Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Sang Ulama Penggerak
Penulis : Khairul Jasmi
Penerbit : Republika
Cetakan : I, Agustus 2022
Tebal : xii + 184 halaman
ISBN : 978-623-279-1527
Menurut saya, karya fiksi yang berdasarkan kisah nyata biasanya menarik untuk disimak. Terlebih bila tema-tema yang diangkat oleh penulis begitu akrab dengan keseharian, sehingga kita dapat mengambil hikmah atau pelajaran berharga darinya.
Novel berjudul “Sang Ulama Penggerak” ini misalnya. Merupakan novel yang berdasarkan kisah nyata seorang pemuka agama atau ulama besar yang sangat layak dibaca dan teladani pesan-pesan positif yang disampaikan oleh penulis.
- Iklan -
Harus saya akui, menulis sebuah novel biografi seorang tokoh ulama ternama, dengan latar belakang sejarah masa silam dengan rentang tahun yang begitu panjang (di mana negeri ini masih dalam kondisi terjajah oleh bangsa lain) memang bukanlah hal yang mudah. Harus membekali diri dengan sederet referensi yang benar-benar akurat sehingga novel yang dibuat nantinya tidak asal-asalan.
Terkait kesulitan dalam menulis novel biografi, dalam kata pengantarnya, Khairul Jasmi, penulis novel ini, mengungkapkan: “Menulis novel biografi ulama besar Minangkabau bagi saya sangat berat. Entah bagaimana bagi orang lain. Karena itu, saya pontang-panting mencari data ke sana kemari: membolak-balik buku, membuka situs-situs di internet, mewawancara orang berkali-kali, dan mencocokkan data berkali-kali pula. Saya juga membalik lagi novel yang sudah saya tulis, yaitu Inyiak Sang Pejuang: Novel Biografi Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, dan Perempuan yang Mendahului Zaman: Sebuah Novel Biografi Syekhah Rahmah EL Yunusiyyah. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa novel Inyiak Parabek ini benar-benar bertolak dari fakta.”
Ada begitu banyak referensi yang diperlukan untuk menulis novel biografi ulama ternama ini. Sebagaimana diungkap oleh penulis bahwa ia telah membaca tiga buku utama. Pertama, Syekh Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan karya Subhan Afifi (NHF Publishing, 2010). Kedua, Pers Islam Minangkabau: 1 Abad Majalah Al Bajan Sumatera Thawalib Parabek (1919-2019) (Yayasan Komunitas Suara Parabek, 2019). Ketiga, tesis Jayusman pada program Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, yang berjudul Pemikiran Hukum Islam Inyiak Parabek (2000). Penulis juga membaca majalah Al Bayan Vol. 1 2020—2021, dan buku Profil Pondok Pesantren sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi.
Penulis juga membekali dirinya dengan membaca artikel “Syekh Ibrahim Musa Parabek: Ulama Pejuang, Ahli Perbandingan Mazhab” (Langgam.id, 6 Mei 2020), “Dasar-Dasar Ilmu Nahwu (Saidnazulfikar.wordpress.com, 27 Oktober 2005), “Transportasi Jamaah Haji Masa Kolonial Abad XIX” karya Iin Hindasah dan Amung Ahmad SM terbitan Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah UIN Sunan Gunung Djati (2020). Selain itu, penulis juga membaca artikel dan berita di beberapa situs, tetapi lupa untuk mencatatnya.
Semua referensi tersebut sangatlah dibutuhkan agar novel sejarah tentang tokoh ulama ternama tersebut benar-benar bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Ya, meskipun ini adalah sebuah karya fiksi, tapi karena berangkat dari kisah nyata berlatar belakang sejarah, maka sangat dibutuhkan referensi-referensi ilmiah. Artinya, tidak boleh sembarangan dalam menuliskan latar atau setting, karater para tokohnya, terlebih tokoh utama yang adalah seorang ulama.
Novel ini berkisah tentang sosok ulama, Inyiak Musa, yang tengah merasa kebahagiaan karena istrinya yang mengandung akhirnya berhasil melahirkan dengan selamat. Bayi yang terlahir dari rahim istri Inyiak Musa berjenis kelamin laki-laki. Inyiak Musa lantas menamai bayi tersebut Luthan. Inyiak Musa ketagihan menggendong Luthan. Ia membawa bayinya ke dada dan dada itu terasa hangat, sehangat dada laki-laki yang baru punya anak.
Inyiak Musa adalah seorang tokoh agama di daerahnya. Ia adalah penjaga ajaran Islam di Parebek dan sekitarnya. Begitu juga dengan kakek Luthan. Tokoh-tokoh ini ulama yang hidup di ujung jauh Perang Paderi, sebuah perang yang usai pada 1833 itu. Semangat Islam yang kafah setelah perang itu bukannya surut, melainkan kian subur.
Di Parabek, soal agama, orang tak main-main. Pada 1880-an, mendekati akhir abad ke-19 ulama-ulama gamang memandang Minangkabau. Sehabis lumat dalam Perang Paderi, abad baru mau masuk dan Belanda yang kafir telah menancapkan kukunya begitu dalam di sana. Itulah yang dirisaukan oleh Inyiak Musa. Jangan-jangan anak muda setelah zamannya akan terjerumus ke dalam dunia yang aneh seperti orang-orang Belanda itu. Inyiak Musa ingin Luthan, anak lelakinya, menjadi ulama kuat, mewarisi cita-citanya dan ayahnya (hlm. 3).
Luthan tumbuh menjadi anak yang sehat. Ia mendapat pendidikan agama dari sang ayah sejak kecil. Ketika usia Luthan 13 tahun, ia merasa sedih dan gamang karena akan dikirim oleh Inyiak Musa ke sebuah tempat yang jauh, yakni Pariaman, untuk menuntut ilmu agama lebih dalam di sana. Sementara para orang tua di daerahnya melihat tanda bahwa Luthan akan menjadi ulama besar.
Dari satu guru ke guru lain, Luthan pun diantarkan oleh sang ayah untuk menimba beragam ilmu sebagai bekal untuk berdakwah di tengah masyarakat kelak. Luthan belajar banyak tentang beragam ilmu pengetahuan dari berbagi guru dengan spesialisasi ilmu berbeda-beda. Bahkan sampai bermukim di Mekkah pula. Tentu saja, keinginan Luthan untuk menyebarkan ilmu ke masyarakat luas tak selalu mulus jalannya.
Kisah Luthan (yang merupakan nama kecil seorang ulama terkenal yang berasal dari Parabek, Sumatra Barat, yakni Syekh Ibrahim Musa) yang penuh dengan perjuangan dan tantangan dalam novel ini sangat menarik disimak dan semoga bisa membangkitkan semangat belajar agama bagi anak-anak muda zaman sekarang.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.