Oleh Saidun Fiddaraini
Jaringan intelektual para ulama pesantren abad 17 sampai abad 19 telah memberikan arti tersendiri bagi budaya literasi di Nusantara. Bagaimana tidak, dimasa itu banyak ulama-ulama yang memiliki kapsitas kelimuan mumpuni dengan mampu menelurkan karya-karya prestisius. Tak ayal, di Timur Tengah, nama Jawa identik dengan ulama-ulama karismatik.
Kita bisa menakik seorang tokoh intelektual pesantren seperti Kiai Nawawi al-Banteni (1813-1897). Beliau memiliki lebih dari 100 karya dari pelbagai disiplin ilmu: tafsir, fiqh, usul ad-din, ilmu tauhid (teologi), tasawuf (mistisisme), kehidupan Nabi, tata Bahasa Arab, hadis, dan akhlak (ajaran moral Islam).
Salah satu karyanya yang paling monumental dan sangat dikagumi kalangan ulama Mekah dan Mesir adalah Tafsîr al-Munîr li Ma’âlîm at-Tanzîl atau dalam judul lain, Marâh Labîd Tafsîr an-Nawawi. Maka jangan heran bila para ulama menganugrahkan padanya gelar Sayyid ulamâ’ al-Hijâz berkat prestasinya di bidang tafsir itu.
- Iklan -
Tokoh intelektual liyan yang tak kalah produktif menulis ialah Kiai Shaleh Darat, seorang ulama kelahiran Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820 M. Ia menghasilkan 12 karya yang ditulis dalam bahasa Jawa pada akhir abad ke 19.
Memasuki abad ke-20, lentera literasi di Nusantara belum redup. Hal itu bisa kita temukan pada sosok Kiai Mahfuz at-Tirmisi (1911-1970). Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis. Terbukti ketika beliau berhasil menuntaskan karyanya dalam kurun waktu yang bisa dibilang singkat, 4 bulan 14 hari; Manhaj Zhawî an-Nazhar, sebuah tafsir yang cukup rinci atas Manzhumât Ilm al-Atsar karya Abd ar-Rahman as-Suyuti.
Kehadiran tokoh-tokoh tersebut jadi bukti yang tak bisa kita tampik bahwa budaya literasi murup dalam denyut pesantren sebagai pusat pendidikan yang eksis nun jauh sebelum lembaga-lembaga pendidikan formal berkembang. Terlebih kita mafhum, sebagian besar masyarakat Indonesia kala itu belum mengenal budaya literasi.
Kendati pesantren memiliki akar sejarah yang cukup panjang bicara literasi, dewasa ini budaya literasi pesantren cenderung dinilai kurang berperan dalam konteks pembangunan budaya literasi di Indonesia. Teorema ini berangkat dari terjadinya deteritorialisasi masyarakat dunia yang menuntut keilmuan multidisipliner. Sehingga bila budaya literasi pesantren terlalu fokus pada disiplin ilmu agama dan tak ligat merespons zaman, maka kemungkinan terbesarnya literasi pesantren tak cukup dikenal khalayak ramai, sedikitnya produk literasi pesantren hanya akan dinikmati oleh kalangan pesantren itu sendiri.
Maka dari itu untuk meningkatkan kontribusi pesantren dalam memupuk semangat literasi, perlu upaya intensifikasi penelitian-penelitian kemasyarakatan. Utamanya dengan membuka dialog konstan antara kalangan pesantren dengan lembaga ilmu pengetahuan lainnya. Berkat kerja keras demikian, diharapkan budaya literasi pesantren tak terlumat dunia global.
Selain membuka dialog, hal yang tak kalah urgen ialah pendirian perpustakaan pesantren dalam skala nasional. Dimana perpustakaan dimaksud berfungsi untuk mengumpulkan karya-karya ulama-ulama terdahulu baik merungkupi fragmen atau manuskrip untuk kemudian dikembangkan secara intensif. Misalnya dengan melakukan sosialisasi, publikasi, baik pula penerjemahan karya ulama Indonesia yang ditulis dalam bahasa arab ataupun jawa.
Publikasi ini sebagai langkah preventif guna konservasi warisan pemikiran ulama. Peran konservasi ini dapat berupa penyuntingan (tahqiq), penerbitan ulang, penerjemahan, dan anotasi atas kitab-kitab induk yang menjadi refrensi santri dalam mengaji. Hanya melalui upaya ini dimungkinkan terjadinya dialog antara kita dengan konstelasi sejarah peradaban masa lampau.
Namun disayangkan, kebaharian manuskrip ulama Nusantara yang sejatinya kaya malah kurang mendapat perhatian serius dari kalangan pesantren itu sendiri. Padahal tak ada jalan lain jika kita ingin tahu persis bagaimana sejarah pesantren membentang dalam tradisi keilmuan yang kala itu bisa dikatakan canggih. Sebab melalui manuskrip, kita akan diperlihatkan dengan jelas bahwa pesantren merupakan dapur intelektual lintas zaman.
Lain dari pada itu, penemuan manuskrip ulama Nusantara dapat jadi bahan pelajaran sekaligus motivasi untuk kalangan pesantren guna terus berkhidmah di dunia pendidikan dan kemasyarakatan sebagaimana pernah dilakukan para pendahulu.
Sementara itu, di internal pesantren, diperlukan indoktrinasi tentang pentingnya tradisi membaca untuk menjaga dan meningkatkan semangat literasi. Karena sedianya manusia dianjurkan Alquran untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Anjuran tersebut kudu gencar disosialisasikan dan dimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan rutin pesantren.
Kegiatan-kegiatan ini dapat diwadahi dengan membentuk komunitas-komunitas keilmuan, baik berbentuk majalah, sanggar, maupun kelompok diskusi. Selain juga perlu kegiatan festival-festival yang berkenaan dengan literasi dengan mengadakan event bazar buku seperti yang telah dilakukan di Nurul Jadid sangatlah relevan untuk terus diselenggarakan. Tak lupa pula perbaikan fasilitas infrastruktur, misal perpustakaan dan toko-toko buku untuk menunjang terbentuknya budaya literasi masa kini demi menyongsong masa depan. Wallahu A’lam.
-Alumnus Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, kini mengajar di Pesantren Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga aktif di LAKPESDAM PCNU Arjasa Sumenep.