Oleh: Moch Arifin⁎
Dalam dunia pendidikan, mengajar adalah tugas utama orang tua dan guru. Mengapa saya menempatkan orang tua diurutan pertama, baru kemudian guru? Ya, karena orang tua memegang peranan yang sangat vital dalam memupuk kecerdasan dan membentuk karakter anak. Orang tua berperan sebagai madrasah primer bagi anak-anaknya. Sementara guru hanya sebagai pendamping sekunder dalam membantu orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya menjadi insan cendekia dan berakhlak mulia.
Pendidikan pada dasarnya tidak hanya melulu soal kecerdasan otak. Tapi, ada yang lebih penting dari itu, yakni kesalehan akhlak. Pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pengubahan sikap bisa ditafsirkan mengubah sikap atau perilaku buruk menjadi baik, juga sikap atau cara berpikir di bawah rata-rata menjadi insan berparadigma prima. Dan puncaknya adalah menjadi manusia dewasa, yakni manusia yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam perilaku sosialnya.
Untuk mencapai tujuan itu, orang tua dan juga guru yang telah diamanahi orang tua siswa harus mampu bekerja secara profesional. Tidak hanya mahir dalam menyampaikan materi pelajaran di depan siswa. Tapi, juga harus mampu memberikan tuntunan dan tontonan yang baik melalui laku kesalehan yang dipraktikkan, khususnya saat mengajar dan di lingkungan sekolah. Cara mendidik atau pendidikan semacam ini lazim disebut dengan istilah “pendidikan berbasis keteladanan”.
- Iklan -
Pendidikan yang menekankan pada aspek keteladanan merupakan awal cikal bakal model pendidikan yang diterapkan dalam Islam. Ini tercermin dari tugas utama yang diemban Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik sejati dan penyampai risalah Ilahi. Tugas utama itu tidak lain adalah mendandani akhlak anak Adam dari yang semula tercela menjadi mulia.
Demi terealisasinya tugas utama itu, Nabi Muhammad SAW menanamkan sifat dan sikap terpuji dalam dirinya. Tujuannya, agar setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh sosok yang lekat dengan predikat uswah hasanah ini menjadi teladan kebaikan bagi para pengikutnya. Terbukti, sejarah mencatat bahwa dengan cara mendidik seperti ini telah berhasil mencetak generasi khaira ummah yang cerdas, progresif, dan berintegritas.
Pertanyaannya, apakah cara mendidik ala Nabi Muhammad SAW yang telah 14 abad lalu itu masih relevan untuk diterapkan di era 5.O dewasa ini? Dengan tegas saya menjawab, tentu sangatlah relevan. Sebab, di era yang katanya serba canggih itu, moralitas yang ditunjukkan oleh para peserta didik kita tidak malah tumbuh menjadi semakin baik, tapi malah justru mengalami dekadensi yang cukup masif.
Di antara contohnya yang tampak secara kasat mata adalah terjadinya tindakan bullying, perkelahian, aksi asusila, hingga penggunaan gadged yang lepas kontrol. Padahal pendidikan Islam sejatinya mendidik agar tidak menghina antar sesama, menghindari permusuhan, menjauhi zina, dan menepis perilaku yang melampaui batas.
Di sinilah pentingnya pendidikan keteladanan bagi orang tua (di rumah) dan juga guru (di lingkungan sekolah) dalam rangka memainkan perannya sebagai pengendali dan pendidik utama bagi masa depan anak-anaknya. Di sini orang tua dan juga guru dituntut untuk mampu berperan ganda. Pertama, harus aktif dalam memberikan nasihat-nasihat yang sarat dengan nuansa edukasi-Islami, serta selalu mengontrol perilaku keseharian anak-anaknya. Kedua, harus mampu menjadi figur yang baik agar menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam berperilaku dan bersosial di masyarakat.
Pendidikan keteladanan dinilai urgen sebab pada hakikatnya proses tumbuh dan berkembangnya anak itu secara naluriah berangkat dari cara meniru. Baik mulai dalam hal berbicara, beretika, rutinitas harian yang dijalaninya, hingga hal-hal lain yang menyangkut kepribadian yang melekat pada dirinya. Ketika yang ditiru itu baik, maka karakter anak pun akan menjadi baik, dan sebaliknya.
Dalam konteks dunia pendidikan, guru dan orang tua mutlak menjadi penentu baik dan tidaknya bagi anak atau peserta didik. Peribahasa mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ibarat kata, guru minum sambil berjalan, kemungkinan besar siswanya juga bahkan akan minum sambil berjalan jingkrakan sepanjang jalan. Oleh karena itu, demi terciptanya pendidikan yang mencetak generasi khaira ummah, orang tua dan guru harus menjadi figur yang cerdas dan berakhlak mulia, agar menjadi teladan terbaik bagi anak-anak didiknya.
⁎Penulis mukim di Bojonegoro. Alamat: Desa Deru 05/01 Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro.