Oleh: Tarmidzi Ansory*
Pernikahan adalah suatu kesunnahan bagi mereka yang sudah mampu baik secara lahiriah ataupun batiniah. Pernikahan adalah sesuatu resepsi yang sangat sakral karena menyangkut hajat atau menyatukan hubungan kehidupan dua insan dari kedua keluarga mempelai,memperbanyak keturunan serta membina keluarga bahagia yang menjadi idaman atau keinginan dari seluruh rangkaian adanya dilaksanakannya sebuah pernikahan.
Kalau dahulu kala, saat agama Islam masih belum memasuki bumi nusantara, pernikahan juga berfungsi sebagai media untuk menyebarkan paham ajaran agama Islam. Selain dari jalur perdagangan dan dakwah. Biasanya dilakukan oleh para saudagar timur tengah terutama Negara Arab Saudi, Yaman dan lainnya. Kini karena sudah mengikuti seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman perihal sebuah pelaksanaan resepsi seakan berubah dengan sendirinya elastis menyesuaikan dengan keadaan zaman dan tujuan keperluan.
Beberapa opini dan paradigma yang berkembang terdengar menyelimuti ruang lingkup kehidupan interaksi masyarakat. Pernikahan bukan hanya identik dengan sebuah kesunnahan semata yang menjadi anjuran oleh agama. Sebagaimana hadist nabi, Annikahu sunnati faman rogiba an-sunnati falaysa minni. Akan tetapi juga tergerus dengan realita yang terjadi dilapangan yakni adanya dorongan atau inisiatif dari pihak keluarga yang ingin menikahkan anaknya meski kadang masih belum waktunya. Tetap saja orang tua tetap memaksakan kehendaknya bisa jadi dikarenakan beberapa kepentingan atau tujuan terselubung yang ingin segera tuntas ditunaikan.
- Iklan -
Pertama dikarenakan terkadang orang tua khawatir terhadap keberadaan anaknya takut salah pergaulan dalam kehidupan yang nantinya khawatir terjerumus ke jurang perzinahan dan prilaku menyimpang lainnya. Apalagi memasuki zaman modernisasi ini alat media mengarah penyimpangan pergaulan demikian sangat beragam banyak pilihannya. Entah apilikasinya bisa secara terjun langsung yaitu dengan bergaulan dengan pertemuan, ataupun secra tidak langsung contohnya dengan memanfaatkan kecanggilan media sosial bisa chatting, video callan dan lainya. Yang mana secara otomatis pihak keluarga ketika anaknya sudah terjerumus ke dalam pergaulan bebas melabrak aturan tidak taat baik menurut aturan secara bangsa Negara yang tertuang dalam undang-undang ataupun secara hukum peraturan agama. Berupa akan merasakan dampak sosial malu juga. Kedua mirisnya ada sebagian keluarga yang khawatir sehingga bersifat apatis terhadap menanggung, membina, mengayomi kehidupan anaknya, dari kepentingan tersebutlah kemudian muncullah keinginan segera menikahkan anaknya karena mereka ingin lepas tanggungan.
Dalam artian mereka mempunyai asumsi bahwa seseorang jika sudah berkeluarga maka secara otomatis untuk kehidupan nya sudah di tangguhkan kepada mereka berdua hususnya sosok suaminya. Padahal yang namanya anak sampai kapanpun orang tua tidak akan lepas tanggungan darinya. Meski sudah berkeluarga tidak serta merta langsung dilepas begitu saja. Jadi yang namanya saran baik berupa masukan atau nasehat orang tua, masih sangat diperlukan dalam rangka menjalani hiruk pikuk kehidupan yang penuh lika-liku beserta tantangan.
Ketiga biasanya lagi disebabkan dengan keberadaan tradisi yang berkembang, mendarah daging dan seperti sudah menjadi kewajiban dalam tatanan sosial kehidupan masyarakat. Jika tidak mengikutinya bisa jadi dapat sanksi sosial yang secara otomatis menimpa orang bersangkutan, contohnya seperti tradisi pertunangan dilakukan sejak dini yang diterapkan oleh sebagian daerah di Pulau Madura, mereka menjodohkan anaknya bukan menunggu setelah menginjak dewasa, di usia dini saja yang status pendidikannya masih TK (Taman Kanak-kanak) terkadang ada yang sudah ditunangkan.Sehingga karena lamanya pertunangan, Nantinya juga bisa meredupsi waktu mereka dalam sebuh pembelajaran. Banyak yang belum bisa lulus sekolah karena sudah terpaksa menjalani perkawinan.
Otomatis jangka belajar dari mereka pun terbatas, kadang hanya lulus Sekolah dasar (SD) sudah dinikahkan dan seterusnya. Padahal pemerintah sudah mewajibkan belajar atau yang dikenal dengan akronim “Wajar” kira-kira minimal Sembilan tahun lamanya. Jika ditarik ke dalam perintah Agama tidak terbatas waktunya. Seperti kutipan hadist “Mencari ilmu dari keluar kandungan hingga liang lahat”. Maka anjuran pemerintah kepada warga negaranya yang melangsungkan akad perkawinan minimal sudah berumur Sembilan belas Tahun, dikira sudah baik.
Di sisi lain pula, jika perkawinan dini tetap dilakukan juga akan berdampak terhadap potensi kematian bayi yang dilahirkan. Selain itu pula, dikhawatirkan pasangan yang melansungkan akad pernikahan dini kurang ilmu pengetahuan. Akibatnya dapat berpengaruh terhadap pengayoman, pendidikan kepada sang anak nanti. Padahal orang tua adalah sekolah pertama bagi para anaknya. Dari sanalah ilmu pertama yang dapat di ambil. Mulai dari ilmu interaksi social, kreatifitas didikan.
Maka pemerintah sebagai bentuk antisipasi perkawinan dini ini yang dapat mengurangi jangka waktu belajar dan problematika lainnya. Kemudian menciptakan sebuah undang-undang Bab II pasal 7 ayat satu, menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur Sembilan belas tahun dan pihak perempuan mencapai usia enam belas tahun. Walaupun akhir-akhir ini untuk sarat mempelai perempuan sama minimal berusia setara yakni Sembilan belas tahun juga.
Oleh karena itu yang namanya perkawinan dini sangatlah disayangkan apabila terus dilestarikan. Karena dapat mencegah atau meredupsi waktu seseorang dalam lamanya proses belajar. Meski sebenarnya jangan jadikan alasan menikah itu bukan alasan untuk berhenti belajar. Namun secara tidak langsung telah membuyarkan fokus antara menjalani kehidupan dalam kekeluargaan dengan kewajiban menunaikan belajar untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Wallahu A’lam
*Pengajar SMA Al-Miftah dan Staff Stidkis. Berkhidmah di ISNU Pamekasan.