Cerpen S. Prasetyo Utomo
LARUT malam, Sadewa suntuk mengikuti pengajian Kiai Maksum. Hanya beberapa santri yang duduk mengitari kiai. Sadewa yang tinggal di pesantren sejak umur 7 tahun, dan kini sudah selesai pascasarjana, tak pernah bosan mengikuti pengajian. Ia dikenal sebagai penyeduh minuman yang disukai siapa pun di pesantren. Pagi hari menyeduh teh, dan sore hari ia menyeduh kopi. Aroma, kekentalan, dan rasa manis minuman ramuannya sangat disukai kiai.
Kiai Maksum meminta Sadewa untuk menyeduh kopi untuk seorang tamu yang sebentar lagi bakal datang. Ia menanti kedatangan tamu yang malam-malam akan mengunjungi pesantren. Tapi tamu yang dinanti belum juga datang. Apakah ia seorang pejabat negara? Atau, ia seorang saudagar kaya?
Yang datang ke pesantren tengah malam itu seorang lelaki setengah baya. Badannya tinggi besar. Rambutnya gondrong. Lengannya bertato. Dia tampak gelisah. Takut. Apakah ini tamu yang dinanti Kiai Maksum?
- Iklan -
Tatapan sekilas Kiai Maksum, segera dipahami Sadewa. Lelaki tinggi besar berambut gondrong dengan lengan bertato ini memang tamu yang ditunggu kiai. Sadewa menyeduh kopi untuk lelaki setengah baya itu.
“Saya mohon perlindungan kiai. Saya diburu polisi,” kata lelaki setengah baya itu. Ia memperkenalkan diri bernama Gendon. Dia telah melakukan perjalanan setengah hari menumpang truk, meninggalkan kota asalnya. Kiai Maksum memandang tamunya dengan cahaya mata menenteramkan.
“Apa yang kaulakukan?”
“Kami berempat merampok toko emas,” kata Gendon. “Tiga temanku tertangkap. Semua emas rampokan sudah disita polisi. Saya melarikan diri dari rumah ketika mereka kepung. Lompat jendela, menghindari sergapan polisi, menyelinap perkampungan, menumpang truk. Ketika truk berhenti di warung makan dekat pesantren, saya menyusup kemari.”
“Minumlah! Segelas kopi ini akan menenangkan perasaanmu,” kata Kiai Maksum. “Tinggallah di tambak. Ada gubuk kecil. Sadewa akan mengantar kamu ke sana. Jangan meninggalkan tambak, sampai kau benar-benar aman. Aku akan menjemputmu suatu saat nanti.”
Tengah malam itu Sadewa mengantar Gendon, berjalan kaki ke tambak, tak jauh dari pantai. Sadewa mencuri pandang lelaki preman itu, terkesan serupa genderuwo. Wajah Gendon hangus. Bercambang. Berewok. Rambutnya panjang gimbal. Tubuhnya tinggi besar. Mencapai gubuk tepi pantai, di bawah pohon beringin tua, Gendon bimbang memasukinya. Angin membawa aroma garam. Dari gubuk tampak pemandangan perahu-perahu nelayan terapung di tengah laut. Sepasang mata lelaki setengah baya itu menembus kegelapan pantai. Orang-orang mancing melewati tanggul dekat gubuk, menyusup di antara tetumbuhan bakau di tambak yang terbengkelai. Melintasi bawah pohon beringin tua. Mencari tempat yang nyaman untuk memancing ikan.
Gendon memasuki gubuk. Sadewa menyusuri pematang tambak, kembali ke pesantren.
***
AGAK takut pada mulanya, Sadewa mengantarkan makanan untuk Gendon pada siang hari. Ia berjalan kaki dalam kilau matahari memantul di permukaan tambak. Ia mendekati pohon beringin tua dan menjadi sarang burung gagak. Di sinilah Gendon berlindung dari terik matahari pantai. Wajahnya masih tampak cemas akan kejaran polisi, dan merasa terancam dari kematian. Dalam hati Sadewa berpikir, tentu Gendon belum tahu akan kisah orang-orang mengenai genderuwo yang berdiam di pohon beringin tua yang dijadikan sarang burung gagak.
Siang itu Sadewa melihat Gendon baru saja selesai membersihkan enceng gondok di permukaan tambak. Menabur bekatul, pakan ikan-ikan bandeng. Membersihkan rumput-rumput di pematang tambak, dan membenahi tiang-tiang gubuk yang miring.
Sadewa memandangi Gendon lahap makan. Gendon bersikap menjaga diri, dan sopan padanya.
“Sudah lama kau berguru pada Kiai Maksum?” tanya Gendon, melihat kesetiaan santri itu.
“Sejak aku berumur tujuh tahun, ketika ayah hilang dibawa lima lelaki bertopeng, dan tak pernah kembali. Esok paginya mayat ayah ditemukan mengapung di sungai. Kiai melayat ke rumah, “ kata Sadewa. “Ia memintaku dan Nakula, saudara kembarku, untuk tinggal bersamanya. Tapi Nakula menolak tinggal di pesantren.”
***
MENJELANG tengah malam empat polisi bersenapan meloncat dari mobil patroli. Mereka memasuki pesantren Kiai Maksum. Menemui kiai yang sedang berceramah di hadapan beberapa santri. Sadewa melihat wajah kiai tenang dan menguasai diri.
“Jangan sembunyikan preman buruan kami!” kata seorang polisi garang, berdiri gagah di depan pintu. Mengancam. “Tunjukkan pada kami, di mana Gendon!”
“Dia sudah bertobat. Apa yang ingin kalian lakukan?”
“Kami mesti menangkapnya! Kau tak perlu melindunginya!”
Kiai Maksum meminta Sadewa untuk mengantar empat polisi itu ke tambak. Dalam hati Sadewa bertanya-tanya: kenapa kiai tak melindungi Gendon? Sadewa maik mobil patroli mencapai mulut gang menuju ke arah tambak. Ia berjalan dengan kaki gemetar, dalam gelap, goyah menyusuri pematang. Ia tak berani menatap wajah para polisi bersenapan. Ia teringat ayahnya meninggal dengan kening dan dada tertembus peluru, mayatnya terapung di sungai dan tersangkut akar pepohonan.
Langkah Sadewa berhenti agak jauh dari tambak. Tangannya menuding sebuah gubuk senyap tanpa cahaya, di bawah pohon beringin tua. Empat polisi itu berpencar. Menyergap gubuk dari empat penjuru. Sosok lelaki tinggi besar berbulu, rambut memanjang, menghadapi kepungan empat polisi. Tercium pekat aroma singkong bakar. Tembakan diarahkan pada sosok tinggi besar serupa bayangan. Tubuh lelaki tinggi besar itu tidak roboh. Ia masih berdiri. Sepasang matanya menyala. Garang.
Aroma singkong bakar kian pekat. Dalam hati Sadewa bertanya-tanya: benarkah ia Gendon? Kenapa tak mati tertembus peluru?
Tembakan-tembakan beruntun terus menembus tubuh lelaki tinggi besar berambut gimbal. Lelaki tinggi besar tetap berdiri kokoh. Memburu polisi yang melepaskan tembakan. Empat polisi itu berlari. Terpeleset, tercebur tambak. Sosok tinggi besar berambut gimbal itu menyergap empat polisi. Sepasang matanya serupa tungku api menyala. Empat polisi itu menjauhi tambak. Menyelamatkan diri dari sosok lelaki tinggi besar. Mendekati mobil patroli yang diparkir di tepi jalan. Mobil patroli itu meluncur dalam jalan sunyi. Meninggalkan Sadewa yang berdiri termangu-mangu. Dalam gelap malam itu ia tak lagi bisa mengenali sosok lelaki tinggi besar dengan rambut gimbal itu: benarkah dia Gendon, atau genderuwo?
Tengah malam itu Sadewa melangkah pelan-pelan menyusuri pematang tambak, tak lagi mencium aroma singkong bakar. Ia mencium aroma garam terbawa angin laut. Menjauhi genangan air pantai yang membentang dalam tabir gelap, dan cahaya berpendaran kapal-kapal dalam perjalanan ke tempat-tempat yang jauh. Tak ada lagi rasa takut pada diri Sadewa. Ia hanya merasa penasaran dengan lelaki tinggi besar berambut gimbal yang merapat ke arah pohon beringin tua. Bagaimana mungkin ia kebal peluru?
***
MASIH pagi ketika Kiai Maksum mengajak Sadewa untuk menjemput Gendon ke gubuk di bawah pohon beringin tua. Ia membawa sarung putih, pakaian putih, sandal baru dan peci. Ia juga membawa gunting. Mereka mendekati Gendon yang keluar dari gubuk. Tak berkata apa pun, Gendon mencium tangan kiai. Sepasang matanya basah.
“Sudah waktunya kau kembali pada keluarga. Basuhlah tubuhmu. Kenakan pakaian, sarung, dan peci. Biarkan aku mencukur rambutmu!” kata Kiai Maksum.
Sadewa melihat kegembiraan di wajah Gendon. Berhadapan dengan wajah Kiai Maksum yang tersenyum, ia tak berkata apa pun. Dalam hati Sadewa bertanya-tanya: lelaki setengah baya itu tak mengajukan pertanyaan kenapa malam itu di sekitar gubuk, banyak selongsong peluru polisi berserakan? Pertanyaan itu selalu berulang-ulang diajukan Gendon pada Sadewa saat mengantarkan makanan dan minuman ke gubuk. Gendon selalu bercerita, malam itu ia tidur sangat lelap di gubuk, dan baru terbangun pada saat azan subuh berkumandang.
Dalam hati Sadewa tak pernah paham dengan peristiwa tembakan-tembakan polisi pada lelaki tinggi besar berambut gimbal dengan sorot mata serupa bara tungku. Bagaimana mungkin ia kebal peluru? (*)
Pandana Merdeka, Juni 2022
Tentang Penulis:
*S. PRASETYO UTOMO, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022).