Oleh: Bagis Syarof
Judul Buku : Nyai Madura
Penulis : Tatik Hidayati
Penerbit : Ircisod
Tahun terbit : 2022
ISBN : 978-623-5348-17-9
Halaman : 372
Di balik laki-laki yang sukses, ada wanita hebat yang selalu mendukung di belakangnya. Begitulah kata pepatah, yang menunjukkan bahwa pasangan suami istri, tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya harus saling mendukung demi tercapainya segala tujuan.
Kata-kata tersebut, sengaja saya kutip, untuk menggambarkan kesuksesan kyai di pesantren dalam mendidik santrinya. Sampai-sampai, santri didikan kyai tersebut menjadi orang alim yang bisa meneruskan dakwah Islam yang ramatan lil alamin. Di balik dukungannya terhadap suami, nyai terkadang juga terjun langsung demi peradaban umat.
- Iklan -
Buku ini mengkaji tentang peran perempuan istri kyai (bu nyai), sebagai penyokong suksesnya peradaban pesantren dan masyarakat di Madura. Mengapa di bumi yang terkenal dengan karapan sapi atau kuliner sate tersebut, berdiri banyak pesantren besar yang banyak mencetak santri, yang kemudian menjadi pemuka agama yang menyebar di berbagai daerah.
Seperti kita tahu, pembahasan tentang pesantren cukup eksis dalam beberapa tahun terakhir. Ragam kajian dari berbagai penulis, pengamat, atau peneliti, banyak terkait peran sosial-politik para tokoh pesantren, sosial-politik kyai, teologi dan pengembangan ilmu di pesantren. Namun, ada tema yang jarang dibahas oleh mereka dalam kajian beberapa tahun ini, yaitu peran ulama perempuan (nyai) yang jarang menjadi tema pembahasan. Padahal, perannya begitu besar, dalam sejarah perkembangan peradaban pesantren.
Peran Nyai di pesantren tidak bisa dianggap remeh, bahkan sangat signifikan. Saat berkunjung ke pesantren, tamu perempuan biasanya akan ditemui oleh Bu Nyai. Dan bagi santri putri, lazimnya juga diajar oleh Nyai.
Hasanatul Jannah, dalam buku Ulama Perempuan Madura, menyatakan bahwa istri kyai juga punya peran cukup di dalam masyarakat. Bahkan ada Nyai yang tidak hanya tinggal di pesantren mengajar santri, akan tetapi juga keluar mendakwahkan Islam, seperti layaknya Kyai.
Contohnya sosok Nyai Syifak yang berasal dari Kabupaten Sampang. Selain menjadi istri seorang Kyai, aktif mengajar di pesantren, karena keilmuan beliau yang mendalam tentang usul fiqih, dan beberapa disiplin ilmu yang ada dalam kitab agama klasik, beliau juga bergerak di bidang bisnis untuk menunjang kelangsungan ekonomi pesantren.
Keberadaan ulama perempuan yang bejuang di berbagai lini, –seperti menjadi pelayan bagi suami, menjadi guru bagi santri, bahkan menggerakkan ekonomi pesantren–, adalah bukti bahwa peran Nyai, tidak bisa disepelekan dalam membangun peradaban yang baik di pesantren atau di masyarakat.
Karena sedikit kajian tentang peran nyai di pesantren, Tatik Hidayati berinsiatif menulis buku ini untuk menggali berbagai kontribusi nyai di Madura. Terutama dalam bidang dakwah, manajemen pendidikan dan organisasi, politik, dan pemberdayaan perempuan yang merupakan kontribusi yang luar biasa. Hal tersebut menunjukkan kepada publik bahwa peran nyai begitu juga signfikan dalam perkembangan perabadan pesantren atau masyarakat.
Nyai di Madura dibedakan menjadi dua. Pertama, nyai tengnga, adalah nyai yang lingkupnya hanya seputar pesantren suami (sang kyai), seperti mengajar santri, mengurusi urusan dapur, dan melayani berbagai keperluan kyai. Meskipun berjuang dalam lingkup yang cukup sempit, nyai tengnga adalah suport system bagi kyai yang berdakwah, mendidik masyarakat di luar pesantren.
Menurut Prof. Quraish Shihab, dalam membangun keluarga, harus sakinah, menciptakan ketenangan dan penuh kasih sayang. Seorang kyai, juga manusia, yang sama seperti kita. Juga butuh ditenangkan, dan disayang. Peran nyai tengnga adalah membuat kyai merasa tenang, disayang, dan nyaman, sehingga, kyai akan semakin bersemangat dalam mendidik santri serta masyarakat tentang Islam.
Kedua, nyai rajeh. Yaitu istri kyai yang mempunyai otoritas besar di pesantren. Nyai rajeh tidak melulu menjadi pengatur dapur di pesantren, mendidik santri di pesantren, akan tetapi beliau menjadi salah satu pengasuh di pesantren, menggeluti hal-hal di luar pesantren, seperti menggeluti dakwah di luar pesantren, hubungan bisnis, bahkan politik.
Peran nyai rajeh tidak hanya berkecimpung dengan santri dan kyai di pesantren, akan tetapi juga berjuang di luar pesantren untuk mendakwahkan Islam layaknya kaum laki-laki (kyai), termasuk juga memberdayakan perempuan dari berbagai keterbelakangan.
Buku ini, mengupas secara rinci tentang eksistensi perempuan di masa modern. Karya ini layak dijadikan referensi bagi perempuan-perempuan di luar sana, yang mungkin masih insecure terhadap kemampuan dirinya, masih merasa sederajat lebih rendah dari pada laki-laki, agar lebih terbuka pikirannya, bahwa perempuan juga bisa menjadi manusia yang berkualitas, setara dengan pria, bahkan berada di atasnya secara kemampuan dalam bermacam hal.
*Bagis Syarof, Mahasiswa Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bisa disapa di instagram @bagis_22)