Oleh Siti Nur Lailatul Azizah
Tanggal 1 Suro atau yang lebih dikenal dengan istilah Malam 1 Suro ialah sebuah pertanda masuknya awal bulan di dalam adat istiadat jawa. Hal ini sekaligus bertepatan dengan masuknya Tahun Baru Hijriah Islam. Sedangkan konotasi makna “suro” dalam kalender Islam-Jawa, dimaknai sebagai bulan pertama. Sebab kata suro sendiri berasal dari kata ‘Asyura (Bahasa Arab) yang bermakna kesepuluh. Alhasil, penamaan inilah yang kemudian dicetuskan oleh pemimpin kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung. Oleh sebab itu, bulan Suro kemudian menjadi titik awal bulan perhitungan dalam Takwim Jawa.
Islam sendiri juga menyebut bulan Suro (Muharram) sebagai salah satu bulan mulia selain bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Lantaran dalam keempat bulan itu banyak terkandung fadhilah (Keutamaan). Maknanya, bagi siapapun yang berbuat baik akan dilipat gandakan, begitu pula bagi yang berbuat jahat akan berlaku sebaliknya. Terlebih lagi karena bulan ini adalah bulan yang menyongsong bulan-bulan mulia selanjutnya, yaitu Sya’ban dan Ramadhan.
Menurut agama Islam ada beberapa anggapan mengapa bulan ini sangat dimuliakan. Pertama, merupakan bulan yang menjadi tonggak berdirinya Islam, karena saat itu bertepatan dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Kedua, merupakan bulan diterimanya taubat Nabi Adam as. dan Sayyidah Hawa. Ketiga, merupakan bulan dimana Nabi Musa as. dan kaumnya diselamatkan Allah dari kejaran bala tentara Fir’aun. Juga masih banyak lagi alasan yang menyertakan mengapa bulan dianggap sebagai bulan yang paling sakral fadhilahnya.
- Iklan -
Selain mengandung banyak hikmah dan kemuliaan. Akan tetapi, masih banyak misteri yang beredar dalam keyakinan masyarakat jawa. Banyak dari mereka percaya bahwa Suro adalah bulan pembawa petaka. Mengapa demikian? Tentunya karena banyak yang menyebarkan anggapan tentang mitos-mitos masyarakat jawa terdahulu. Seperti halnya tentang larangan menikah dan berpesta di bulan Suro.
Disini penulis mencoba mengulas dari apa yang disampaikan oleh Abah Yai Marzuki Mustamar, Pengasuh Pondok Sabiilul Rosyad Malang dari salah satu reels instagram beliau. “Mengapa para Kiai sepuh jawa melarang anak cucunya menikah atau berpesta bertepatan saat hari kematian leluhurnya? Tentu saja sebagai tanda ta’dib atau penghormatan untuk menjaga tatakrama kepada yang lebih tua. Sebab tidak mungkin jikalau seorang dari keluarga kita sedang susah kita malah lebih mementingkan ego untuk hura-hura dan bersenang-senang,” dawuh Abah Yai.
Sebagaimana alasan terkait larangan menikah atau berpesta saat bersamaan dengan bulan Suro. Tidak lain tujuan para kiai jawa melarang adalah sebagai tanda penghormatan kepada para Habaib (Keturunan Nabi Muhammad saw.)
“Jangan ngunduh mantu atau pesta-pesta di bulan Suro!,” tutur beliau tegas. Sebab bulan suro ialah bulan duka bagi keluarga Nabi Muhammad saw., Yang saat itu sedang berlangsung peristiwa tragis yaitu, pemenggalan kepala Sayyidina Husein di Karbala. Oleh sebab itu, sangatlah tidak pantas bagi umat yang mengaku cinta Nabi Muhammad saw. tetapi saat keluarga Nabi dalam keadaan susah ia malah berbuat seneng-seneng.
Islam sebagai agama Rahmatal Lil ‘Alamin sangat menjunjung nilai tinggi ta’dib atau tatakrama. Maknanya dari apa yang menjadi larangan para kiai jawa tentunya mengandung maksud tersirat yang belum kita ketahui. Maka dari itu, kita seharusnya selalu bersikap ta’dib meskipun kita belum tahu alasannya. Terkadang apa yang menjadi misteri dalam sebuah adat tidak dapat dinalar oleh akal pikiran manusia. Bahkan ada yang seringkali sesuai dengan syariat agama.
Maka dari itu ada baiknya kita untuk selalu husnudzon terhadap segala sesuatu yang bukan pada ranah kita. Terlebih lagi jika dalam ranah syariat-Nya. Sebab tidak mungkin Allah mengutus dan melarang sesuatu kepada makhluk-Nya tanpa dibarengi dengan maslahah (Kebaikan) atau mafsadah (Kerusakan).
Wallahu A’lam
– Alumni MANPK Jombang- Pegiat Komunitas Pena PeKa Denanyar, Santri PP. Sunan Ampel Kota Kediri, dan Mahasiswa IAIN Kediri