*) Oleh : Tjahjono Widarmanto
(*)
Kawan,
- Iklan -
Kalau kalian menanyakan: mengapa saya memilih jadi penyair?
Kalau kalian bertanya: tenung apa yang membangkitkan daya pikat dalam puisi, sehingga masih saja ada orang yang nekat jadi penyair hingga lahir dan abadi apa yang kalian sebut sebagai puisi?
Atau kalian bertanya; apa sebenarnya yang dijanjikan dalam kerja menulis puisi?
Maka, sebenarnya kalian bertanya tentang sebuah misteri. Dan yang bernama misteri selalu saja merupakan sebuah teka-teki dengan seribu kemungkinan jawaban.
Mengapa saya menulis puisi? Pertama-tama mungkin karena saya terpesona. Terpesona oleh tenung kata-kata. Seorang penyair pasti jatuh cinta, kasmaran, pada kata, bahkan amat bergantung pada kata. Kata merupakan senjata dan mesiu bagi seorang penyair. Setiap penyair setiap saat selalu bergelut, mencari, membongkar dan menghisap kata-kata. Penyair yang berhasil adalah penyair yang berhasil memberdayakan kata-kata dan menjinakkannya menjadi sebuah konstruksi makna yang hidup dan berkobar seperti api.
Eksploitasi kata merupakan kerja panjang bagi penyair. Proses pencarian dan eksploitasi kata-kata inilah yang menjadi taruhan keperkasaan penyair. Setiap penyair tak boleh lelah sehingga berhenti pada satu titik pencarian atau satu eksploitasi saja, namun harus senantiasa berada dalam proses pencarian dan eksploitasi yang terus menerus. Penyair ibaratnya adalah sebuah jeda yang sekejap akan melangkah lagi ke titik yang lain, berguling ke seberang lain atau ulang-alik pada berbagai titik. Maka, sebuah puisi merupakan wujud pencarian dari berbagai titik, puisi pun merupakan bahasa yang menjelma berbagai keriuhan, simpang-siur, silang-sengkarut dengan berbagai bentuk frase, simbol, dan kata yang berkelindan satu dengan yang lainnya.
Kata yang berkelebatan ke berbagai titik itu akan membangun susunan suatu bangunan imaji yang disebut puisi. Sesungguhnya puisi itu adalah bangunan imaji yang utuh. Keutuhan bangunan yang dibangun dengan kata-kata ini akan menjadi aspek penentu bagus tidaknya, mampu tidaknya menghadirkan sebuah imaji yang kuat, jernih, baru dan menyedot.
Imaji puisi bisa menjadi kacau dan hancur bila seorang penyair tidak mampu memilih dan membongkar kata, frase, klausa atau kalimat yang mampu menciptakan gambaran kongkret di benak pembaca. Kegagalan ini menyebabkan puisi tak dapat dinikmati, gelap bahkan gagal menyampaikan sesuatu pada pembaca.
Godaan yang paling kuat bagi dan berbahaya bagi para penyair adalah dorongan untuk mencipta puisi berangkat dari keinginan memunculkan estetika tertentu. Godaan ini menjadikan penyair tidak dapat membebaskan dirinya atau gagal melepaskan dirinya dari sebuah style aliran estetika tertentu. Jika seorang penyair saat mulai menuliskan baris-baris puisinya, ia sudah mulai berpikir untuk menjadikannya puisi harus bercorak pada style tertentu; misalnya, harus berwarna surealisme, dadais, simbolis atau yang lain, maka pada saat itu ia telah terperangkap pada sebuah jebakan estetika. Eksploitasi bahasa dan katanya menjadi sangat terbatas dan terbelenggu. Imaji yang dibangunnya tidak bisa hadir secara spontan, tidak bisa utuh, dipaksakan, dan gagal membangun komunikasi dengan pembacanya.
Di sisi lain ada jebakan yang lain. Jebakan tema. Jebakan ini muncul saat ada keinginan yang kuat dari penyair untuk bisa berkomunikasi dengan pembacanya. Keinginan untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi sejelas-jelasnya pada pembaca membuat dirinya gagal mengeksploitasi bahasa sebagai sebuah seni. Yang muncul pada puisi-puisi semacam ini adalah sederetan kata-kata klise yang sudah usang, kalimat-kalimat curhat yang nyinyir, atau sekedar ”berita” yang digunakan tanpa upaya rekonstruksi pemaknaan yang mampu melahirkan arti baru .
Penyair yang berhasil harus mampu berdiri di antara dua hal yang tarik-menarik ini. Dia tidak boleh mengabdi pada estetika atau mendewakan komunikasi. Pada situasi demikian, estetika bukanlah sebuah kitab suci yang mutlak dihikmati. Juga tidak dengan komunikasi.
Puisi senantiasa hadir sebagai sebuah dunia yang samar, bagai sebuah ruang kosong yang setiap orang (juga pembaca) dapat setiap saat menziarahinya dan setiap kali pula dapat menandainya, menafsirkannya, bahkan mempertanyakannya, seperti mereka memaknai, menandai, menafsirkan, dan menanyai masa silam dan harapan masa depannya.
Pada situasi demikianlah puisi merupakan sebuah jagad tempat pertemuan. Ruang yang setiap saat siapa saja dapat mempergunakannya untuk berdiolog tentang harapan-harapan, sekedar menatap, menyumpah serapah, menujum, membangun ingatan-ingatan, keperihan sejarah, juga solilokui.
Saat seorang penyair mencari dan mengeksploitasi bahasa dan kata-kata, kadang ia mengeluh bahwa semua ruang eksploitasi bahasa dengan segenap eksperimentasinya sudah dikuasai dan di jelajahi para penyair pendahulunya. Ia merasa tidak mendapatkan ruang kreatitivitas dan orisinalitas.
Barangkali benar kata Nirwan, bahwa tak seorang penyair pun mampu menciptakan lambang-lambangnya sendiri. Sebuah puisi adalah organisme yang melayang-layang dalam serumpun populasi yang berkelebat dalam habitat-habitat, melalang buana dalam ekosistem lambang-lambang, berevolusi terus menerus. Tak bisa : kun fayakun !
Maka setiap penyair tak pernah mampu menghitung dan melunasi hutang-hutangnya pada penyair lain. Namun, acap kali dalam melunasi hutang-hutangnya itu setiap penyair akan dapat menampilkan dan menunjukkan titik-titik dan lobang yang berbeda , seperti daun pintu dan jendela dengan beraneka model dan motif. Dari sana semuanya bisa melompat masuk dan bermain melalui jendela itu.
Kawan,
Puisi atau dunia sastra pada umumnya, jelas tidak menjanjikan apa-apa. Tidak untuk popularitas, apalagi finansial. Kalau seseorang menulis puisi bertujuan ingin tenar, dikenal dan diperbincangkan setiap orang, maka ia akan kecewa, putus asa dan mungkin segera bunuh diri. Seorang penyair bukanlah seorang artis bahkan jauh dari dunia selebritis. Apalagi kalau berorientasi pada kebutuhan finansial. Puisi jauh dari impian semacam itu.
Seseorang saat memasuki dunia kepenyairan, ia ibarat seorang serdadu yang menghamba pada kegelisahan abadi yang dilahirkan melalui rahim kata-kata. Ia akan memasuki wilayah sunyi, dunia yang terpecah belah, dunia yang penuh kemungkinan-kemungkinan. Oleh sebab itu tak gampang menjadi penyair. Kata Zawawi Imron; menulis puisi itu hal yang mudah, namun menjadi penyair itulah yang sulit. Dengan lebih bombastis, almarhum Kriapur pernah berkata bahwa seorang yang bercita-cita jadi penyair harus berani menjilat aspal panas.
Lepas dari bombastisme semacam itu, para penyair sendiri membenarkan pandangan itu. Menjadi penyair tak sekedar menyangkut “jam terbang”, lebih dari itu seseorang yang benar-benar terpanggil menjadi penyair akan memperlakukan puisi sebagai bagian dari hidupnya bahkan menganggap puisi sebagi roh kehidupannya. Oleh karena itu tak berkelebihan kalau dengan angkuhnya Chairil berucap, yang bukan penyair dilarang ambil bagian!
Sejak berabad-abad lalu, puisi dianggap sebagai sesuatu yang istimewa bahkan nyaris suci. Di India, puisi dianggap seperti kitab suci dan disebut sebagai parajanana; penjaga kehidupan. Puisi tak hanya ditulis sebagai ekspresi personalitas yang tragis, akumulasi dari kekecewaan dan keterputusasaan atau narsis yang berlebihan, namun menjadikan ekspresi personalitas yang tragis dan segala keterputusasaan menjadi cermin untuk berkontemplasi. Segala bentuk tragedi, kekecewaan, keberputusasaan, dan segenap narsis yang berlebihan digunakan puisi untuk menggali kedalaman diri manusia sendiri. Menangkap sosok manusia yang utuh sekaligus membangkitkan pertanyaan gelisah yang tiada henti; mengapa ia harus dirumuskan dan tugas apa yang diemban oleh kehadirannya.
Lebih detil, Marcuse mengungkapkan bahwa puisi merupakan ungkapan aleinasi manusia terhadap masyarakat, alienasi terhadap dirinya sendiri, menampakkan kesadaran akan ketidakbahagiaannya, kegamangannya menghadapi dunia yang terpecah belah, membersitkan kegelisahannya menghadapi kemungkinan-kemungkinan tak terduga, harapan-harapan yang diingkari. Bahkan juga mengungkapkan dimensi manusia dan alam yang tertekan dan tertindas. Mentransendir kenyataan-kenyataan pahit yang ada.
Penyair akan terus dilahirkan, puisi akan terus ditulis jika masih ada manusia-manusia yang gelisah. Puisi tetap abadi jikalau manusia masih melahirkan pertanyaan-pertanyaan, jika manusia masih meragukan kehadiran dirinya sendiri. Puisi ditulis bukan sekedar menyingkapi hal-hal yang pragmatis, namun untuk menyatukan serpihan-serpihan eksistensi manusia sekaligus menegaskan koneksitas manusia dengan dunianya.
Mengapa puisi dan bukan genre sastra yang lain? Dengan puisi bisa lebih leluasa memasuki berbagai macam fakta dan fenomena secara lebih personal, subjektif dan intim. Puisi bisa merayap ke mana-mana. Bisa merambah dunia paling sudut sekalipun. Bisa mengisi setiap ruang dengan lambang-lambang yang saya maui, saya ciptakan sendiri. Puisi, bahkan bisa merembes dalam bilik-bilik rahasia milik Tuhan seperti yang dilakukan Rumi, Jenar, Rabiah Al Adawiah, Al Halaj atau Iqbal.
Pendek kata, hanya dengan puisi saya bisa leluasa, merdeka bahkan sampai pada tahapan paling ekstrem untuk menjejalkan symbol-simbol ke dalam segala peristiwa, tauhid, nilai, realitas atau ide-ide bahkan ideologi-ideologi besar dari sudut paling subjektif dan personal.
Kawan,
Sekali lagi, penyair adalah karib dari sebuah kegelisahan. Jalan penyair adalah jalan yang penuh keresahan, jalan yang ditumbuhi onak dan belukar pertanyaan-pertanyaan. Seorang penyair tak hanya sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan, namun juga melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri atau akan menghantuinya sepanjang tidur dan jaganya.*****
*) Penulis dalah penyair dan guru yang tinggal di Ngawi