Oleh Hamidulloh Ibda
Pemerintah secara resmi belum melarang dan membubarkan organisasi atau kelompok Khilafatul Muslimin (Khilmus) yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Aset kelembagaan, jumlah warga, dan faham Khilmus telah tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Meski masih dalam ranah fikrah radikalisme, gerakan Khilmus harus diwaspadai karena berpotensi menyasar kepada terorisme. Namun harus diingat bahwa memberantas ideologi radikal teroris lebih susah daripada memberantas teroris itu sendiri.
- Iklan -
Khilmus menjadi viral sejak konvoi sekelompok ornag membawa poster bertuliskan “Kebangkitan Khilafah” disertai bendera bertuliskan Arab beberapa waktu lalu. Secara resmi pendiri Khilmus Abdul Qadir Baraja (AQB) telah diamankan petugas (Detiknews, 7/6). Polda Metro Jaya juga menangkap Menteri Pendidikan Khilafatul Muslimin berinisial AS (Detik.com, 13/6). Di sejumlah daerah, pemerintah melakukan pencopotan atribut organisasi Khilmus. Usaha pemerintah ini tentu dalam rangka mengerem laju gerak Khilmus yang berpotensi melahirkan kekisruhan.
Hal ini menandakan bahwa Khilmus menjadi kelompok yang harus diwaspadai, baik dari aspek fikrah (pikiran/ideologi), aqidah (keyakinan), harakah (gerakan), amaliyah (tradisi). Realitasnya, masyarakat masih gagal paham dalam merespon berita Khilmus. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa Khilmus adalah “kamuflase” dari ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Akan tetapi, Khilmus berbeda dengan HTI yang mengusung negara Islam dan termasuk kategori transnasional.
Sejarah, Ideologi, dan Pola Gerakan Khilmus
BNPT (2022) menyebut Khilmus merupakan organisasi keagamaan Indonesia yang mengusung ideologi khilafah yang didirikan AQB yang merupakan kelahiran Taliwang pada 1944. Ia adalah mantan tahanan politik dan mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) yang ingin mendirikan negara Islam yang memiliki visi sama dengan HTI. AQB pernah terlibat dalam komando jihad dan membantu mencari amunisi untuk bom Medan pada 1975.
Pada 1979 ia ditangkap karena dituding terlibat dalam pembunuhan Rektor UNS Parmanto, MA. Pada 1982 AQB bebas, dan pada 1985 ia ditangkap lagi karena terlibat dalam bom Borobudur dan perencanaan bom Bali pada 1985. Selama di dalam penjara itu, AQB melakukan kontemplasi, sehingga melatarbelakangi pendirian Khilmus pada 18 Juli 1997 berpusat di Lampung.
Khilmus memiliki misi lanjutan dari perjuangan NII, Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) Kartosiwiryo. Khilmus memiliki struktur tertinggi yakni Khalifah Pusat, dan di bawahnya yaitu Daulah, Wilayah, dan Ummul Qura dan paling bawah Kamas’ulan. Meskipun Khilmus dinilai sama dengan HTI, namun yang diusung hakikatnya adalah “sistem kekhalifahan”, bukan mendirikan “negara Islam” seperti HTI.
Khilmus telah memiliki Khalifah/Amirul Mukminin yaitu AQB yang wilayah perwakilannya seluruh dunia dan tidak terbatas negara. Di setiap wilayah dipimpin di bawah Khalifah tersebut. Keanggotannya pun terbagi dua, yaitu warga biasa dan warga istimewa melalui proses baiat. Setelah baiat, mereka baru resmi menjadi warga Khilmus, mendapatkan nomor induk warga (NIW), dan kartu tanda warga dari khalifah atau amr daulah.
Khilmus didirikan berdasarkan Al-Quran dan Hadist. Visi dan tujuan Khilmus untuk menyatukan semua penganut agama di dalam sistem Khilafah. Sedangkan Pancasila dan demokrasi ditolak keras karena buatan manusia dan dinilai mereka bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist. Pola gerakan Khilmus terbagi tiga, yaitu Jalan Syi’ar, Motor Syi’ar, dan Perguruan Beladiri Lebah Putih. Sampai saat ini, data BNPT (2022) menyebut Khilmus memiliki 400 cabang di Indonesia. Artinya, perkembangan yang pesat ini harus direspon dan didudukkan sesuai konstitusi negara.
Posisi dan Sikap Terhadap Khilmus
Posisi Khilmus harus direspon sesuai hukum yang berlaku. Jika dianalisis, Khilmus memiliki beberapa sudut pandang. Pertama, lahirnya Khilmus merupakan sempalan organisasi radikal seperti NII dan MMI. Diperkuat lagi, pendiri Khilmus merupakan mantan tahanan dan dekat dengan beberapa tokoh radikal.
Kedua, dari website khilafatulmuslimin.com, Khilmus pada 4 Juli 2014 melakukan deklarasi dukungan terhadap ISIS. Ketiga, ideologi yang diusung Khilmus sangat dekat dengan khilafah, laiknya HTI, JI, dan JAD yang sangat terlasang di Indonesia. Di pesantren, para santri tidak diajarkan Pancasila, dan tidak melakukan hormat bendera merah putih, dan hanya hormat bendera pada bendera mereka sendiri.
Keempat, gerakan mereka cenderung insubordinasi terhadap regulasi pemerintah. Seperti contoh lembaga pendidikan mereka (Pesantren Ukhuwah Islamiyah dan Universitas Khalifah Ali bin Abi Thalib) tidak patuh terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Lembaga pendidikan Khilmus tersebut tidak mengeluarkan ijazah formal dan tidak menerapkan sistem pendidikan nasional secara umum.
Pentahelix Approach
Dari keempat analisis ini, sikap terhadap Khilmus harus tegas. Pertama, dalam konteks penegakan hukum, Detasemen Khusus 88 dan Polri segera mengusut tuntas Khilmus. Kedua, dalam pencegahan, BNPT, FKPT, Badan Kesbangpol harus lebih intens melakukan soft approach melalui kontra propaganda, kontra radikalisme, dan deradikalisasi. Ketiga, penguatan pencegahan radikalisme dan terorisme melalui pentahelix approach yang mengolaborasikan lima unsur yaitu academician (akademisi), business (pebisnis), community (komunitas), government (pemerintah) dan mass media (media massa) (Vani dkk., 2020).
Keempat, bagi warga Khilmus perlu dilakukan “cabut baiat” agar mereka kembali pada NKRI. Kelima, lembaga pendidikan milik Khilmus tidak perlu dibubarkan, namun sekadar ditutup sementara agar tidak terjadi konflik horizontal. Para pendidik, wali murid, dan santri/siswanya perlu dilepas baiat, dilakukan rehabilitasi ideologi, konseling ideologi, dan penguatan moderasi agar kembali pada Islam moderat.
Bagaimana pun juga Khilmus merupakan warga negara yang perlu dibina secara ideologis. Mereka dalam kondisi saat ini perlu diberikan dua pendekatan, yaitu pendekatan hukum. Setelah mereka aman secara hukum, baru setelah itu diberi tindakan. Jangan sampai warga Khilmus berkembang biak melakukan ideologisasi anti-Pancasila, anti-NKRI, intoleransi, dan melakukan glorifikasi ideologi khilafah.
Pertaubatan ideologi menjadi jalan keluar dan menjadi win win solution. Sebab, sejak pra kemerdekaan hingga ini, organisasi yang mengusung ideologi menyempal dari Pancasila selalu timbul, tenggelam, dan timbul lagi. Ideologi sampai kapan pun tak bisa mati meski organisasinya dibubarkan. Sinergitas semua pihak dengan pendekatan pentahelix agar masyarakat menjadi Indonesia seutuhnya menjadi solusinya. Jika tidak kita yang serius memperjuangkan Pancasila, lalu siapa lagi?
– Dosen dan Wakil Rektor I INISNU Temanggung, Ketua Bidang Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Jawa Tengah.