Oleh: Saiful Bari
Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar di Indonesia dan dapat dikatakan juga ormas yang paling konsisten menjaga dan merawat keutuhan Republik Indonesia maka tentu saja, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki pandangan tersendiri terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Khilfatul Muslimin, yang belakangan ini kerap mengkampanyekan khilafah.
Sebelum jauh membahas tentang pandangan NU terhadap HTI dan Khilafatul Muslimin maka, alangkah baiknya kita pahami dahulu apa dan bagaimana kiprah kedunya di Indonesia.
HTI dan KM
- Iklan -
Jamak diketahui, HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia adalah kepanjangan tangan dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyyudin al-Nabhani di Palestina tahun 1953. Keduanya memiliki visi dan ideologi politik yang sama, yaitu penegakan sistem Khilafah Islamiyah. Bagi mereka, khilafah merupakan satu-satunya sistem politik yang legitimed dan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya, sistem politik selain khilafah dianggap sebagai sistem yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Tak jauh berbeda, Khilafatul Muslimin (selanjutnya akan disebut KM) adalah organisasi islamisme yang mengusung penegakan khilafah. Organisasi ini didirikan oleh Abdul Qodir Baraja di Lampung tahun 1997. Menurt Ahmad Khoiri (2022) sang pendiri KM ini merupakan anggota eks-NII, organisasi islamisme yang hidup di era Orde Lama yang diprakarsai oleh Kartosoewirjo. KM memiliki struktur yang paling tertinggi, yakni Khilafah Pusat. Sementara itu, struktur di bawahnya ada Daulah, Ummul Qura, dan terendah ialah Kemasulan.
Pada titik ini, dapat kita simpulkan bahwa meski HTI dan KM ini memiliki visi dan ideologi politik yang sama namun secara genealogis keduanya berbeda. Dengan kata lain, secara norma, keduanya sekilas tampak sama namun secara historis, hanya HTI yang oleh para tokoh disebut gerakan Islam transnasional. Hal ini karena KM lahir dan besar di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 – S.M. Kartosoewirjo yang menginginkan terciptanya Darul Islam maka ia tidak puas dengan sikap Soekarno-Hatta yang memproklamirkan Indonesia sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila.
Atas pandangan tersebut, HTI dan KM yang bersikeras menegakkan khilafah di Indonesia maka, menurut M. Najih Arramdloni (2018), pandangan mereka tidak ada bedanya dengan pandangan ISIS yang menyatakan bahwa Khilafah merupakan satu-satunya sistem politik yang sah dan wajib dalam Islam. Maka tak ayal, apabila kelompok ini meraup dukungan dengan menggunakan legitimasi agama, yakni mengutip al-Quran maupun Hadis yang dirasa mendukung impiannya itu. Selain itu, sikap mereka jelas dan tegas menolak segala ideologi terutama yang berasa dari luar Islam, seperti demokrasi, kapitalisme, sosialisme dan termasuk Pancasila.
NU dan Komitmen Kebangsaan
Dari prinsip ajaran HTI dan KM di atas, tampak ada perbedaan mendasar dengan NU. Terkait persoalan keagamaan dan lebih-lebih politik kenegaraan, NU telah memiliki sikap tersendiri. Dalam Muktamar di Situbondo, berlangsung antara tanggal 8-12 Desember 1984 itu menghasilkan beberapa poin penting salah satunya, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.
Akan tetapi, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal NU bukan hanya sekadar taktik politik, tapi lebih berdasarkan pada prinsip-prinsip pendirian dasar NU. Sebab, dalam sejarah panjang Indonesia, para pemimpin umat Islam Indonesia khususnya, ulama NU berpartisipasi aktif dalam perumusan Pancasila. Nilai-nilai mulianya sebangun dan didukung oleh prinsip-prinsip Islam.
Menurut Kiai Ahmad Shiddiq, “Pancasila dan Islam berdampingan dan saling menunjang satu sama lain. Keduanya tidak bertentangan dan tidak akan dipertentangkan. Tidak perlu memilih satu dengan mengesampingkan yang lain,” kutip Mitsuo Nakamura dalam Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (terj.) Ahmad Suedy, dkk (1997).
Menurut dokumen resmi Dekralasi Pancasila, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal itu didasarkan atas tiga pertimbangan yaitu pertama, menganut pendirian bahwa Islam adalah agama fitriah. Kedua, konsep ketuhanan Pancasila dinilai mencerminkan tauhid menurut keimanan Islam. Ketiga, dari sudut sejarah bahwa umat Islam turut berjuang merebut kemerdekaan sebagai kewajiban keagamaan.
Atas pandangan inilah maka, NU memiliki komitmen kebangsaan, yakni turut aktif menjaga dan merawat kedaulatan negara dari berbagai ancaman salah satunya khilafahisme misalnya. Sebagai komitmennya, NU merupakan salah satu ormas yang aktif mendorong lahirnya Perppu No. 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya menjadi UU Ormas). Jauh sebelum itu, pada tahun 2007, PBNU menyatakan dengan tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaeda, Ikhwanul Muslimin dan HTI adalah gerakan politik yang berbahaya karena mengancam alhlussunnah wal jamaah dan berpotensi memecah belah bangsa. Tak hanya itu, NU juga menilai bahwa kemampuan mereka menerima tradisi NU juga membuat mereka semakin berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan ke mana saja. Pada akhirnya, NU melalui Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki rujukan ideologis, baik di dalam al-Qur’an maupun Hadis – selengkapnya baca Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Wahid, 2009: 31-35).
Dengan demikian, jelas bahwa ada perbedaan sikap dan pandangan keagmaan dan politik kenegaraan antara NU, HTI dan KM. Titik terangnya terletak pada sikap NU yang memahami dan memaknai Pancasila bukan dari kacamata politik melainkan dari kacamata teologis dan pandangan ini berbeda sekali dengan pandangan HTI maupun KM.