suara gaib/ yang menjelma malaikat putih malaikat biru/selalu raib/ sebelum kusalib/ di bukit runcing/ di sesabit batu//.
Peristiwa-peristiwa transenden dan profetik mengenai maut tampak begitu pekat dalam puisi “Dunia Mustafa”. Ia memanfaatkan imajinasi dan penginderaannya untuk memberikan gambaran tentang maut, surga, neraka, dan suasana yang melingkupinya. Ia mencipta simbol dan metafora yang memperkaya tafsir puisi mengenai maut dan transendensi. Ia mencipta begitu banyak retorika, yang menggoda hati pembaca akan mitos, iman, keyakinan akan surga dan neraka: Apakah Mustafa mengenal setangkai daun surga yang tersimpan di dasar telaga?/ Apakah Mustafa telah duduk tafakur di bantaran sungai yang berkelok-kelok di neraka?/ Apakah Mustafa telah mendengar Nabi Daud bernyanyi bersama perempuan-perempuan Yahudi?/ Apakah Mustafa telah bercakap-cakap dengan tukang kebun palsu yang menjaga pintu surga?
YANG menarik dari puisi-puisi Triyanto Triwikromo adalah bagaimana ia melakukan penjelajahan peristiwa sejarah, mitos, hal-hal profetik, dan tokoh ulama untuk menemukan tema-tema yang bisa diangkatnya sebagai puisi tentang maut dan transendensi. Ia menjelajahi obsesi maut dan transendensi secara multikultur, lintas zaman, dan menampakkan kekayaan pengetahuannya tentang objek-objek yang digalinya.
Dalam puisi-puisinya bisa bermunculan peristiwa sejarah seperti pembantaian Yahudi di Auschwitz (“Kau Pernah Ketakutan Bukan”) dan keagungan Ki Ageng Pandanaran (“Kota Senja”). Ia juga mengangkat puisi dengan mitos Yudhistira (“Dongeng Para Penjudi di Las Vegas”). Hal-hal profetik digalinya dengan memunculkan kehidupan Nabi Nuh (“Perihal Kapal”) dan kisah Nabi Daud (“Dunia Mustafa”). Tokoh ulama yang menjadi obsesi penciptaan puisi adalah Hasyim Asy’ari (“Sekadar Cerita”).
Penciptaan puisi-puisi Triyanto Triwikromo membuka ruang-ruang kesadaran manusia sebagai makhluk. Ia melakukan eksplorasi terhadap tokoh-tokoh yang menyimpan kisah maut dengan segala sikap yang membuka tabir gelap kehidupan manusia.
Obsesi terhadap KH Muhammad Hasyim Asy’ari, ulama besar Rais Akbar NU, mengalirkan daya cipta puisi “Sekadar Cerita”. Makna yang terpancar di dalamnya paling memikat. Puisi ini mengantarkan perenungan saya akan surga-neraka, penderitaan nabi yang mewartakan pewahyuan, penipuan iblis dan manusia. Melalui puisi ini, ia memberi sugesti pada kita untuk memahami “cara menertawakan diri sendiri”, agar tak bodoh menjadi manusia.
Begitu juga dalam puisi-puisi lain, penyair banyak menyingkap kewalian seseorang yang bersentuhan dengan tradisi profetik. Ia menawarkan sugesti dan kesadaran manusia akan semesta, laku kehidupan, kematian, dan kegaiban yang menyelubunginya.
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes, Komisi Seni Budaya MUI Jateng. .