Oleh: Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.
Penulis adalah Alumnus S-1 Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kalau kita pernah membaca karya sastra puisi yang digubah Chairil Anwar, niscaya kita akan menemukan matematika dalam sisi yang lain. Matematika yang penuh makna bagi kehidupan. Chairil Anwar bercerita tentang semesta luas dengan angka dan simbol matematika.
Chairil Anwar dalam puisinya berjudul “Sebuah Kamar” misalnya, ia memaparkan, “Sebuah jendela menyerahkan kamar ini / pada dunia // Bulan jang menyinar ke dalam / mau lebih banyak tahu. // “Sudah lima anak bernyawa di sini, / Aku salah satu!”/ …/ Sekeliling dunia bunuh diri! / Aku minta adik lagi pada / Ibu dan bapakku, karena mereka berada / di luar hitungan: Kamar begini, / 3 ´ 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!”
- Iklan -
Simbol 3 ´ 4 m dalam puisi tersebut menggambarkan kesulitan hidup, kemiskinan, kenestapaan, dan barangkali juga rasa lapar. Chairil Anwar membalik konsepsi rumus panjang kali lebar sama dengan luas untuk menjelaskan kehidupan. Dalam kenyataan, ruangan berukuran 3 m ´ 4 m memang tidak cukup luas untuk seseorang berbagi ruang hidup dengan nyawa lain.
Di puisi berjudul “Sorga” Chairil Anwar juga lebih memilih diksi tanda plus (+) daripada menggunakan kata ”dan”. “Seperti ibu + nenekku juga / tambah tujuh keturunan yang lalu / aku minta pula supaya sampai di sorga / jang kata Masyumi + Muhammadyah bersungai susu / dan bertabur bidari beribu”. Dalam puisi ini, tanda ”+” berfungsi memberikan kedudukan yang sama pada ibu dan nenek serta Masyumi dan Muhammadiyah.
Sangat Dekat
Sastra puisi yang digubah oleh Chairil Anwar, memberikan pemahaman bagi kita bahwa matematika sangat dekat dengan kehidupan. Bahkan, aktivitas sehari-hari kita dalam berbahasa, berpikir, dan bertindak adalah manifestasi matematika yang penuh simbol dan angka-angka.
Ibu-ibu menghitung uang belanja, pedagang menimbang buah dan sayur, anak-anak menghitung koleksi kelereng. Dengan spontan mereka berucap; ditambah, dikurangi, dibagi, dikali, selisih, hasil, jumlah. Artinya, angka-angka dan simbol-simbol ini telah terdefinisikan dalam lisan, bahkan jauh-jauh hari sebelum anak-anak benar-benar mendaftar dan belajar matematika di sekolah.
Meski demikian, banyak orang yang masih menganggap matematika itu ilmu yang sulit dan rumit. Sangat sedikit pelajar yang menyukai matematika. Ini tergambar dari hasil matematika di rapor mereka yang rata-rata menunjukkan nilai yang tidak bisa dibanggakan. Parahnya, orang tua seringkali ikut cemas secara berlebihan. Akibatnya, tidak bisa matematika, seolah menjadi persoalan kian menakutkan. Pelajar takut ditekan orang tua dengan bimbingan belajar matematika super ketat yang memusingkan kepala.
Beberapa kasus di sekolah, menunjukkan banyak anak-anak sulit terbiasa dengan soal matematika yang bentuknya cerita. Ini karena soal matematika itu biasanya berupa angka dan simbol. Begitulah pikiran yang sudah terpatri di diri pelajar. Dan, jika kita mau mengamati bahan ajar matematika kita, memang sedikit sekali yang bentuknya soal cerita. Bila ada soal cerita, kasusnya juga kurang menarik. Kebanyakan adalah aplikasi rumus secara langsung.
Padahal, matematika jika dibuat dengan narasi yang bagus dan menarik, tentu tidak akan bernasib demikian. Novel Yoko Ogawa berjudul The Housekeeper and the Professor (2016) misalnya, meskipun di sana banyak terdapat simbol dan angka matematika, novel itu tetap menarik untuk dibaca. Novel ini mengisahkan tentang pertemuan pengurus rumah beranak satu dengan profesor matematika berusia 64 tahun.
Artinya, jika kita menghendaki anak-anak dan pelajar Indonesia pandai bermatematika, maka pemerintah maupun praktisi pendidikan perlu lebih mendekatkan matematika di kehidupan mereka. Bisa dengan mengarang puisi, novel, ataupun buku menarik yang sekaligus mengasah pikiran-pikiran matematis. Dengan demikian, secara tidak sadar, ketika anak-anak membaca karya tersebut, mereka juga akan belajar matematika. Mereka akan memahami matematika bukan hanya sebagai angka dan simbol belaka. Mereka akan memahami bahwa matematika adalah satu dengan kehidupan yang tak perlu ditakuti. Hingga akhirnya, persoalan mengenai matematika yang selama ini menghantui Indonesia, akan tercerabut dengan sendirinya. Wallahu a’lam.