Oleh : Fathorrozi
“Menulislah, suaramu takkan padam ditelan angin, abadi, sampai jauh di kemudian hari!” demikian pesan Pramoedya Ananta Toer sebagaimana dikutip oleh Kang Maman Suherman. Kalimat pemicu semangat menulis tersebut, akhirnya menjadi modal inspirasi terbitnya buku Kang Maman yang berjudul Aku Menulis Maka Aku Ada. Selain alasan tersebut, Kang Maman tetap terjun di dunia tulis-menulis hingga sekarang, sebab dukungan dan mewujudkan nasihat ibunya.
Dalam kata pengantar bukunya yang ke-24 itu, Kang Maman mengungkap bahwa buku tersebut lahir dari nasihat ibunya, “Bacalah dan tulislah! Jika kau bisa, dan kuyakin kau bisa, ajak dan ajari juga orang lain untuk bisa menulis dan melahirkan buku. Mengabadilah!”
- Iklan -
Ia menambahkan, masih terngiang di telinga dan batin Kang Maman nasihat ibunya, “Almarhum bapakmu sudah mengenalkan bacaan kepadamu sejak umur 3 tahun, dan kamu selalu bahagia kalau dikasih buku. Supaya bapakmu bahagia di alam kuburnya, jangan berhenti menulis buku, melanjutkan iqra, bacalah, lalu tulislah seperti yang selalu diajarkan dan dikatakan bapakmu dulu. Dengan menulis buku, menyebarkan ilmu, dan mengabadikan pemikiran, bukan cuma bapak dan ibumu serta keluargamu yang bahagia, tapi juga orang lain. Seperti halnya kamu bahagia membuka lembar demi lembar kitab di hadapanmu, begitu pula dengan orang lain.”
Apa yang telah dilakukan oleh Kang Maman ini, tidak lain merupakan bentuk dedikasi dengan motif demi keabadian, sebagaimana slogan yang kerapkali didengungkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Tidak sedikit pula penulis yang terus menebar tulisannya ke berbagai media tidak dengan maksud tersebut, bukan demi keabadian. Mereka menuangkan segenap pemikiran dalam sebuah tulisan, lalu dikirim ke beberapa media dengan motif untuk memenuhi kebutuhan atau bertahan hidup.
Konsinten menulis sebab ingin tetap survive ini tidaklah salah. Banyak penulis bahkan tokoh terkemuka yang mengungkap gagasannya, lalu menyerahkan ke media incarannya untuk dimuat, kemudian mereka menikmati honorarium yang diperoleh dari media tersebut sebagai bayaran. Di antara tokoh tersebut adalah Mahfud MD yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koodinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.
Aguk Irawan MN, penulis novel best seller “Penakluk Badai” itu menulis novel biografi Mahfud MD dengan tajuk “Cahayamu Tak Bisa Kutawar”. Dari buku terbitan Ar-Ruzz Media tersebut, tersingkap jelas betapa aktivitas menulis telah mampu mempertahankan hidup Mahfud MD semasa sekolah di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta, dan bisa memenuhi kebutuhan hidup saat baru menjalani rumah tangga bersama istri tercinta, Zaizatun Nihayati.
Semasa di PHIN Yogyakarta, Mahfud MD seringkali kelaparan dan kekurangan bekal. Rasa lapar itulah yang menuntut dirinya untuk memutar otak bagaimana bisa menghasilkan uang untuk makan. Maka, setiap malam ia habiskan waktunya untuk menulis artikel. Beberapa tulisan ia kirim ke media massa lokal, namun media belum bisa memuatnya. Kembali ia mencari ide untuk menulis.
Di tengah keheningan malam, imajinasi Mahfud berburu tema. Ia ambil kertas dan pena. Lalu ia tulis paragraf pertama hingga menjadi beberapa lembar. Langkah selanjutnya, ia mencari pinjaman mesin ketik. Kadang ia mengunjungi kos kakak-kakak mahasiswa yang punya mesin ketik atau bergilir meminjam mesin ketik milik sekolah yang memang disediakan untuk keperluan Keluarga Siswa Pendidikan Hakim Islam Negeri (KS-PHIN) dalam membuat surat-surat juga membuat majalah dinding.
Mahfud yakin suatu saat media akan mencintai tulisannya. Kalau sementara ini mereka belum menerima tulisannya karena memang mereka belum mengenal dirinya. Beberapa minggu kemudian di kios penyewaan bacaan, ia mendapati majalah Vista yang baru. Sontak ia sangat girang. Pengalaman pertama namanya tercantum di majalah nasional. Rasa bangga menyembul hingga ke ubun-ubun. Bayangan kiriman honor via wesel pos hinggap di otaknya.
Honor dari majalah tersebut ia gunakan untuk keperluan sehari-hari. Dan demikian seterusnya. Mahfud tiada henti menemani senyap malam dengan pena dan kertas. Lalu dikirim ke media massa. Kemudian dimuat dan dapat honor. Honornya dipakai untuk bertahan hidup. Begitu perputaran waktu dan keuangan Mahfud MD. Di masa muda inilah ia menorehkan penanya, tulisannya mulai akrab di media, seperti Kedaulatan Rakyat, Muhibbah, dan Bernas.
Dan ketika merajut biduk rumah tangga barunya pun Mahfud tidak lepas dari kekurangan. Bahkan, mertuanya pernah sedikit marah akibat kontrakan yang dipilih Mahfud terlalu sederhana. Kurang layak untuk mereka huni. Dengan status masih mahasiswa, Mahfud belum punya pekerjaan tetap. Ia hanya mengandalkan pemasukan dari honor tulisan. Maka, ia bersama istrinya mengakali kebutuhan hidupnya dengan jalan hidup berhemat. Bentuknya mereka masak sendiri, makannya di rumah, menu masakan dibuat sederhana, dan lauknya tahu tempe.
Zaizatun Nihayati memasak dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Lauknya sangat sederhana, tahu tempe. Sayurnya kacang panjang, kangkung atau bayam. Kalau ada uang lebih, menunya terkadang ditambah ikan atau daging. Biasanya, pada saat itu tulisan Mahfud telah dimuat di media nasional dan lokal. Sebagai istri, ia memiliki spirit dalam memasak agar Mahfud sehat, bahagia, selamat, dan terus semangat dalam mencari nafkah untuk keluarga.
Tidak hanya Mahfud MD, masih banyak lagi penulis lain yang menceburkan dirinya ke dunia tulis-menulis sebab “lapar”. Anwar Kurniawan, misalnya. Ia merespons berbagai peristiwa yang seolah membombardir lini masa untuk “mengkapitalisasinya” dengan alasan yang cukup pragmatis: survival. Dengan menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi, penulis muda produktif ini pun tetap bisa melanjutkan hidup.
Pada era serba media, kita bisa menyaksikan rentetan peristiwa demi peristiwa yang terjadi setiap saat. Bagi Anwar Kurniawan, peristiwa tidak melulu tentang sesuatu yang besar. Tiap kali membuka story di WhatsApp atau Instagram, umpamanya, akan ada hamparan peristiwa yang siap menyapa mata kita. Muasalnya bisa macam-macam. Bisa dari teman, kolega, atau sanak famili.
Di level yang lebih rumit, peristiwa bisa melibatkan subjek-subjek sosial yang kompleks: pejabat negara, ustaz, pimpinan ormas, selebriti, elite politik, dan lain sebagainya. Lazimnya, mereka menjadi santapan renyah bagi industri media. Maka, sebuah peristiwa akan selalu diproduksi, kapan pun dan di mana pun, sejauh peradaban umat manusia masih berlangsung. Lalu, sekarang kembali kepada diri kita, berangkat atas motif apa kita menulis? Pengabadian ataukah keberlangsungan hidup? Atau atas dorongan kedua-duanya? Apa pun motifnya, semoga Tuhan meridai niat dan aktivitas kita.***
*) Fathorrozi, pegiat literasi, tinggal di Ledokombo Jember.