*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
“..Sumpah Pemuda merupakan
formulasi paling tepat kebangsaan Indonesia”
- Iklan -
(Mohammad Roem)
Sembilan puluh dua tahun lampau, mereka, anak-anak muda itu, datang dari berbagai penjuru, berbeda suku, lain agama, berbeda bahasa, dan berbeda budaya namun merindukan cita-cita yang sama. Para belia ini merupakan kader-kader terbaik dari berbagai organisasi pemuda kedaerahan, seperti Jong java, Jong Sumatra, Jong Bataks, Boedhi Oetama, Jong Ambon, Jong Cilebes, Sarikat dagang Islam, Perkoepoelan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Soenda, dan masih banyak lagi.
Pada mulanya mereka dengan perkumpulannya bergerak di urusan sosial, budaya dan ekonomi namun kemudian mereka mengembangkannya pada kesadaran yang sama tentang kebebasan dari penderitaan dan inspirasi keadilan. Lambat laun mereka membangun imajinasi yang sama tentang ‘bangsa, persatuan dan kemerdekaan’. Mulailah mereka, di usia sangat muda itulah berangan-angan, membayangkan, mengimajinasikan sebuah bangsa dan tanah air. Heroisme anak-anak muda itu kelak akan selalu disebut- di bulan Oktober, –tepatnya pada setiap 28 Oktober dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda. Momentum inilah kelak dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai gerakan dan peristiwa yang menjadi fondasi Indonesia sebagai bangsa yang utuh.
Sebagai sebuah peristiwa bersejarah, Sumpah Pemuda tidak lahir dan hadir begitu saja, tidak asal jatuh dari langit, tetapi memiliki mata rantai yang panjang. Mata rantai yang panjang itu berawal sejak tahun 1908-an yang disebut-sebut sebagai era kebangkitan. Di era itu kita kenal percik-percik keinginan dan benih cita-cita untuk memiliki bangsa negara yang berdaulat dimulai. Nama-nama seperti Tjokroaminoto, Soewardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dr. Soetomo, Doewes Dekker, Tan Malaka, Soekarno Hatta, Moh. Yamin, Tarbani Soerjowitjitro, Kartosoewirjo, Semaun, Sutan Takdir Alisyahbana, Army Pane, Sanusi Pane, Agoes Salim, Syahrir, Soegondo Djojopoespita, Sartono, AIZ Mononutu, Amir Syarifuddin, Soetjatin, Adinegoro, Bahder Johan, Soemarto, Siti Sundari, WR.Supratman, Natsir, Soekiman Wirjosandjojo, Sukarni, Iwa Kusuma Sumantri, dan lain-lain tercatat sebagai tak hanya cikal bakal namun kelak jadi lokomatif pendorong nasionalisme Indonesia.
Gelombang pemikiran para pencetus gerakan nasionalisme 1908 ini mencapai titik gairah di tahun 1925, saat para pemuda yang kebetulan belajar di Nederland melebur dalam Perhimpunan Indonesia dan menerbitkan sebuah manifesto politik. Monifesto ini merupakan kali pertama yang berbicara dengan tegas dan lugas tentang kemerdekaan, persatuan, persamaan dan persaudaraan. Orientasi kedaerahan dan primordialisme ditinggalkan dalam manifesto yang kelak disebut sebagai Manifesto 1925.
Manifesto 1925 ini dengan cepat bergaung di saentero Nusantara ketika dipublikasikan di sebuah majalah bertajuk Indonesia Merdeka. Isi manifesto ini menyangkut sikap tegas berpolitik para pemuda, yaitu menuntut pemerintahan yang dipilih mereka sendiri, memperjuangkan pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan dari pihak manapun, dan keharusan persatuan yang kukuh dari berbagai unsur rakyat untuk mencapai tujuan berbangsa. Manifesto ini menjadi sangat penting dan strategi bagi pergerakan kaum pemuda karena di dalamnya terdapat tiga prinsip dasar yaitu unity (persatuan), fraternity (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan).
Manifesto 1925 ini pun menjadi pemantik yang dahsyat dengan cepat menginspirasi para pemuda dari berbagai organisasi dan wilayah untuk bertekad bulat menyelenggarakan Kongres Pemuda I di tahun 1926 yang digelar di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei 1926. Moehamad Tabranilah yang menggagas kongres itu, yang kemudian mengantar sekaligus landasan kongres pemuda berikutnya di tahun 1928 yang monumental itu.
Dalam laporan kongres yang berjudul Verslag van Het Eerste Indonesisch Jeugdcongres (Laporan Kongres Pemuda Pertama) yang diterbitkan panitia kongres (sayang sekali, dokumen penting ini kemudian dirampas dan dimusnahkan Belanda) disebutkan tujuan kongres sebagai “Menggugah semangat kerjasama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah air kita, supaya dapat mewujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia, di tengah-tengah bangsa di dunia.”
Dalam Kongres Pemuda I itu dibentangkan makalah-makalah berbagai persoalan yang bersangkut paut dengan persoalan kebangsaan. Di antaranya, Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia, Peranan Agama dalam Gerakan Nasional, Masa Depan Bahasa-bahasa Indonesia dan Kesusatraannya, Mendorong Perluasan Bahasa Indonesia, Kebudayaan Indonesia, Menuju Persatuan Indonesia dan sebagainya. Kongres Pemuda I itu tentu saja sangat heroik mengingat pemerintah kolonialisme Belanda sangat antipati dengan istilah ‘merdeka, nasionalisme, dan persatuan’. Pada Kongres pemuda I ini masih digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, namun dalam kongres ini pula mulai diwacanakan perlunya penggunaan bahasa persatuan. Namun Kongres Pemuda I ini belum merumuskan bagaimanakah wujud bahasa persatuan itu.
Setelah Kongres Pemuda I tersebut, api gelora nasionalisme semakin merambat ke mana-mana. Para pemuda dengan berbagai organisasinya semakin berani dan tak sungkan-sungkan lagi melakukan berbagai lintas pertemuan bahkan rapat-rapat terbuka. Alhasil, pada puncaknya, dua tahun setelah itu digelar kembali Kongres Pemuda II bertempat di Gedung keramat Raya 106 Jakarta.
Pada Kongres Pemuda II ini, dipilih ketua sidang/kongres yaitu pemuda Soegondo Djojopoespita. Adapun sekretaris kongres adalah Moh. Yamin.Sebelum sidang dibuka oleh Soegondo, disampaikan lebih dahulu ambutan ketua Partai Nasional Indonesia Soekarno dan dibacakan pidato politik Tan Malaka.Setelah mengucapkan selamat datang pada sekitar seribu delegasi yang datang, Sogondo langsung membentangkan uraian sejarah pemuda pada zaman itu dan masa-masa sebelumnya.
Kongres Pemuda II ini pun berjalan dengan heroik di bawah tekanan pemerintah kolonial Belanda yang masih sepenuhnya menguasai tanah jajahannya. Para polisi Belanda mengawasi kongres ini selama 24 jam. Beberapa kali terjadi insiden ketika para polisi Belanda memprotes digunakannya kata-kata ‘merdeka”, bahkan sempat ricuh saat polisi-polisi Belanda meminta Soegondo mengeluarkan semua pemuda dalam rapat itu. Namun Soegondo menolak permintaan tersebut dan para pemuda dalam kongres tersebut tetap nekat mengajukan gagasan yang berani yang bersangkut paut dengan ‘kemerdekaan dan kenusabangsaan’. Bahkan Indonesia Raya untuk menyiasati polisi Belanda yang alergi terhadap kata-kata ‘merdeka’, diperdengarkan tanpa lirik hanya dengan gesekan biola penciptanya, WR. Supratman.
Dalam Kongres pemuda II ini Moh. Yamin selain merumuskan pikiran para pembicara kongres, ia pun menyampaikan pemikirannya dengan judul “Persatuan dan kebangsaan Indonesia”. Pidato Yamin inilah yang menggiring para pemuda peserta kongres untuk berikrar bersama. Ia pulalah yang menuliskan teks Sumpah Pemuda, yang teks itu menegaskan tekad para pemuda untuk menanggalkan watak kedaerahannya mereka dan melebur pada cita-cita persatuan Indonesia untuk menuju ke arah kemerdekaan. Ikrar bersama, yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda ini, oleh Bung Hatta disebut sebagai “sebuah letusan atau ledakkan sejarah!”.
Ledakkan sejarah yaitu sumpah pemuda itu secara lengkap berbunyi:
“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Sumpah Pemuda itu setelah diikrarkan bersama oleh para peserta kongres, kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Moh. Yamin. Sejak itulah Sumpah Pemuda menjadi momentum paling bermakna dalam pembentukan identitas Indonesia sehingga tepatlah jika Mohammad Roem menyebutnya sebagai ‘formulasi paling tepat kebangsaan kita’.
Kini, setelah 92 tahun lalu diikrarkan, perlu kita hikmati kembali Sumpah Pemuda, seperti pesan Bung Karno: “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda!” Api Sumpah Pemuda memang penting kembali kita gelorakan ditengah-tengah ancaman politik identitas yang acap kali bermunculan mengancam integritas kehidupan berbangsa kita.
*)Tjahjono Widarmanto, penulis, sastrawan dan guru SMA 2 Ngawi, yang tinggal di ngawi.