Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita
Ibrahim; bukan seorang nabi dan rasul, sekadar seorang lelaki biasa yang menjalani hidup biasa seperti orang biasa dan memiliki istri dan dua anak lelaki yang biasa juga; mendapatkan mimpi bahwa suatu suara telah memerintahnya untuk menyembelih salah satu putranya dan dia memang melakukannya di dalam mimpi itu. Dalam mimpi itu, dia menyembelih salah satu putranya di puncak sebuah bukit terjal. Tapi, wajah kedua putranya, Ismail dan Ishak, menjadi satu dan tumpang tindih sehingga dia tidak yakin siapa di antara keduanya yang menjadi kurban untuk suatu suara yang telah memerintahkannya itu.
Begitulah, pada tengah malam, tidak pukul dua belas tepat, dia terbangun dari tidurnya dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Ruangan itu gelap, tapi dia tahu bahwa istrinya, Sarah, berada di sampingnya, tidur dengan begitu nyenyak dan, mungkin, juga mengalami mimpi. Sebuah mimpi indah tentang sebuah taman berbunga atau pantai dengan ombak dan burung camar. Ibrahim tidak bermaksud membangunkannya dan membagi keluh kesah terkait mimpi yang baru saja diperolehnya.
Secara perlahan, dia sibak selimutnya dan turun dari tempat tidur. Dia kenakan sandal selop dan berjalan menuju dapur. Dia ambil gelas, meletakkan mulutnya di bawah keran galon, dan memutar keran galon itu. Air mengalir dari sana, sebuah suara gelembung muncul dari dalam galon. Setelah gelas itu hampir terisi penuh, dia tutup keran itu dan mulai meminumnya. Astaga, dia lupa untuk duduk ketika minum. Air dalam gelas sudah habis ketika dia tersadar. Dia baru duduk di kursi setelah minum dan coba mencerna mimpi itu. Dia tahu posisinya, dia tahu derajatnya: tidak lebih sebagai seorang pegawai kantor perusahaan swasta yang akan menerima gaji setiap bulan, yang berangkat pagi dan pulang sore, yang akan libur di akhir pekan, yang sesekali perlu mengajak keluarganya berlibur entah itu ke pantai atau ke gunung, dan semacamnya. Mimpi itu, barangkali, dan semestinya memang begitu, hanya sebuah bunga tidur. Sebuah mimpi yang tidak memiliki arti sama sekali. Sebuah mimpi yang, mungkin, datang untuk mengolok-oloknya seperti orang-orang terdekatnya di masa lalu.
- Iklan -
***
Dia diberi nama Ibrahim oleh ayahnya, hanya Ibrahim, tanpa embel-embel apa pun lagi. Dalam buku presensi sekolah, namanyalah yang paling pendek. Tapi, ketika menjalani ujian, dialah yang paling beruntung karena tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk hanya menulis identitas namanya. Dia bisa menulis namanya, mungkin, dalam waktu tiga detik. Teman-temannya ada yang coba mengidentifikasikannya dengan nama pemain sepak bola asal Swedia, tapi dia tidak setuju. Dia tidak begitu suka dengan pesepak bola itu. Ada juga yang coba mengidentifikasikannya dengan seorang nabi dan rasul, hal itu sedikit mengganggunya. Teman-temannya sering bertanya, tentu untuk mengolok-olok dirinya, “Hai, Ibrahim, apa kamu yang telah menghancurkan berhala-berhala kami?” Lalu, dengan agak kesal, Ibrahim menjawab, “Tanyakan saja pada berhala yang paling besar.” Lalu, teman-temannya akan bertanya sekali lagi, “Apa kau bodoh, Ibrahim? Mana mungkin aku berbicara kepada sebuah patung?” Candaan itu berhenti di sana. Tapi, ada candaan lain di waktu yang lain. Mereka berkata kepada Ibrahim, “Hai, Ibrahim, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk mempersembahkan putramu kepada kami.” Candaan yang itu tidak ditanggapi oleh Ibrahim meskipun terus-menerus dikatakan kepadanya.
Ketika sudah besar, dia bertemu perempuan bernama Sarah dan dia menikahinya. Tentu saja Sarah adalah satu-satunya istrinya, dia tidak berpikir untuk menikah lagi, meskipun teman-temannya sering bilang, “Cari perempuan yang bernama Hajar juga.” Ketika sudah besar, dia bisa mengabaikan olok-olokan itu, menganggapnya sekadar angin lalu.
Suatu ketika Sarah hamil dan dia berpikir sejenak. “Jika anak ini lelaki …,” gumamnya yang sepertinya terdengar oleh Sarah yang sedang duduk di sofa sambil mengelus-elus perutnya.
“Kita akan memberinya nama Ismail, kan?” kata Sarah, lebih kepada sebuah permintaan daripada pertanyaan.
Dia sebenarnya ingin memberinya nama Ishak. Tapi, Sarah ingin menamainya Ismail. Begitu lahir, dan ternyata memang lelaki, Ibrahim memberinya nama Ismail tanpa embel-embel apa pun lagi, seperti namanya sendiri yang hanya terdiri atas satu nama, hanya nama diri, tidak ada nama keluarga atau nama tengah atau semacamnya.
Selang dua tahun, Sarah hamil lagi. Ismail kecil saat itu sudah berjalan dan mulai berlari-lari di dalam rumah. Dia juga sudah bisa mengucapkan beberapa kata, termasuk namanya sendiri.
“Jika lelaki lagi,” kata Sarah, “namanya harus Ishak.”
Ibrahim merasa bahwa hidupnya agak aneh ketika mendapati anak kedua yang dilahirkan istrinya kemudian benar-benar lelaki. Tanpa pikir panjang, dia memberinya nama Ishak.
“Kau akan menjadi seorang bapak semua bangsa,” kata Sarah sambil menyusui Ishak di atas tempat tidurnya.
Ibrahim tidak suka dengan sebutan semacam itu. Dia lebih senang dengan sebutan yang lebih kecil dan tidak menuntut tanggung jawab terlalu besar seperti anak semua bangsa atau semacamnya.
Pada akhirnya, mereka menjadi keluarga bahagia dengan anggota empat orang.
***
Sarah membangunkan Ibrahim dan memberitahunya bahwa sudah tiba waktu subuh; Ibrahim kembali ke tempat tidur setelah minum segelas air dan coba memikirkan makna mimpinya itu meskipun pada akhirnya tidak ada satu hal pun yang dapat ditemukannya. Ibrahim bangkit dengan sedikit rasa kantuk yang sanggup dia atasi. Dia sibak selimut dan bangkit dari tempat tidurnya, mengenakan sandal selop, dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Sarah juga membangunkan Ismail dan Ishak. Mereka salat subuh bersama-sama di rumah, suatu larangan di masa lalu, meskipun sudah dicabut, masih membuat mereka agak was-was sehingga tetap menjalankan ibadah di rumah selama itu mungkin untuk dilaksanakan di rumah. Begitulah keluarga itu memulai harinya, memulai kehidupan mereka di hari yang baru.
***
Sore hari; Ibrahim terus dihantui oleh mimpinya malam itu; setelah pulang dari kantor, dia panggil kedua putranya dan mengatakan isi mimpinya kepada mereka berdua, bahwa dia harus menyembelih salah satu dari mereka untuk persembahan. Kedua putranya, tidak seperti Ismail (atau Ishak dalam kepercayaan lain), tertawa terbahak-bahak. Mereka menertawakan ayahnya dan berpikir bahwa ayahnya sudah gila dengan berpikir semacam itu. Sarah yang berada di dapur, yang juga dapat mendengar obrolan mereka tadi, ikut tertawa. Muka Ibrahim merah padam, dia begitu malu telah menyampaikan isi mimpi itu kepada mereka.
Di depan, pintu diketuk oleh seseorang, seorang lelaki mengucapkan salam dan memanggil nama Ibrahim. Itu Jibril; bukan malaikat, hanya seorang lelaki biasa yang menjalani hidup biasa di tempat biasa sebagaimana keluarga Ibrahim, yang tak lebih sekadar peternak kambing yang dapat untung besar ketika hari raya kurban tiba atau ketika ada yang berakikah; datang membawa seekor kambing jantan yang besar dan gemuk. Sarah membukakan pintu, Ibrahim, juga Ismail dan Ishak, berada di belakangnya.
Jibril berkata kepada mereka bahwa itu adalah kambing yang mereka pesan untuk kurban nanti. Sarah menyuruh Jibril untuk mengikatnya di samping rumah dan menyuruhnya masuk setelah selesai mengikatnya. Pembayaran akan dilakukan di dalam rumah.
Itu adalah kambing yang dipesan Sarah untuk memberi kabar gembira kepada Ibrahim, suaminya. Dia menyisihkan, tanpa sepengetahuan suaminya, gaji Ibrahim yang diserahkan kepadanya untuk menabung guna membeli kambing kurban. Tahun ini, Ibrahim akan menyembelih kambing, bukan menyembelih salah satu dari dua putranya seperti yang ada di dalam mimpinya malam tadi. (*)
Mojokerto, 3 Juni 2022
*MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA, lahir di Mojokerto pada HUT RI Ke-53. Penggemar layar kaca Liverpool FC yang senang menulis cerpen. Cerpen-cerpennya pernah tayang di koran lokal dan media daring. Lebih senang tinggal di kabupaten Mojokerto, Jawa Timur setelah lulus kuliah di Malang. Akun instagram @sasmita.maruta.