Oleh: Slamet Makhsun*
Era digital telah menjadikan semua manusia tergabung dalam satu wadah interaksi tanpa batas serta tidak mengenal sekat ruang dan waktu. Kendati hanya mewujud gambar, tulisan, ataupun video, namun hal itu sudah lebih, bahkan sangat cukup dalam merajut komunikasi.
Di saat yang sama, komunikasi melalui platform digital tidak memerlukan biaya yang mahal. Hanya bermodalkan gadget yang dilengkapi paket data, semua informasi dan komunikasi bisa diakses dengan cepat dan mudah. Pun dengan kecepatannya yang hanya membutuhkan sepersekian detik saja.
- Iklan -
Indonesia yang notabenenya sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia, telah membuktikan bagaimana era digital merubah segalanya. Meski masuk dalam tataran negara berkembang, banyak survei yang menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam 5 besar dari negara pengguna gadget terbanyak di dunia, yakni lebih dari 100 juta pengguna.
Yang menjadi pertanyaan, apakah digitalisasi itu semuanya berdampak positif?
Di sini begitu tampak bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki kesiapan yang matang dalam menyambut era digital. Faktanya, bejibun hoaks ditelan mentah-mentah yang berimbas terhadap penipuan, adu domba, pecah belah.
Lebih-lebih dalam hal beragama, yang notabenenya bersifat privasi dan sangat sensitif. Banyak orang yang tetiba soksokan menjadi ustadz, nukil ayat nukil hadis dalam setiap postingan di akun medsosnya, ceramah sana-sini tanpa dasar keterangan yang kuat, saling debat dan caci jika beda pendapat, dan parahnya lagi, agama dijadikan bahan untuk menyalah-mengkafirkan orang bilamana tak satu paham.
Selain berdampak buruk, laku seperti itu justru membuat image buruk bagi agama Islam. Menjadi wajar bila islamophobia kian subur di negeri ini. Di saat yang sama, pengguna media sosial juga langsung percaya dengan informasi miring tersebut. Sehingga wajah asli Islam yang damai dan sejuk kemudian kabur di tengah-tengah era disrupsi ini.
Jika keadaan seperti itu dibiarkan, maka akan memperparah keadaan. Terlebih, Islam menjadi agama yang mayoritas di Indonesia sehingga peluang keterpecahannya pun sangat lebar. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan pihak-pihak yang konsen dan terjun langsung dalam literasi agama di dunia maya sehingga pemahaman-pemahaman agama yang dangkal dan sembarangan dapat dihindarkan.
Pesantren, Sholih Likulli Zaman wa Makan
Memang dalam era-era dulu, santri dicap sebagai kumpulan orang-orang yang mengkaji agama Islam secara mendalam, dengan metode tradisional, jauh dari hiruk-pikuk keramaian, serta kurang akrab dengan kemodernan. Hal seperti ini yang membuat masyarakat men-stigmanya dengan kata kolot, jauh dari peradaban, tidak punya skill, dll.
Tetapi, era sekarang telah berubah. Pondok pesantren tidak hanya mengadopsi kurikulum lawasnya, namun juga berkolaborasi dengan kurikulum pemerintah. Dalam artian, juga menyelenggarakan sekolah formal. Alhasil, yang dikembangkan tidak melulu ilmu agama, namun turut ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Secara perlahan, pandangan masyarakat pun terhadap pesantren semakin positif. Hal itu dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah pondok yang berdiri setiap tahunnya. Dalam survei yang dilakukan oleh Kementerian Agama, jumlah pondok pesantren pada tahun 2021 mencapai sebanyak 31.385, yang meliputi 4,29 juta jumlah santri.
Pesantren telah menjadi tempat pendidikan yang paling nyaman. Jelas tentu, pendidikan agama yang dilakukannya pun memiliki sanad yang jelas. Bukan memiliki term pemahaman yang ekstrem, melainkan mewarisi pemahaman agama yang moderat yang tersambung sampai Rasulullah SAW. Titik tekan yang menggunakan kitab kuning sebagai bahan rujukan, menandakan bahwa apa yang telah ulama-ulama salaf maupun khalaf gali, tetap hidup dalam benak-benak santri. Pemaknaan agama yang mereka dapat sirkuler, saling terikat, dan tidak terputus.
Selain itu, dengan basis kurikulum modern yang diajarkan, mendorong santri cakap dalam berbagai bidang. Alhasil, tak heran jika banyak santri yang menjuarai lomba matematika, fisika, ilmu alam, dll. Bahkan, alumninya pun begitu beragam profesinya.
Satu di antaranya adalah Pondok Pesantren Subhanul Wathan. Pesantren yang diasuh oleh KH Yusuf Chudori itu sudah memiliki jenjang pendidikan yang lengkap. Selain kurikulum salaf, juga menyediakan jenjang sekolah formal dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi. Bahkan, belum lama ini mereka juga berhasil mendirikan rumah sakit sendiri.
Dakwah Digital ala Kaum Santri
Terjunnya para santri ke dunia digital, bisa dikatakan telat. Telat dikarenakan, orang-orang Islam radikal lebih dulu memanfaatkannya. Salah satu buktinya, dulu banyak propaganda yang dilakukan oleh simpatisan ISIS di Indonesia sehingga banyak masyarakat yang tergiur untuk pergi ke Timur Tengah bergabung dengan pasukan mereka.
Mereka hanya bermodalkan video ceramah, foto, dan tulisan yang kesemuanya itu tentunya hoaks, namun dibungkus dengan tampilan yang menarik. Alhasil, bagi orang yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi, namun tidak dibarengi dengan bekal pemikiran yang mendalam, langsung auto terdoktrin dan jadi anggota militan mereka.
Namun, di lima tahun terakhir, hal seperti itu sudah jarang. Propaganda kaum intoleran-radikalis sudah mulai tidak laku karena tersaingi oleh para santri yang terjun di dunia maya.
Salah satu video ceramah kaum santri yang saat ini memiliki banyak viewers ialah ceramahnya Gus Baha. Bahkan karena saking dalam dan luasnya pemahaman beliau tentang agama, menjadikannya digandrungi oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan kalangan artis. Ini adalah salah satu bukti bahwa kaum santri memang orang yang pantas dalam membicarakan agama.
Selain itu, dakwah santri juga mewarnai artikel-artikel berbasis digital. Dengan menjamurnya website keislaman yang tentunya dipegang oleh kaum santri, secara massif sangat mendukung terhadap adanya pemahaman Islam yang rahmat. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai survei tentang website keislaman yang paling diminati oleh netizen, bahwa rangking-rangking atas di tempati oleh website-nya kaum santri.
Jika kaum santri bisa terus istikamah dalam meramaikan dunia maya, maka penulis yakin bahwa apa yang dilakukan tersebut dapat mengurangi perpecahan masyarakat. Sebabnya, pertikaian dan konflik yang sering mengguncang masyarakat seringkali berawal dari konflik agama.
Pun demikian dengan radikalisme-terorisme. Dua hal ini massif tersebar di masyarakat melalui jejaring dunia maya. Oleh karena itu, dengan hadirnya santri dalam literasi digital, sangat membantu masyarakat untuk memahami agama secara benar sehingga tidak terjatuh dalam pemahaman yang salah yang akan berujung pada konflik dan kekerasan bermotif agama.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.